Oleh: Hajer M’tiri, wartawati Anadolu Agency, dipublikasikan di mirajnews.com (MINA) pada 21 Desember 2014
Ini adalah penuturan kisah nyata Hajer M’tiri,
seorang wartawan muslimah berjilbab di Anadolu Agency (AA) yang ditugaskan di
Paris, Perancis.
Saya sedang duduk di kereta metro Paris terakhir, di
salah satu kursi lipat dekat pintu. Sejumlah orang lainnya juga berada di dalam
gerbong itu.
Dua stasiun sebelum saya turun, seorang pria besar masuk
ke dalam metro. Tingginya sekitar 1,90 meter, dan ia memiliki perut besar dan
rambut cokelat gondrong. Dia tidak bercukur.
Dia menatapku.
Sebagai seorang wanita Muslim mengenakan jilbab,
berjalan di jalan-jalan dan naik kendaraan umum di Paris, berarti saya akan sering
menghadapi tatapan orang. Kadang-kadang saya mendengar komentar dan berbisik.
Saya seorang wartawan muda, baru-baru ini ditugaskan ke Paris, tapi saya cepat
terbiasa untuk ini.
Namun, saya tidak siap untuk apa yang terjadi
selanjutnya.
Pria itu geram dan memakiku. “F ... Muslim!”
Kereta metro Paris |
Lalu tercipta keheningan. Tidak ada yang berbicara
sepatah kata pun. Saya sangat ketakutan.
Tanpa pikir panjang, saya mengambil tas saya dan
pergi berdiri di sisi lain dalam gerbong metro. Saya bisa mendengar detak
jantung saya. Dan saya gemetar, bukan hanya karena takut, tapi karena marah bahwa
saya tidak mampu merespon dengan cara apa pun.
Saya seorang wanita bertubuh kecil. Pria itu besar.
Saya mengambil ponsel saya dan menelepon seorang
teman, mencoba menenangkan diri. Pria itu terus memperhatikan saya dengan
tatapan mengancam.
Tapi akhirnya pemberhentian saya sampai. Saya
bergegas keluar, lalu berbalik, dan menggunakan telepon saya untuk mengambil
foto pria itu.
Dia dengan cepat menutupi wajahnya, kemudian
mengacungkan jarinya kepada saya dan berteriak marah.
"F ... Anda, f ... Muslim ....!"
teriaknya.
Entah bagaimana, keberanian saya kembali muncul. Saya
menemukan suara saya lagi.
"Membusuklah di neraka, Anda rasis," saya
berteriak.
Kemudian ia mencoba untuk mengejar saya. Saya
melompat kembali dan untungnya, pintu metro tertutup, dia di dalam kereta dan
saya di luar.
Saya menangis.
Di Perancis, 691 tindakan Islamofobia tercatat pada
2013 oleh organisasi pengawas HAM Perancis, Collective Against Islamophobia.
Dan 640 adalah tindakan-tindakan yang menargetkan individu, bukan institusi.
Penargetan terhadap individu meningkat secara
mengejutkan dari tahun sebelumnya sebanyak 47 persen. Kondisi semakin buruk,
tidak lebih baik.
Kelompok HAM mengatakan, tahun 2013 ditandai dengan
peningkatan tindak kekerasan, dan serangan lebih ke fisik.
"Selama delapan bulan terakhir tahun 2013, tercatat
27 serangan fisik," kelompok tersebut melaporkan.
Perempuan menjadi target utama dengan 78 persen dari
korban diskriminasi dan agresi, kata kelompok itu. Wanita yang mengenakan jilbab,
seperti saya, adalah target utama kedua dalam diskriminasi dan tindak
kekerasan.
Ketika saya merasa tenang dan memiliki waktu untuk
merenung, saya menyadari bahwa bagian paling menakutkan dari apa yang terjadi pada
saya, bukanlah perilaku orang di metro.
Tetapi keheningan yang lain. Mereka (penumpang lain)
menyaksikan tanpa kata saat lelaki itu menghina saya, melecehkan saya dan
mengancam saya.
Tetapi di hari yang kelam ini, sinar cahaya datang
bersinar. Di saat saya menangis dan gemetar saat gerbong kereta menjauh,
seorang wanita Perancis tua mendekati saya. Dia memegang tangan saya.
"Jangan menangis sayang, jangan menangis,"
katanya. "Dia hanya sakit. Dia seksis (merendahkan wanita). Anda seorang
wanita Muslim yang di atas segalanya. Dia cemburu. Jadilah kuat dan jangan menangis."
Dan itulah yang akan saya lakukan, menjadi kuat.
Saya akan terus angkat kepala. Karena saya tahu, terlepas dari itu semua,
petualangan indah masih menunggu saya di sini, di “kota cahaya” (Paris).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar