Oleh Rudi Hendrik
Ceerita sebelumnya: Misteri Putri Wilasin 6: Perburuan Putri di Gunung Babi
Pemuda berpakaian putih ini sudah mendapat tiga ekor ikan
hasil tombakannya. Ia berwajah tampan berambut pendek. Kepalanya dibalut rapih
dengan kain merah. Alis matanya tebal. Sabuknya kuning. Ia bernama Anadoyo. Di tangan kanannya tergenggam
tombak bambu kecil. Tangan kirinya memegang keranjang ikan yang sudah terisi
tiga ekor ikan ukuran sedang.
Anadoyo berhenti bekerja ketika ia mendengar suara derap
rombongan kaki kuda mendekati sungai kecil itu. Tidak jauh dari sungai memang
ada jalan cukup lebar. Anadoyo segera berkelebat naik ke pinggir sungai lalu
bersembunyi di balik pohon.
Ternyata dugaan Anadoyo benar adanya. Dari ujung jalan
muncul rombongan kuda yang ditunggangi oleh para lelaki yang sebagian besar
berpenampilan sebagai prajurit dan sisanya berpakaian pendekar. Satu orang
berpakaian lebih bagus dengan hiasan tubuh seperti pembesar kerajaan.
Sepertinya orang itulah pemimpin rombongan. Jumlah mereka sekitar 30-an kuda.
Anadoyo secara diam-diam melesat pergi dari
persembunyiannya. Kepergian Anadoyo membuat pemimpin rombongan menoleh
memandang ke arah pohon yang tadi dipakai berlindung pemuda itu. Pemimpin
rombongan merasakan kepergian Anadoyo walaupun tidak melihat sosoknya.
“Rupanya ada orang yang baru saja mengintai kita,” kata
lelaki berambut putih panjang itu. Meski rambutnya putih semua, tapi usianya
baru 48 tahun. Ada pedang berwarangka bagus menggantung di pinggang kirinya. Ia
adalah Rembung Seta yang berpangkat
sebagai Panglima Kerajaan Seringgis.
“Apakah harus kami kejar, Panglima?” tanya pemuda yang
berpakaian semaunya, sehingga terlihat sangat tidak rapih. Namanya Batikuma. Ia membawa senjata berupa
parang.
“Tidak usah, sepertinya ia sudah ada di sini sebelum kita
tiba,” kata Rembung Seta.
Anadoyo terus berkelebat cepat hingga berhenti di depan
sebuah pintu yang tertutup rapat dari sebuah bangunan kayu yang besar. Bangunan
itu besar karena luas. Bila dilihat dari langit, maka akan terlihat bangunan
kayu itu berbentuk seperti gelang besar yang di tengah-tengahnya tanah kosong
yang cukup luas. Bangunan unik itu memiliki banyak pintu yang semuanya
tertutup. Jarak antarpintu cukup berjauhan. Setiap pintu memiliki tulisan.
Seperti halnya pintu di depan Anadoyo yang bertuliskan “pintu damai”.
Anadoyo lebih duluh menengok ke belakang, khawatir jika ada
yang melihatnya. Setelah memastikan tidak ada orang yang melihatnya, Anadoyo
menendang bagian bawah pintu. Pintu itu pun terbuka. Anadoyo segera masuk dan
menutup kembali pintunya.
Kini Anadoyo berada di sebuah lorong yang cukup lebar.
Namun, Anadoyo tidak berjalan biasa, langkahnya melakukan pola khusus, karena
memang demikian syarat untuk berjalan di lorong itu jika tak mau celaka.
Sekeluar dari lorong, Anadoyo berjalan menyusuri koridor
pinggir lapangan di tegah bangunan itu. Koridor itu jalurnya pun melingkar
sepanjang pinggir lapangan. Di sisi kiri adalah dinding papan tebal yang pada
jarak tertentu memiliki pintu yang tertutup. Di sisi kanan adalah tanah kosong.
Tok tok tok!
Anadoyo mengetuk sebuah pintu ketika dia berhenti.
“Masuklah!” suruh seseorang yang berada di dalam ruangan.
Pintu dibuka dari dalam. Anadoyo melangkah masuk. Di ruangan
itu hanya ada dua kursi yang saling berhadapan dan ditengahi oleh sebuah meja
kayu. Dinding ruangan yang tebal bercorak kotak-kotak dan di sisi lain ada
pintu lain yang tertutup. Di ruangan itu duduk dua lelaki.
Lelaki pertama sudah tua berambut panjang terurai.
Jenggotnya yang masih hitam, panjangnya sedada. Matanya agak sipit lagi cekung.
Pakaiannya hijau dilapisi jubah putih tipis transparan. Di pangkuannya bersandar
sebuah tongkat panjang setebal kelingking tangan berwarna merah. Ia tidak lain
adalah Robenta yang bergelar Pendekar Tongkat Merah, salah seorang
murid tokoh sakti bernama Dewi Mata Hati.
Robenta adalah tamu di tempat itu.
Orang kedua adalah seorang lelaki separuh baya berkumis
melintang dan berjenggot model jenggot kambing. Berpakaian putih yang memiliki
tepian warna merah. Sabuk pakaiannya yang berwarna cokelat dihiasi logam-logam
pipih bulat. Rambutnya yang sepunggung diikat dengan kain merah. Ia bernama Lembu Anobrak, pemilik bangunan kayu
itu.
“Ada apa, Anadoyo?” tanya Lembu Anobrak yang tadi membukakan
pintu.
“Aku melihat ada pasukan prajurit berkuda di daerah sungai.
Aku khawatir mereka adalah prajurit-prajurit Seringgis,” jawab Anadoyo.
“Apa warna pakaian prajuritnya?” tanya Robenta.
“Prajurit biasa menggunakan rompi biru dan lainnya
berpakaian pendekar,” jawab Anadoyo.
“Benar, mereka prajurit-prajurit Seringgis. Mereka sudah
tahu, kita harus berangkat sekarang juga ke tempat guruku,” kata Robenta.
“Aku tidak ikut. Aku harus menjaga rumahku agar tidak
dirusak orang asing,” kata Lembu Anobrak. “Ikannya kau simpankan saja untukku,
Anadoyo. Kau temani Robenta.”
Anadoyo hanya mengangguk. Robenta pun berdiri. Lembu Anobrak
ikut bangun.
“Apakah kau akan baik-baik saja bila para prajurit itu
menyerbu tempat ini?” tanya Robenta.
“Hahaha! Kau mulai meragukanku, Robenta,” kata Lembu Anobrak
yang didahului dengan tawa kecilnya dan diikuti oleh tawa Robenta.
Mereka keluar. Anadoyo pergi ke arah lain membawa ikannya.
Sementara kedua orang tua itu pergi masuk ke sebuah ruangan lain yang cukup
besar.
Di sudut ruangan terdapat sebuah pembaringan kayu jati
berrtilam empuk dengan kelambu transparan berwarna merah. Salah satu dinding
dilapisi tirai hijau tebal dan besar berhias sulaman perak bermotif
kembang-kembang. Ada meja kayu bundar yang dikelilingi empat kursi. Lantai
ruangan dibuat dari anyaman kulit bambu.
“Wulangkelam!” panggil Robenta sambil duduk di kursi.
Sebentar kemudian, tirai hijau disingkap dari baliknya. Dari
balik tirai itu keluar seorang wanita muda yang kemudian mendatangi Robenta
dengan kepala menunduk, seolah ingin menyembunyikan wajahnya yang sebagian
sudah tertutupi oleh rambut panjangnya yang terurai lepas. Ia mengenakan
pakaian kuning yang dilapisi jubah hijau kecil.
Akhirnya wanita itu mengangkat wajahnya. Tampaklah wajah
putih manis dengan bentuk mata agak lebar berbulu lentik. Mata itulah yang
memiliki peran besar mempercantik wajah bulatnya. Wajahnya seperti gadis Hindi.
Ialah Wulangkelam.
“Ada apa, Ayahanda?” tanya Wulangkelam.
“Pasukan Seringgis sepertinya sudah tahu keberadaanmu.
Siapkan apa-apa yang mau kau bawa,” kata Robenta yang disebut “Ayahanda” oleh
Wulangkelam.
Wulangkelam adalah anak tunggal Robenta yang hilang 17 tahun
yang lalu. Berkat bantuan Lembu Anobrak, Wulangkelam dapat terawat baik di
tempat itu. Dan Robenta tahu tentang keberadaan anaknya tersebut sejak sebulan
yang lalu dari Lembu Anobrak sendiri. Adapun orang yang tahu bahwa Wulangkelam
adalah anak dari Robenta hanya beberapa orang saja.
Wulangkelam segera masuk ke balik tirai hijau. Sebentar
kemudian ia kembali keluar tanpa membawa apa-apa, kecuali seuntai kalung emas
di lehernya yang berbandul bintang bermata tujuh.
“Ayo kita pergi, Ayahanda!” ajak Wulangkelam.
Ketiganya pun beranjak keluar. Dari arah lain muncul Anadoyo
yang sudah rapih dengan membawa senjata berupa tombak besi pendek.
“Anadoyo, bawa Robenta lewat jalan bawah!” perintah Lembu
Anobrak.
“Mari,” ajak Anadoyo lalu berjalan duluan menuju tengah
lapangan.
Robenta dan Wulangkelam mengikuti Anadoyo. Sementara Lembu
Anobrak tetap berdiri di tempatnya, hanya mengikuti kepergian mereka dengan
pandangan mata.
Setibanya di tengah lapangan, Anadoyo membuka sebuah pintu
yang tertutupi oleh lapisan tanah dan rumput. Maka terlihatlah sebuah lubang
gelap dan sebuah tangga batu menuju ke bawah. Robenta turun lebih dulu yang
kemudian disusul oleh Wulangkelam dan Anadoyo. Si pemuda menyalakan sebuah
suluh yang sudah tersedia di dinding lorong.
Seperginya mereka, Lembu Anobrak melangkah menuju pintu
keluar. Namun, ketika pintu itu ia buka, betapa terkejutnya lelaki itu.
Ternyata kediaman besarnya sudah mendapat pengepungan dari prajurit bersenjata
tombak dan panah, lengkap dengan perisainya. Ada pula prajurit-prajurit berkuda.
Para prajurit itu berbaris mengurung kediaman besar Lembu Anobrak. Tidak
disangkanya prajurit-prajurit yang dikabarkan oleh Anadoyo itu sedemikian cepat
datang mengepung.
Ternyata, jumlah praurit yang mengepung bukan 30-an
sebagaimana yang dilihat Anadoyo di jalan pinggir sungai tadi, tetapi lebih
dari seratus prajurit.
Lembu Anobrak langsung bisa mengenali siapa pemimpin dari
pasukan itu. Karenanya, ia menutup pintu dan melangkah mendekati kuda pemimpin
pasukan itu, yaitu Panglima Rembung Seta.
“Kau yang bernama Lembu Anobrak?” tanya Panglima Rembung
Seta.
“Rupanya aku cukup terkenal di kerajaanmu, orang asing.
Siapa kau?” Lembu Anobrak balik bertanya.
“Aku Panglima Rembung Seta. Dari lidah mata-mata kami, kau
telah menyembunyikan buronan kerajaan!” kata Panglima Rembung Seta.
“Siapakah mata-matamu itu? Apakah dia pernah masuk ke
kediamanku sehingga bisa menyatakan aku menyembunyikan buruan kerajaan?” tanya
Lembu Anobrak dengan tenang.
“Kakek Santet Tembus Pandang,” jawab Lembu Anobrak.
“Oh, rupanya tukang santet itu. Sepertinya mata-matamu itu
telah rusak ilmu santetnya,” kata Lembu Anobrak.
“Lembuh Anobrak, aku minta kau menyerahkan penjahat
kerajaan, jangan sampai para prajuritku merusak kediamanmu!” seru Panglima
Rembung Seta.
“Jangan berani-berani kau memerintahkan prajuritmu
menggeledah rumah bagusku. Jika kau lakukan, aku tidak bertanggungjawab dengan
nyawa mereka!” kata Lembu Anobrak.
“Kau tidak bisa menakutiku. Sikapmu jelas menunjukkan bahwa
kau menyembunyikan mereka. Aku beri kesempatan sekali lagi, serahkan anak
Robenta itu!”
“Maaf, aku tidak mau berurusan dengan orang-orang seperti
kalian. Aku mau pergi dan aku tidak bertanggungjawab terhadap apa yang menimpa
para prajuritmu,” kata Lembu Anobrak.
Wesleps!
Lembu Anobrak berkelebat mundur lalu lenyap begitu saja di
udara.
“Kesaktiannya tinggi juga,” membatin Panglima Rembung Seta.
Lalu serunya kepada pasukannya, “Geledah tempat ini!”
Maka, secara serentak para prajurit tombak bergerak dari
segala penjuru. Prajurit panah tetap pada posisinya, bersiap dengan anak panah
telah terpasang di busur. Sebagian prajurit berkuda melompat dari punggung
kudanya dan berkelebat menuju atap bangunan kayu itu.
Brak! Brak! Babrak! Brak...!
Mendobrak pintu rumah orang adalah perbuatan jahat.
Akibatnya....
Seseset...!
“Aaak! Akh! Aaa...!”
Prajurit-prajurit terdepan yang melakukan pendobrakan pintu,
semuanya harus tewas oleh serangan-serangan anak panah dari langit-langit
ruangan atau lorong yang mereka dobrak. Serangan anak-anak panah itu membuat
para prajurit berhenti maju. Panglima Rembung terkejut dibuatnya.
Mencoba masuk ke rumah orang lewat atap pun bukanlah cara
yang baik. Akibatnya ....
Tresesetseset...!
“Ak! Akh! Akk...!”
Begitu kaki-kaki para prajurit berkuda itu menyentuh atap,
ribuan jarum-jarum beracun yang nyaris tidak terlihat berlesatan dari dalam
atap. Hanya satu dua tiga orang yang mampu menghindar lebih cepat dan kembali
turun ke tanah.
“Keparat!” teriak Rembung Seta geram melihat kematian para
prajuritnya. Lalu teriaknya kepada prajurit lainnya, “Apa yang kalian lakukan?
Ayo masuk!”
Mau tidak mau, para prajurit yang kini dihinggapi rasa
was-was itu bergerak perlawan penuh kewaspadaan. Mereka bergerak memasuki
pintu-pintu yang sudah terbuka oleh dobrakan pertama.
Tseb! Creceb! Bset! Blaar!
Baru saja para prajurit itu menginjakkan langkah pertama
melewati pintu, berbagai insiden maut punt terjadi.
Ada tombak-tombak miring yang keluar dari dalam dan menusuk
orang-orang yang ada di ambang pintu. Ada tombak-tombak yang keluar dari dalam
lantai melesat miring ke atas, menusuk perut prajurit dari arah bawah. Ada
jarum-jarum beracun yang menghujani dari atas kepala. Dan ada juga yang terjadi
ledakan.
Namun, satu prajurit berhasil masuk tanpa mendapat serangan.
Dia terus masuk hingga tembus ke pinggir lapangan dalam bangunan. Namun, ia
menjadi bingung harus ke mana dulu.
“Mundur!” perintah Rembung Seta.
Para prajurit yang belum mencoba masuk ke dalam segera
bergerak mundur.
“Sugoroh, hancurkan rumah besar ini!” perintah Rembung Seta.
Seorang penunggang kuda berpakaian pendekar berwarna merah
hitam bergerak memajukan kudanya setelah mendapat perintah itu.
Lalu, pendekar yang bernama Sugoroh itu menghentakkan lengan
kanannya dengan jari-jari mengepal.
Wesss!
Serangkum angin keras menderu.
Bdroakr!
Angin yang menerpa sebagian bangunan rumah kayu itu
menimbulkan ledakan pengrusak.
Sresseret...!
Namun, dari ledakan itu, puluhan anak panah justeru muncul
berlesatan dari dalam bangunan dan menyerang Panglima Rembung Seta dan sebagian
prajurit berkudanya. Maka, serentak Rembung Seta dan para prajurit berkuda itu
melompat setinggi-tingginya menghindari panah-panah itu. Akibatnya, kuda-kuda
mereka harus dikorbankan nyawanya terkena panah. Beberapa prajurit yang tidak
sigap, terpaksa tewas pula.
“Benar-benar keparat rumah ini!” maki Rembung Seta.
Panglima Rembung Seta terdiam sejenak berpikir.
