Ilustrasi Putri Wilasin. (Foto: banhup.com) |
Oleh Rudi Hendrik
Cerita Sebelumnya: Misteri Gadis Buruan 4: Godaan Sukma Lentani
Setibanya di tempat sepi, dari balik pakaian Putri Aninda
Serunai meresap keluar asap tebal merah yang kemudian menyelimuti tubuh
bawahnya sebatas pinggang. Kini kaki Putri Aninda Serunai tidak tampak,
seluruhnya tertutup asap merah tebal.
Sebenarnya itulah ciri khas Putri Aninda Serunai, selalu
diselimuti asap merah yang mengandung racun ganas. Perpaduan kecantikannya yang
jelita dengan asap beracun membuat ayahnya memberi julukan “Bidadari Asap
Racun”.
Tubuh Putri Aninda Serunai bergerak maju seperti terbang.
Kakinya tidak menyentuh tanah. Sementara aroma bunga mawar kian tajam tecium
olehnya.
Clap!
Tiba-tiba muncul begitu saja sesosok lelaki yang langsung
berlutut dengan kepala menunduk di hadapan Putri Aninda Serunai.
“Hormat hamba, Tuanku Putri,” ucap lelaki berjubah biru itu.
“Bangunlah, Bayang Mawar!” perintah Putri Aninda Serunai.
Lelaki berusia 43 tahun itu segera berdiri. Ia memelihara
jenggot sejengkal, beralis tebal dan berambut gondrong yang ujungnya agak ikal.
Tubuh lelaki berpakaian serba biru ini memang menebarkan aroma mawar yang
sangat menyengat. Ia bernama Pengawal Bayang Mawar.
“Bersikaplah biasa saja. Pesan apa yang kau bawa dari
Ayahanda, Bayang Mawar?” tanya Putri Aninda Serunai.
“Hamba diperintahkan untuk membawa Tuanku Putri kembali. Ada
satu hal yang ingin dibicarakan oleh Yang Mulia Raja dengan Tuanku Putri,” ujar
Pengawal Bayang Mawar.
“Apakah sangat penting dan mendesak sehingga aku harus
kembali?” tanya Putri Aninda Serunai.
“Hamba tidak mengetahui sejauh itu, Tuanku Putri. Hamba
hanya dititahkan untuk kembali bersama Tuanku Putri.”
“Apakah kau melihat ada yang pernah datang menemui
Ayahanda?” tanya Putri Aninda Serunai.
“Sebelum hamba diperintahkan untuk mencari Tuanku Putri,
telah datang Raja Gandarawe dan Pangeran Sageti Dewa. Hamba tidak mengetahui
maksud kedatangan mereka.”
“Untuk saat ini, aku tidak bisa kembali. Jika tidak ada
sesuatu yang sangat-sangat penting, tidak usah pergi memanggilku kembali.
Kembalilah. Bila Ayahanda mengharapkan aku kembali, tunggulah satu purnama
lagi. Aku tidak akan apa-apa di dalam dunia persilatan ini.”
“Bisakah Tuanku Putri memberiku alasan pembelaan di hadapan
Yang Mulia Raja?”
“Katakan saja kepada Ayahanda bahwa aku sedang merawat calon
keluarga kerajaan. Oh ya, bagaimana keadaan adikku?”
“Tuanku Putri Aninda Lembayung kini berada di kediaman Putri
Siluman Embun.”
“Sedang apa ia di sana?” tanya Putri Aninda Serunai cepat.
“Setahu hamba, Tuanku Putri Aninda Lembayung ingin
mempertinggi kesaktian.”
“Apakah kepergiannya atas izin Ayahanda dan Ibunda?”
“Benar, Tuanku Putri.”
“Sekarang pergilah!” perintah Putri Aninda Serunai.
“Baik, Tuanku Putri.”
Clap!
Dengan begitu saja Pengawal Bayang Mawar lenyap entah ke
mana. Putri Aninda Serunai kemudian melenyapkan asap racun yang menyelimuti
kakinya. Selanjutnya ia melesat laksana hilang. Tahu-tahu ia sudah tiba di
pintu rumah makan.
“Sanggana lucu... aku datang...!” teriak Bocah Kuntilanak
nyaring lalu melesat di udara dengan tubuh mengarah ke beradaan Sanggana yang
duduk satu meja dengan Sukma Lentani.
Melihat tindakan Bocah Kuntilanak yang kembali mengganggu
Sanggana, Putri Aninda Serunai cukup memandang tubuh Bocah Kuntilanak. Maka,
....
Dagk!
“Hekh!” keluh Bocah Kuntilanak dengan tubuh mental kencang
dihantam kekuatan mata Putri Aninda Serunai.
Bdroakr!
Tubuh Bocah Kuntilanak keras menjebol dinding papan rumah makan itu. Legaspati segera menghampiri tubuh Bocah Kuntilanak yang sulit bangun karena kesakitan.
Tubuh Bocah Kuntilanak keras menjebol dinding papan rumah makan itu. Legaspati segera menghampiri tubuh Bocah Kuntilanak yang sulit bangun karena kesakitan.
“Dasar bocah badung nakal nekat!” rutuk Legaspati sambil
membantu Bocah Kuntilanak berdiri.
Bocah Kuntilanak hanya senyum-senyum kepada Legaspati yang
membuat si pemuda geregetan.
“Sekali lagi aku peringatkan, jangan suka bermain dengan
maut!” kecam Legaspati. “Lebih baik kau bermain dengan adiknya Sanggana. Ia
juga lucu dan cantik.”
“Benar benar benar!” kata Bocah Kuntilanak membenarkan.
Bocah Kuntilanak lalu berkelebat di udara dan langsung
mendarat duduk di meja depan Brakantani.
“Hai, mungil, mau main?” tanya Bocah Kuntilanak kepada
Brakantani.
Brakantani tidak langsung menjawab. Ia lebih dulu memandang
Sanggana di meja yang lain. Sanggana hanya mengangguk. Brakantani pun akhirnya
mengangguk kepada Bocah Kuntilanak yang membuat gadis berwatak “bocah” itu
tertawa girang.
“Kita lanjutkan perjalanan, Nenek Lewang!” kata Sanggana
kepada Nenek Lewang yang duduk satu meja dengan Brakantani dan Legaspati.
“Baiklah,” jawab Nenek Lewang. Lalu katanya kepada Bocah
Kuntilanak, “Kita lanjutkan perjalanan.”
Sementara Putri Aninda Serunai mengurus pembayaran apa yang
dirusaknya dan apa yang mereka makan.
“Eh, biarkan si Kuntilanak yang membayar!” kata Legaspati
kepada Putri Aninda Serunai.
“Biarkan. Jangan ganggu ia tetap bersama Brakantani supaya
tidak beralih mengganggu Sanggana,” kata Putri Aninda Serunai.
Legaspati hanya naikkan alis dan manggut-manggut.
Mereka pun keluar dari rumah makan tersebut. Bocah Kuntilanak sibuk bermain-main dengan
Brakantani sambil terus berjalan mengikuti rombongan. Tidak jarang keduanya
tertawa-tawa dan sesekali diliputi keseriusan sendiri.
Dengan setia Putri Aninda Serunai kembali menggendong
Sanggana di punggunnya. Memang tidak elok dipandang, seorang lelaki dewasa
harus digendong oleh seorang gadis, tapi memang demikianlah keadaannya.
Sanggana yang menderita kelumpuhan di kedua kakinya harus menerima kebaikan
kekasihnya yang tanpa malu menggendong dirinya.
“Ke mana kau tadi, Aninda?” tanya Sukma Lentani seraya
berjalan di sisi kiri Putri Aninda Serunai.
“Ada utusan dari Ayahanda yang memintaku untuk kembali,”
jawab Putri Aninda Serunai.
“Lantas kau menolak lantaran aku?” tanya Sanggana.
“Aku tidak akan meninggalkan Kakak dalam keadaan seperti
ini, kecuali sangat-sangat mendesak,” kata Putri Aninda Serunai.
“Jangan hanya karena perawatan kakiku kau mengabaikan urusan
yang lebih penting,” kata Sanggana.
“Guruku mungkin bisa membantumu untuk memulihkan tulang
kakimu secara cepat, Sanggana,” kata Nenek Lewang.
“Menurutmu bagaimana, Aninda?” tanya Sanggana.
“Selama tidak melakukan penyentuhan kulit,” jawab Putri
Aninda Serunai.
“Sepertinya cukup sulit memiliki kekasih yang pencemburu
tinggi,” kata Nenek Lewang yang berjalan hanya beberapa langkah di depan
bersama Legaspati.
“Tapi aku suka itu, Nenek,” timpal Sanggana.
Pembelaan Sanggana memberi kesejukan tersendiri di perasaan
gadis yang ditungganginya itu.
“Aku mau ikut bermain dengan Bocah Kuntilanak dan
Brakantani,” kata Sukma Lentani lalu bergerak mundur dan sambil tertawa riang,
ia bergabung bermain dengan Bocah Kuntilanak.
“Kapan kita tiba, Nenek?” tanya Sanggana.
“Bila hanya berjalan biasa seperti ini, menjelang petang
kita tiba,” jawab Nenek Lewang.
“Kira-kira di sana nanti ada jodoh untukku, Nenek?” tanya
Legaspati berseloroh.
“Kau tidak tertarik dengan kecantikan Sukma Lentani?” Nenek
Lewang balik bertanya.
“Wah, lelaki mana yang tidak tertarik dengan kecantikan
setinggi itu? Tapi, siapa yang tidak takut punya kekasih seperti ia?” kata
Legaspati.
“Apa yang kau takutkan darinya?” tanya Nenek Lewang.
“Kesaktiannya. Bila aku jadi kekasihnya, lantas ia cemburu,
mati sudah riwayatku. Beda dengan Sanggana dan Putri, bila ribut bisa saling
mempertahankan diri,” ujar Legaspati.
“Bagaimana dengan Bocah Kuntilanak?” tanya Nenek Lewang.
“Aku menganggapnya sebagai adik belaka. Adik yang nakal
sekali,” jawab Legaspati.
Di belakang Nenek Lewang dan Legaspati, Sanggana bertanya
kepada Putri Aninda Serunai, “Kau mau menceritakan tentang Pangeran Sageti
Dewa?”
“Nama itu kau dapat dari Sukma Lentani?” terka Putri Aninda
Serunai.
“Benar.”
“Pangeran Sageti adalah putera mahkota Kerajaan Peringin.
Kesaktiannya tinggi,” jawab Putri Aninda Serunai.
“Kata Sukma Lentani, Pangeran Sageti akan meminangmu,” kata
Sanggana.
Putri Aninda Serunai agak terkejut mendengar kata “akan
meminangmu”. Lalu katanya seraya tertawa kecil, “ Kau jangan mengujiku, Kakak.”
“Mungkin kau perlu menanyakannya kepada Sukma Lentani,” kata
Sanggana.
“Walaupun ketampanannya melebihi Kakak, usahanya tidak akan
ada hasil,” kata Putri Aninda Serunai lalu mengalihkan pembicaraan, “Ada yang
mengintai kita.”
Setelah Putri Aninda Serunai memberi tahu ada pihak lain,
barulah Sanggana merasakan adanya detak jantung di sisi kanan atas dari
rombongan mereka. Sementara yang lain tidak merasakan adanya keganjilan.
“Tidak usah mengusiknya. Jika orang itu memang mengincar
salah satu dari kita, kita tunggu saja tindakannya. Kita paksa keluar jika
masih mengikuti,” ujar Sanggana tanpa mencari-cari lokasi orang yang dimaksud.
Mereka terus berjalan.
“Hei! Berhentilah bermain!” seru Legaspati kepada tiga gadis
yang berjalan di belakang.
Sukma Lentani, Bocah Kuntilanak dan Brakantani berhenti
bermain dan bercanda. Mereka dia memandang Legaspati, seakan bertanya.
“Orang itu bergerak!” bisik Sanggana kepada Putri Aninda
Serunai.
Tiba-tiba....
Sesst!
Bersamaan dengan melesatnya sesosok tubuh dari atas sebuah
pohon besar di sisi kanan rombongan, selarik sinar kuning tipis menyerang ke
arah Bocah Kuntilanak.
Bocah Kuntilanak terkejut diam melihat serangan mendadak
itu. Namun, Sukma Lentani lebih cepat menyambar tubuh Bocah Kuntilanak.
Blaaar!
Sehingga sinar kuning tipis itu hanya melubangbesarkan
tanah.
Legaspati cepat berkelebat ke arah orang tidak dikenal itu.
Namun, orang itu sudah menguasai tubuh Brakantani.
“Jangan ada yang bertindak!” seru lelaki berpakaian prajurit
sebuah kerajaan itu dengan kelima jari tangan kanannya menempel dikulit leher
Brakantani yang hanya diam.
Pria berbadan kekar itu memakai kain merah yang hanya
menutupi sebagian badannya. Rambutnya digelung di atas kepala. Wajahnya
memelihara kumis muda yang cukup tebal. Di sabuknya yang khas milik prajurit,
terselip sebuah keris.
“Siapa kau?” tanya Sanggana dengan tenang.
“Aku Kudarebit, prajurit Kerajaan Kubaban. Aku tahu kalian
adalah orang-orang sakti, karena itu aku hendak menukar anak ini dengan Putri
Wilasin!” seru Kudarebit.
“Waaah! Itu orangnya Panglima Setan!” pekik Bocah Kuntilanak
dengan ekspresi wajah ketakutan lalu buru-buru berlari berlindung di belakang
punggung Sukma Lentani.
“Hei! Apa namamu Putri Wilasin?” tanya Sukma Lentani seraya
berpaling kepada gadis di belakangnya. “Tidak kusangka kau seorang putri.”
“Iya iya iya, tapi aku tidak mau ikut orang jelek itu!” kata
Bocah Kuntilanak panik.
“Kau salah mengambil sandera, Prajurit,” kata Sanggana.
Brakantani lalu menarik napas dalam-dalam yang membuat
Kudarebit terkejut, sebab tiba-tiba Kudarebit tidak merasakan menyentuh apa-apa
pada tangannya. Tubuh Brakantani berubah menjadi sosok seperti bayangan yang
bisa dilihat tapi tidak bisa disentuh. Tangan Kudarebit seperti menyentuh
fatamorgana.
Brakantani dengan mudahnya berlari pergi dari sekapan
Kudarebit dan bergabung dengan Putri Aninda Serunai. Setelah itu, wujudnya
kembali normal. Brakantani baru saja mengerahkan ilmu Ikatan Alam Dewa, kesaktian yang diwariskan oleh Putri Aninda
Serunai.
Beg!
“Hekh!” keluh Kudarebit dengan tubuh terpental ke belakang,
setelah tenaga dalam Sanggana menghantam tubuhnya.
Namun, Kudarebit mampu menguasai tubuhnya dan mendarat
dengan sempoyongan.
“Prajurit, Bocah Kuntilanak tidak mau ikut denganmu. Jadi,
jangan memaksa!” seru Legaspati.
“Tidak. Selama Putri Wilasin masih hidup, dia bisa mengancam
kehidupan Kerajaan Kubaban. Aku harus membawanya hidup atau mati!” kata
Kudarebit.
“Hei! Hebat sekali dirimu hingga bisa mengancam satu
kerajaan!” puji Sukma Lentani sambil menepuk bahu kiri Bocah Kuntilanak.
“Lebih baik kali ini kau urungkan niatmu. Bocah Kuntilanak
bersama kami, jadi ia ada dalam perlindungan kami. Cobalah lain kali dengan
pasukan yang lebih banyak,” kata Sanggana.
Kudarebit terdiam, tampaknya berpikir.
“Prajurit, apakah kau menunggu kami untuk unjuk kesaktian
lagi?” tanya Nenek Lewang.
“Baik, tapi suatu saat nanti kami akan mengambil Putri
Wilasin dari tangan kalian. Sampai jumpa!” kata Kudarebit lalu berbalik dan
berkelebat pergi.
“Hebaaat!” sorak Bocah Kuntilanak sambil tepuk tangan
sendiri lalu berlari ke arah Sanggana. “Sanggana hebat!”
“Hei! Jangan cari penyakit!” seru Sukma Lentani sambil
menyambar dan menarik tangan kanan Bocah Kuntilanak. “Hei! Mengapa Sanggana
yang selalu kau puji?”
“Hihihi! Karena Sanggana lucu,” jawab Bocah Kuntilanak
tertawa.
“Lama-lama aku merasa lucu juga jika ada bocah itu,” keluh
Sanggana yang membuat Putri Aninda Serunai tertawa kecil.
“Kuntilanak, ceritakanlah asal usulmu dan sebab orang
kerajaan itu menginginkan nyawamu!” kata Putri Aninda Serunai kepada Bocah
Kuntilanak.
“Tidak mau!” jawab Bocah Kuntilanak dengan bibir
dimonyongkan.
Bocah Kuntilanak lalu berlari mendahului mereka melanjutkan
perjalanan sambil bernyanyi “nanana”.
“Bujuk Bocah Kuntilanak agar mau bercerita. Bila tidak, kami
tidak akan melindunginya untuk kedua kali dan ia tidak akan diperbolehkan
ikut,” kata Putri Aninda Serunai kepada Legaspati.
Tanpa menjawab, Legaspati segera berlari menyusul Bocah
Kuntilanak.
“Mengapa harus memaksanya untuk bercerita?” tanya Sukma
Lentani.
“Untuk mengetahui apakah ia salah atau tidak, patutkan
dilindungi atau tidak,” jawab Putri Aninda Serunai.
Tampak di depan sana, Legaspati berusaha membujuk Bocah
Kuntilanak.
“Tiiidaaak mau!” pekik Bocah Kuntilanak menjawab bujukan
Legaspati yang gagal.
“Hei! Bocah itu pasti mau jika Sanggana yang membujuknya,”
kata Sukma Lentani.
“Bagaimana, Aninda?” tanya Sanggana.
“Demi kebaikannya,” jawab Putri Aninda Serunai.
Sanggana lalu memanggil Bocah Kuntilanak, “Putri Wilasin!”
Panggilan dari suara orang yang sangat dikenalnya itu
membuat Bocah Kuntilanak berhenti bergerak, lalu cepat berbalik memandang
kepada Sanggana.
“Kemarilah!” panggil Sanggana.
“Aku datang...!” teriak Bocah Kuntilanak seraya berlari
mendekat.
Sementara Putri Aninda Serunai selalu siap mementalkan tubuh
Bocah Kuntilanak jika berbuat berlebihan terhadap Sanggana. Namun, kali ini
Bocah Kuntilanak berhenti di hadapan Putri Aninda Serunai.
“Ada apa, Sanggana lucu?” tanya Bocah Kuntilanak dengan
wajah cerianya.
“Apakah kau mau menceritakan asal usulmu?” tanya Sanggana.
“Jika Sanggana lucu yang minta, pasti aku cerita. Tapi, aku
jalan di samping Sanggana lucu, ya?”
“Asalkan tanganmu jangan nakal,” kata Putri Aninda Serunai
memberi syarat.
“Iya iya iya!” jawab Bocah Kuntilanak senang.
(Bersambung...)