Sabtu, 22 Oktober 2016

Afrika Selatan Akan Keluar dari ICC

Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma (tengah).
Afrika Selatan berencana menarik diri dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) karena menganggap kewajibannya tidak sesuai dengan undang-undang yang memberikan pemimpin negara kekebalan diplomatik.

Dikutip dari MINA, Menteri Kehakiman Afrika Selatan Michael Masutha mengatakan pada Jumat (21/10) bahwa pemerintah akan segera mengajukan RUU di parlemen untuk menarik diri dari pengadilan di Den Haag tersebut.

Langkah itu diambil di saat beberapa negara Afrika mengungkapkan keprihatinannya atas apa yang mereka sebut penargetan yang tidak proporsional oleh ICC terhadap benua Afrika.

Masutha mengatakan, RUU akan mengusulkan bahwa Afrika Selatan mencabut Statuta Roma, karena undang-undang ICC "bertentangan dan tidak konsisten dengan" hukum kekebalan diplomatik negara itu.

"Ini sebuah pilihan sulit yang harus dibuat," kata Masutha kepada wartawan di ibukota Pretoria.

Tahun lalu, Afrika Selatan mengatakan akan meninggalkan ICC setelah menghadapi kritik karena tidak menangkap Presiden Sudan Omar Al-Bashir ketika mengunjungi negara itu.

Presiden Bashir telah dituduh melakukan genosida dan kejahatan perang, tapi ia telah membantah tuduhan itu.

"Para pejabat di sini mengatakan ICC tidak adil karena menargetkan pemerintah dan pemimpin Afrika," kata wartawan Al Jazeera Haru Mutasa di Johannesburg.

Sebuah dokumen yang dilihat oleh Reuters di PBB pada Kamis (20/10) menunjukkan bahwa langkah tersebut akan berlaku selama satu tahun setelah pemberitahuan secara resmi diterima oleh Sekretaris Jenderal Ban Ki-moon.

Dokumen pengajuan itu tertanggal 19 Oktober 2016 yang ditandatangani oleh Menteri Hubungan dan Kerja Sama Internasional Afrika Selatan Maite Nkoana-Mashabane.

ICC yang dibuka pada bulan Juli 2002 dan memiliki 124 negara anggota, adalah badan hukum pertama dengan yurisdiksi internasional permanen untuk mengadili pelaku kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.

Negara Afrika lain, Burundi, tampaknya akan menjadi negara pertama yang menarik diri dari Statuta Roma, perjanjian 1998 untuk pembentukan pengadilan dunia.

Presiden Burundi Pierre Nkurunziza menandatangani sebuah dekrit pada Selasa (18/10), tapi PBB belum secara resmi diberi tahu.

Negara-negara Afrika lainnya juga mengancam akan melakukan penarikan, karena mereka menuduh pengadilan tidak proporsional terhadap negara-negara benua itu.

"Mereka ingin ICC memperluas jangkauannya dan mungkin menargetkan pemimpin dari Amerika Serikat dan Eropa," tambah Mutasa. 

Upaya Kudeta di Burkina Faso Gagal

Jenderal Gilbert Diendere
Para pejabat keamanan di Burkina Faso mengatakan bahwa mereka telah berhasil menggagalkan rencana kudeta.

Dikutip dari MINA, rencana kudeta disalahkan kepada mantan pengawal kepresidenan di negara Afrika Barat itu. 

Pemerintah mengatakan pada Jumat (21/10) bahwa telah digagalkan "konspirasi besar" untuk merebut kekuasaan dari pasukan yang setia kepada pemimpin Blaise Compaore yang pernah digulingkan yang bertujuan untuk merebut kekuasaan.

Menteri Dalam Negeri Simon Compaore mengatakan, sekitar 30 orang dari unit keamanan mantan presiden berencana membebaskan tahanan yang merupakan bagian dari upaya kudeta September 2015 lalu yang kemudian berencana menyerang istana presiden.

Sebuah situs berita lokal Koaci.com mengutip Menteri Compaore yang mengatakan komplotan kudeta juga bermaksud menargetkan markas gendarmerie di ibukota, Ouagadougou.

Menurut Menteri, kudeta itu direncanakan pada 8 Oktober dan menyerukan penahanan terhadap pejabat tertentu.

Mereka juga diduga akan menciptakan pemberontakan di dalam barak militer dan meluncurkan pemberontakan menggunakan media sosial. Sedikitnya 10 orang telah ditangkap.

Kementerian Keamanan mengatakan, upaya kudeta terbaru digagalkan setelah dua mantan pengawal presiden tewas ketika mencoba masuk ke ibukota.

Blaise Compaore dipaksa turun dari kekuasaannya pada bulan Oktober 2014 setelah terjadi pemberontakan rakyat terhadap upaya untuk mengubah konstitusi agar dirinya tetap menjabat sebagai presiden.

Upaya kudeta juga pernah terjadi pada September 2015 oleh pasukan pengawal presiden yang setia kepada Blaise Compaore.

Resimen Keamanan Presiden (RSP) merebut kekuasaan presiden dan perdana menteri, dan menyatakan Dewan Nasional untuk Demokrasi sebagai pemerintah nasional yang baru.

Namun, pada 22 September 2015, pemimpin kudeta, Jenderal Gilbert Diendere, meminta maaf dan berjanji untuk mengembalikan pemerintahan sipil.

Pada 23 September 2015, perdana menteri dan presiden sementara dikembalikan ke kekuasaan.