Kondisi kota Banjul yang sepi di Kamis pagi, 19 Januari 2017, hari yang seharusnya jabatan kepresidenan berganti. (Foto: Afolabi Sotunde/Reuters) |
Banjul, 20 Rabi’ul Awwal 1438/19 Januari 2017 --- Kebuntuan
politik di Gambia membuat kondisi ibukota Banjul pada Kamis (19/1) pagi terlihat
sepi tanpa ada bisnis yang beraktivitas.
Tidak ada warga Gambia sedang dalam perjalanan untuk bekerja
dan tidak ada kelompok wisatawan yang biasa ada. Banyak dari mereka
meninggalkan negara itu setelah dideklarasikan keadaan darurat pada hari Selasa.
Keadaan darurat sehubungan dengan Presiden Gambia Yahya
Jammeh yang menolak menyerahkan kekuasaannya di hari terakhir masa jabatannya,
setelah ia dinyatakan kalah dalam pemilihan presiden pada 1 Desember 2016.
Tanggal 19 Januari 2017 adalah hari yang menjadi batas akhir
masa jabatan Jammeh.
Kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya kekerasan telah
mendorong puluhan ribu orang, banyak dari mereka anak-anak, melarikan diri dari
Gambia melalui perbatasan daratnya menyeberang ke Senegal, satu-satunya negara
yang berbatasan langsung dengan wilayah darat Gambia.
Di seluruh negeri, Gambia telah menunggu untuk melihat apa
yang akan terjadi pada tengah malam, saat terakhir masa pemerintahan Jammeh.
Rakyat Gambia lebih memilih bersembunyi di rumah mereka. Banyak
dari mereka yang menghabiskan hari sebelumnya dengan menyediakan stok makanan dan
mengantri di bank untuk mengambil uang tunai.
Presiden Gambia terpilih Adama Barrow yang telah pergi ke
Senegal awal pekan ini telah berjanji untuk maju dengan pelantikannya pada Kamis
(19/1).
Pemimpin oposisi tersebut pada Kamis mengunggah di Twitter bahwa ia akan mengadakan upacara
peresmian di Kedutaan Gambia di Dakar, ibukota Senegal.
Sementara itu, keberadaan Jammeh tidak diketahui pada hari
Kamis, sejam setelah Presiden Mauritania Mohamed Ould Abdel Aziz gagal mencoba
meyakinkan dia untuk menyerahkan kursi kepresidenan.
Mi’raj Islamic News
Agency (MINA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar