Jumat, 12 Desember 2014

MENGUAK PERCIKAN KEISTIMEWAAN KAMPUNG ISLAM INTERNASIONAL MUHAJIRUN

Suasana sore di jalan utama Muhajirun (Foto: Bahron Ans)
Oleh: Rudi Hendrik, dipublikasikan di mirajnews.com (MINA) pada 2 Maret 2014

Telah lama saya mendengar berbagai cerita tentang keistimewaan Kampung Muhajirun, sebuah kampung yang dirintis di tengah-tengah hutan di Desa Negararatu, Kecamatan Natar, Lampung Selatan, yang kemudian dalam puluhan tahun berkembang menjadi sebuah kampung yang begitu Islami dan alami. Namun itu baru sekedar cerita.


Dan juga, telah lama muncul dalam hati saya niat untuk datang ke sana dan menyaksikan sendiri, seperti apa sih kehidupan masyarakat di kampung itu? Di mana kampung-kampung yang lain tengah menghadapi invasi berbagai kebudayaan asing yang secara bergantian berebut tempat untuk menjadi virus yang bisa dengan mudah diadopsi oleh kita dan anak-anak kita, yang tanpa sadar melunturkan nilai-nilai akhlak dan moral kita dalam menjalani hidup.

Namun akhirnya kesempatan untuk datang ke Muhajirun dapat terwujud ketika saya ditugaskan sebagai wartawan untuk meliput acara “Sarasehan Aghniya dan Pengusaha Jamaah Muslimin (Hizbullah)” pada tanggal 1-2 Maret 2014 di Muhajirun, Desa Negararatu, Kecamatan Natar, Lampung Selatan.

Setelah Pondok Pesantren Al Fatah Cileungsi Bogor sebagai markas pusat Jamaah Muslimin (Hizbullah), Kampung Muhajirun adalah markas kedua. Di kampung itu juga terdapat Ponpes Al Fatah cabang Lampung.

Bersama rombongan dari Ponpes Al Fatah Cileungsi, saya berangkat ba’da Maghrib menuju Pelabuhan Merak Banten, lalu menyeberang dengan kapal ferry ke Pelabuhan Bakauheni, Lampung. Dari sana menuju langsung ke Kampung Muhajirun. Total sekitar delapan jam perjalanan.
Namun penyesalan pertama menimpa perasaan saya. Tanpa saya sadari, ternyata mobil kami sudah sampai di tengah-tengah Kampung Muhajirun. Sejak dari Pelabuhan Bakauheni hingga ke Muhajirun, ternyata saya tertidur. Jadi saya tidak tahu, sejauh mana kampung ini masuk meninggalkan jalan Trans Sumatera.


Keistimewaan pertama dan kedua

Pukul 04.00 WIB. Kondisi jalan kampung yang beraspal bagus, tampak lengang, hanya tiga ikhwan yang berjaga menyambut kedatangan kami. Saya langsung mencari toilet dan ditunjukkan satu-satunya masjid yang ada di kampung dan komplek Ponpes Al Fatah itu.

“Subhanallah (Maha Suci Allah)!” ucap saya dalam hati saat melihat sudah cukup ramai para pewudhu dan orang-orang yang sedang shalat lail (malam) di dalam masjid. Seketika tergugah diri untuk turut shalat tahajjud. Lingkungan yang tercipta sebelum waktu adzan Shubuh itu, begitu mempengaruhi saya.

Beberapa orang yang shalat, sudah saya kenal sebagai tamu undangan acara sarasehan yang akan dimulai pagi ini. Selain sebagian adalah santri, sebagian yang lain pastinya adalah warga Muhajirun, dapat dikenali dari segi usia mereka. Hingga akhirnya, adzan Shubuh berkumandang. Masjid pun semakin ramai di datangi jamaah. Ketika shalat, saya ada di shaff ketiga.

Subhanallah (Maha Suci Allah)!”

Menyambut tamu dari Jakarta (tengah). (Foto: Rudi/MINA)
Takjub hati saya, ketika salam mengakhiri shalat Shubuh. Saya baru tersadar, masjid yang cukup luas itu ternyata disesaki oleh jamaah hingga ke teras-teras seputar masjid.

Memang, saat itu ada banyak tamu undangan yang sudah datang, tapi jumlah mereka baru sekitar seratus orang. Tanpa para tamu itu pun, saya menduga masjid ini pun pasti tetap penuh. Jamaah shalat memang merupakan santri dan warga Kampung Muhajirun.

Saat itu juga saya teringat tentang suatu pernyataan sebagian ulama, bahwa musuh-musuh Islam – terutama zionis Yahudi – baru akan gentar terhadap Muslimin, jika jamaah shalat Shubuh sama banyaknya jamaah shalat Jum’at.

Dan saya merasa, suasana syar’i seperti ini begitu menggugah keimanan saya semakin memakukan diri. Saya menilai, inilah shalat Shubuh terbanyak yang pernah saya ikuti dan sedikit pun terlaksana bukan karena suatu kondisi yang dibuat-buat. Saya sering menyaksikan shalat Shubuh yang penuh jamaahnya, tapi itu karena ada acara taklim atau ceramah oleh seorang ustadz ternama dan di shooting untuk acara televisi. Tapi yang ini tidak, ini adalah ibadah sehari-hari yang mereka laksanakan rutinitas.

Dan itu kembali terbukti ketika shalat Zhuhur. Masjid kembali penuh, seolah semua laki-laki yang ada di kampung itu turun ke masjid. Karena kami adalah musafir, shalat Zhuhur langsung di jamak dan qashar dengan shalat Ashar. Ternyata para musafir hanya sampai tiga shaff. Hal yang sama terjadi ketika shalat Maghrib, jamaah shalat kembali luber hingga ke teras-teras.


Menyongsong pagi dengan salam

Mungkin bukanlah cerita yang begitu istimewa ketika di lingkungan pesantren, setiap bertemu orang lain, saling memberi salam. Itu adalah cerita yang biasa.

Namun, bagi saya ini sangat istimewa. Ketika berpapasan dengan para santri baik yang kecil hingga yang dewasa, laki-laki hingga santriwati, yang berjalan kaki hingga yang berkendara, yang kenal atau tidak, semua menebarkan salam. Itulah suasana pagi pertama saya di Muhajirun.

Saya merasakan lingkungan yang penuh rahmat dan damai. Kalimat salam bertebaran di jalan-jalan, bukan hanya terucap ketika bertemu orang yang kita kenal atau ketika bertamu. Bagi saya, ini terlalu Islami dibandingkan pesantren yang pernah saya tinggali.

Kampung penuh berkah menurut saya. Mata bisa terjaga, karena tidak ada aurat yang berkeluyuran di jalan-jalan. Ucapan-ucapan pergaulan pun berirama secara wajar dan sopan. Senyum dan sambutan ramah kepada tamu begitu tergambar dari sikap para santri dan masyarakat kampung tersebut.
Kampung yang terkurung oleh pepohonan hutan dan perkebunan, seakan menjadi kian asri dan damai oleh kolaborasi kesejukan alam dan budaya para penghuninya.

Mustofa dari Maroko menikah dengan gadis Muhajirun (Foto: Rudi/MINA)


Kampung bertaraf internasional

Selain pelaksanaan Islam yang kental sekali dalam praktek sehari-hari, di kampung seluas sekitar 100 ha ini, hidup pula penduduk dan santri asal manca negara. Ada santri yang berasal dari Malaysia, Filipina, Cina, Italia, Uganda dan lainnya.

Pada hari kedua, rombongan kami mendapat undangan makan siang dari Mustofa, seorang warga berkebangsaan Maroko yang telah menikah dengan gadis Muhajirun. Mustofa tidak bisa berbahasa Indonesia, tapi bisa Bahasa Arab dan Inggris. Isterinya bisa berbahasa Arab.

Saya bersama Pak Syarif Hidayat, Wakil Pemimpin Redaksi Mi’raj Islamic News Agency (MINA) memenuhi undangan Mustofa. Pak Syarif bisa fasih Bahasa Inggris, sedangkan saya tidak. Pada saat yang bersamaan, bertamu pula  seorang guru perempuan yang juga fasih Bahasa Inggris. Maka terciptalah percakapan berbahasa dunia di antara Mustofa, Pak Syarif dan Bu Guru.

Kehadiran para santri dari berbagai negara dan keberadaan Mustofa dan adik perempuannya dari Maroko yang hanya bisa berbahasa Arab dan Inggris, menunjukkan bahwa kampung itu menjadi kampung bertaraf internasional. Perbedaan bangsa tidak menjadi penghalang mereka untuk berkomunikasi.

Apa lagi, hampir satu setengah tahun yang lalu, didirikan Kantor Berita Islam Mi’raj atau Mi’raj Islamic News Agency (MINA) yang tampil dengan website dalam tiga bahasa, yaitu Indonesia, Inggris dan Arab.

Kantor pusat MINA selain di Jakarta dan Ponpes Al Fatah Cileungsi Bogor, MINA memiliki Biro Sumatera di Muhajirun yang juga menjadi basis tim web berbahasa Arab.

Dan beberapa minggu yang lalu, di kampung yang jauh dari kota itu, telah diresmikan pula Universitas Shuffah Al-Quran Online Abdullah Bin Mas’ud. Kulian bersifat online di seluruh dunia dengan dosen-dosen dari berbagai negara, terutama dari Palestina, Sudan dan Indonesia sendiri.

Tidak hanya sampai di situ, sama halnya dengan Ponpes Al Fatah Cileungsi, kampung ini sudah tak terhitung jumlah tamunya yang berasal dari tokoh-tokoh terkemuka luar negeri yang sama-sama memperjuangkan kejayaan Islam.

Jaringan Ponpes Al Fatah yang dikelolah oleh Jamaah Muslimin (Hizbullah), telah menjalin hubungan akrab dan kerjasama dengan beberapa universitas di Malaysia, Sudan, Yaman hingga Gaza Palestina. Bahkan Imam dan mantan Imam Masjid Al-Aqsha telah berkunjung. Sejumlah tokoh pejuang Hamas, Fatah dan Jihad Islam Palestina, sudah sering datang berkunjung ke kampung tersebut.


90 persen keluarga memiliki sarjana S1

Dan pada kesempatan kunjungan liputan ini juga, saya mengkonfirmasi kebenaran cerita yang pernah saya dengar, setiap keluarga di kampung itu, minimal   satu orang sarjana S1.
Pimpinan Wilayah Lampung Jamaah Muslimin (Hizbullah) mengungkapkan bahwa dari lebih 300 KK di Kampung Muhajirun, sekitar 90 persen keluarga lulusan sarjana S1 dalam rumahnya. Tidak hanya sampai disitu, kini mulai marak lulusan S2.

Bagi saya ini sungguh menakjubkan, kampung yang ada di tengah hutan menyimpan masyarakat yang tidak cukup dengan sebutan terpelajar, tapi juga masyarakat yang berakhlak tinggi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari.

Shalat Ashar di Muhajirun (Foto: Rudi/MINA)

Pembuktian musafir tanpa musafir

Tanggal 2 Maret ba’da Ashar, kami pun berangkat meninggalkan Kampung Muhajirun untuk kembali ke Bogor.

Namun sebelum itu, agar tidak hanya menjadi sekedar cerita tertulis, saya harus mengambil bukti bahwa shalat lima waktu di masjid, sama ramainya seperti shalat Jum’at.

Karena para tamu atau musafir sudah shalat Ashar di waktu Zhuhur, maka shalat Ashar tentunya dilaksanakan tanpa jamaah musafir. Saya selaku musafir segera berinisiatif untuk membuktikan kebenarannya dengan mengambil gambar jamaah di saat shalat Ashar yang tanpa jamaah musafir.

Dan ternyata benar. Ruang masjid penuh oleh jamaah yang berasal dari warga dan para santri.

Waktu yang sempit dengan kesibukan yang padat selama dua hari satu malam di Kampung Islam Muhajirun, membuat saya puas tapi masih menyimpan sesal.

Saya puas karena bisa datang ke Kampung yang melegenda itu, tapi saya menyesal karena tidak sempat untuk banyak mengorek informasi tentang segala kebaikan yang ada di kampung itu. Saya pulang dengan membawa kemiskinan data dan informasi tentang Kampung Muhajirun dan apa-apa yang ada di dalamnya.

Ketika pulang, ternyata kami harus melalui beberapa kampung lain yang sudah bernuansa penuh politik dengan kibaran bendera partai nasional dan beberapa acara pesta pernikahan yang tidak Islami, yang tidak akan bisa ditemui jika kita berada di Kampung Muhajirun.

“Terkadang kita harus menembus pedalaman hutan belantara dan menyeberang lautan untuk menemukan sebuah tambang berlian,” pikir saya.

Saya merasa ini baru sepercik keistimewaan dari Kampung Muhajirun. Dan saya bertekad, suatu hari saya akan kembali ke sana dengan misi khusus untuk mengungkap berbagai mutiara yang mungkin masih tertutup oleh cangkang-cangkangnya.

2 komentar:

  1. Syukron laka yaa robby,,,, sungguh saya sangat merindukan suasana seperti itu berada di kampungku,,,,

    BalasHapus