Sementara prajurit yang awalnya berhasil masuk, juga harus
tewas ketika mendobrak sebuah pintu kamar. Ia tewas dihantam bola berduri yang
melesat dari dalam kamar.
“Apa yang harus kita lakukan, Panglima?” tanya Sugoroh.
“Rumah ini penuh dengan maut. Kita benar-benar tidak
diizinkan untuk menyentuhnya. Aku tidak ingin semua prajuritku mati hanya untuk
menaklukkan rumah sial ini,” kata Rembung Seta.
Seorang prajurit berlari datang mendekat kepada Panglima
Rembung Seta.
“Ada apa?” tanya Rembung Seta.
“Seorang prajurit berhasil masuk lewat pintu yang tidak
memiliki jebakan, Tuanku!” lapor prajurit itu.
“Sugoroh, pimpin prajuritmu menggeledah rumah ini lewat
pintu aman itu!” perintah Rembung Seta.
“Semua prajurit berkuda, ikut aku!” seru Sugoroh kepada para
prajurit berkuda. Lalu katanya kepada prajurit yang melapor tadi, “Tunjukkan
pintunya prajurit!”
Mereka bergerak dengan meninggalkan kudanya masing-masing di
tepat.
Pintu aman yang dimaksud prajurit itu adalah sebuah pintu
yang memiliki tulisan di atasnya “lewat pintu lain”. Pintu itu adalah pintu
sebuah ruangan yang tertata rapih dengan enam kursi dan satu meja kayu bundar.
Di dinding kayu ruangan terdapat beberapa buah benda pajangan.
Meskipun dikatakan aman, tetapi mereka masuk dengan penuh
kehati-hatian. Hingga mereka tembus ke koridor pinggir lapangan tengah bangunan
yang luas. Sugoroh memerintahkan kepada anak buahnya yang semuanya pendekar
untuk menyebar menggeledah. Umumnya para prajurit itu adalah para pendekar
kelas menengah yang masih bisa diandalkan.
Setiap pintu yang ada harus mereka dobrak. Akibatnya, muncul
serangan berupa senjata panah, jarum beracun, tombak, bola berduri dan
senjata-senjata lain yang bisa membunuh. Sebagai orang yang mengaku pendekar,
pada umumnya mereka mampu mengelaki serangan senjata-senjata itu. Namun, tetap
saja ada yang tidak sigap, sehingga harus tewas.
Ada yang berani masuk dan menggeledah ke dalam ruangan.
Mendadak pintu yang tadi didobraknya tertutup oleh pintu terali besi yang turun
dari atas. Selanjutnya si pendekar diserang ramai-ramai oleh berbagai senjata.
Hingga orang itu sudah tewas pun, serangan senjata masih berlesatan, seolah
persediaan senjata rahasia tidak habis-habis.
Ada juga prajurit pendekar yang hanya melihat dalam ruangan
dari luar pintu untuk mencari aman.
Sementara itu....
Anadoyo yang menuntun Robenta dan Wulangkelam lewat jalur
bawah tanah, akhirnya keluar lewat akar sebuah pohon besar yang tertutupi oleh
ilalang liar. Selanjutnya mereka segera pergi menuju selatan.
Namun, baru belasan tombak jauhnya mereka meninggalkan
lubang, tiba-tiba....
“Berhenti!” seru seseorang dari belakang mereka.
Robenta dan lainnya terpaksa berhenti dan berpaling ke
belakang. Tujuh orang prajurit berompi biru bersenjatakan tombak datang
mendekat.
“Prajurit Seringgis keparat!” gusar Robenta yang teringat
dendam masa lalunya.
Tanpa hitung-hitung lagi, Robenta bergerak maju. Para
prajurit itu terkejut melihat Robenta langsung menyerang.
Drak! Dak! Baks! Bugk!
Tongkat merah Robenta mengamuk memecahkan kepala, meremukkan
tulang punggung, meremukkan tulang dada dan lainnya. Tameng yang dimiliki para
prajurit itu pun tidak mampu membendung tongkat maut Robenta. Dalam satu waktu
singkat, ketujuh prajurit itu tewas dengan tulang belulang remuk berantakan.
“Kenapa Ayahanda begitu marah, padahal mereka belum
melakukan apa-apa?” tanya Wulangkelam.
“Kematian ibumu di tangan prajurit-prajurit Seringgis tidak
akan pernah aku lupakan,” jawab Robenta. “Kita harus cepat sampai ke kediaman
guruku.”
Tanpa mereka ketahui, masih ada satu prajurit yang tidak
muncul dari persembunyiannya yang jaraknya terjaga. Buru-buru prajurit itu
berlari pergi setelah Robenta dan kedua pemuda itu menghilang dari pandangan.
“Sebegitu pentingkah kalung pusaka itu bagi Raja Seringgis,
Paman?” tanya Anadoyo.
“Sangat penting, karena menyangkut silsilah keluarga
kerajaan dan kitab pusaka milik raja pertama. Kita itu memuat beberapa ilmu
yang bisa menandingi ilmu-ilmu tinggkat tinggi yang pernah dimiliki oleh
jajaran tokoh-tokoh tua persilatan.”
“Ada yang aku herankan. Kenapa kalung pusaka itu hanya bisa
dibuka oleh guru Paman?” tanya Anadoyo.
“Sebab guruku adalah pencipta kalung pusaka yang dipakai
Wulangkelam.”
“Itu berarti guru Paman menguasai ilmu dalam kitab pusaka
kerajaan itu?” terka Anadoyo.
“Aku tidak tahu banyak masalah ilmu di dalam kitab itu. Di
hari meninggalnya Raja Seringgis Dawakutra, selir termuda Yang Mulia memintaku
untuk menyelamatkan kalung itu.”
“Kapan kita akan tiba, Ayahanda?” tanya Wulangkelam.
“Kalian siap berlari cepat?” Robenta balik bertanya.
“Tidak masalah,” kata Anadoyo.
“Ayahanda akan melihat setinggi ilmu lariku,” kata
Wulangkelam yang baru kali ini keluar dari kediaman Lembu Anobrak.
“Mulai!” seru Robenta memberi tanda.
Dengan bersamaan, ketiganya bergerak cepat ke depan.
Ketiganya berlari laksana tidak menjejak bumi karena demikian cepatnya. Sebagai
tokoh tua dan murid Dewi Mata Hati, Robenta jelas lebih cepat dari kedua anak
muda itu. Namun, Robenta tidak perlu meninggalkan keduanya hanya karena ingin
cepat-cepatan.
Kembali di kediaman Lembu Anobrak.
Penggeledahan sudah selesai dilakukan. Panglima Rembung Seta
tetap menunggu hasilnya.
Dari dalam rumah, keluar Sugoroh dan dua orang anak buahnya.
Dari 14 orang yang masuk, hanya tiga orang yang berhasil selamat dari
jebakan-jebakan yang memenuhi rumah besar tersebut.
“Mana anak buahmu yang lain?” tanya Panglima Rembung Seta.
“Semuanya tewas dan tidak ada siapa-siapa di rumah ini, Panglima,”
jawab Sugoroh.
“Cuih! Hanya karena sebuah rumah kosong aku harus kehilangan
banyak prajurit!” geram Rembung Seta setelah sebelumnya meludah.
“Sekarang kita harus mencari ke mana, Panglima?” tanya
Sugoroh.
Panglima Rembung Seta terdiam. Ia merasa dipermainkan. Ada
sedikit sesal karena tidak mendengar kata-kata si pemilik rumah.
Di saat seperti itu, seorang prajurit datang berlari
tergesa-gesa. Ia langsung menjura hormat setibanya di depan Panglima.
“Ada apa?” tanya Panglima Rembung Seta.
“Tujuh prajurit kita dibunuh dalam waktu sekejap, Tuanku!”
lapor prajurit itu.
“Siapa yang melakukannya?” tanya Panglima cepat.
“Hamba tidak tahu, Tuanku. Mereka tiga orang. Satu orang
bertongkat merah, satu pemuda dan satu gadis cantik berpakaian kuning hijau
bermata lebar,” jelas si prajurit.
“Itu anak Robenta yang kita cari. Ke mana mereka pergi?”
“Ke arah selatan, Tuanku.”
“Kita harus cepat mengejar ke selatan!” kata Panglima
Rembung Seta.
(Bersambung:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar