Presiden Sudan Selatan Salva Kiir. (dok. Nahar Net) |
Juba, Sudan Selatan, 23 Mei 2015
(Rudi News) --- Presiden Sudan Selatan Salva Kiir telah memperingatkan, sanksi internasional yang diusulkan hanya akan memperburuk perang saudara di negaranya.
Ancaman sanksi dari Dewan Keamanan PBB, Uni Afrika dan blok regional IGAD, telah dilakukan di tengah kecaman internasional terhadap Presiden Kiir dan pemimpin pemberontak saingannya, Riek Machar, karena gagal mengakhiri perang yang sudah 17 bulan lamanya.
"Pada saat ini, pembahasan sanksi tidak produktif," kata pernyataan dari kantor Presiden di Juba, Jumat (22/5).
"Sanksi hanya akan berfungsi untuk mengipas api saat ini. Mereka (sanksi) tidak akan mempercepat dialog dan kompromi, mereka tidak akan memberi makan dan mempekerjakan orang-orang Sudan Selatan," kata pernyataan itu.
Pemerintah melancarkan serangan besar terhadap pemberontak pada akhir April dalam salah satu serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, membuat 650.000 orang jadi terisolasi dari bantuan.
Menurut PBB dan badan-badan bantuan, orang-orang bersenjata telah
melakukan pemerkosaan, membakar kota dan menjarah pasokan bantuan.
Pekan lalu, pemberontak melancarkan serangan balik, termasuk serangan terhadap Malakal, ibukota negara bagian Upper Nile dan pintu gerbang ke ladang minyak utama negara itu.
Juru bicara Kiir, Ateny Wek Ateny, mengatakan, pemerintah saat ini mengontrol penuh ladang minyak Upper Nile, meskipun pemberontak telah membantah klaim tersebut.
Pertempuran pecah pada bulan Desember 2013 saat Presiden Kiir menuduh Machar, mantan wakilnya, berupaya melakukan kudeta.
Utusan Washington untuk PBB Samantha Power mengatakan pekan ini, AS sedang bekerja bersama Dewan Keamanan untuk mengumpulkan bukti guna kemungkinan menjatuhkan sanksi.
Tahun lalu, Uni Eropa dan Amerika Serikat melakukan pembekuan aset dan larangan perjalanan terhadap komandan dari kedua belah pihak, tetapi sanksi tidak banyak berguna karena perang kian memburuk.
Pekan lalu, pemberontak melancarkan serangan balik, termasuk serangan terhadap Malakal, ibukota negara bagian Upper Nile dan pintu gerbang ke ladang minyak utama negara itu.
Juru bicara Kiir, Ateny Wek Ateny, mengatakan, pemerintah saat ini mengontrol penuh ladang minyak Upper Nile, meskipun pemberontak telah membantah klaim tersebut.
Pertempuran pecah pada bulan Desember 2013 saat Presiden Kiir menuduh Machar, mantan wakilnya, berupaya melakukan kudeta.
Utusan Washington untuk PBB Samantha Power mengatakan pekan ini, AS sedang bekerja bersama Dewan Keamanan untuk mengumpulkan bukti guna kemungkinan menjatuhkan sanksi.
Tahun lalu, Uni Eropa dan Amerika Serikat melakukan pembekuan aset dan larangan perjalanan terhadap komandan dari kedua belah pihak, tetapi sanksi tidak banyak berguna karena perang kian memburuk.
Lebih setengah dari penduduk Sudan Selatan yang berjumlah 12 juta orang membutuhkan bantuan, di mana 2,5 juta orang menghadapi kerawanan pangan yang parah. Nahar Net yang dikutip Rudi News. (Rudi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar