Senin, 19 Desember 2016

Yahya Jammeh, Presiden Gambia Penjaga “Tauhid”

Presiden Gambia Yahya Jammeh. (AFP)
Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)


Presiden Gambia Yahya Jammeh adalah pria kelahiran 25 Mei 1965 di desa Kanilai, selatan Gambia. Nama lengkapnya Yahya Abdul-Aziz Jemus Junkung Jammeh. Sebagian kalangan mengenalnya sebagai pemimpin “tangan besi”, tapi ia juga presiden yang tidak sungkan melontarkan kalimat-kalimat yang bermakna “tauhid”.


"Saya akan tunduk hanya kepada Allah dan ibu saya.” 


Itu adalah salah satu kalimatnya baru-baru ini dalam menanggapi kritikan lawan politiknya.


Ada yang unik dari penampilan resmi seorang Jammeh. Ia selalu tampil di muka umum dengan membawa, kitab suci Al-Quran, tasbih dan tongkat komando di tangannya. Bahkan, ketika berjabat tangan dengan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Presiden Jammeh membawa ketiga benda itu.


Presiden Jammeh bergabung dengan Tentara Nasional Gambia pada 1984, berpangkat Letnan II pada 1989, dan pada Agustus 1992 menjadi komandan Polisi Militer Yundum Barracks. Ia menerima pelatihan militer yang lama di negara tetangga Senegal, dan pelatihan polisi militer di Fort McClellan, Alabama.

Pada 22 Juli 1994, Letnan Yahya Jammeh bersama sekelompok perwira muda di Tentara Nasional Gambia merebut kekuasaan dari Presiden Sir Dawda Jawara dalam kudeta militer dengan cara mengambil kontrol fasilitas kunci di ibukota, Banjul. Kudeta berlangsung tanpa pertumpahan darah dan hanya menghadapi sedikit perlawanan. Kelompok ini menamai dirinya sebagai Angkatan Bersenjata Dewan Hukum Sementara (AFPRC). Jammeh yang berusia 29 tahun sebagai ketuanya.

AFPRC kemudian membekukan konstitusi, menutup perbatasan, dan menerapkan jam malam. Pemerintahan baru sementara bentukan Jammeh membenarkan kudeta, mencela korupsi dan kurangnya demokrasi di bawah rezim Jawara.

Di bawah Jammeh, personel militer merasa puas dengan gaji, kondisi hidup, dan prospek untuk promosi mereka.

Jammeh kemudian mendirikan Aliansi Reorientasi Patriotik dan Pembangunan sebagai partai politiknya. Dia terpilih sebagai presiden pada September 1996. Namun, pengamat asing tidak menganggap pemilu itu bebas dan adil.

Dia terpilih kembali pada 18 Oktober 2001 dengan sekitar 53% suara. Pemilu kali ini umumnya dianggap bebas dan adil oleh pengamat, meskipun ada beberapa kekurangan yang sangat serius, seperti intimidasi terang-terangan kepada pemilih dan mendistorsi proses pemilihan yang menguntungkan partai penguasa.

Sebuah upaya kudeta terhadap Jammeh berhasil digagalkan pada 21 Maret 2006. Jammeh yang saat itu berada di Mauritania cepat kembali ke Gambia. Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel Ndure Cham, tersangka pemimpin plot, dikabarkan melarikan diri ke negara tetangga Senegal, sementara terduga komplotan lainnya ditangkap dan diadili karena pengkhianatan.

Jammeh kembali menduduki masa jabatan ketiga setelah kembali menang dalam pemilihan presiden pada 22 September 2006.

Pada bulan November 2011, Jammeh lagi-lagi terpilih sebagai presiden untuk masa jabatan keempat dengan menerima 72% suara rakyat.

Menjelang pemilihan presiden 2016, sejumlah tokoh oposisi, termasuk pemimpin Partai Persatuan Demokrasi, Ousainou Darboe, dijatuhi hukuman tiga tahun penjara karena melakukan protes pro-demokrasi.

Dalam pidato publiknya, Jammeh menyebut anggota oposisi "orang oportunistik yang didukung oleh Barat."

"Saya akan tunduk hanya kepada Allah dan ibu saya. Saya tidak akan pernah mentolerir oposisi untuk mengacaukan negara ini," Kata Jammeh.

Pemilihan itu berlangsung pada 1 Desember 2016 dengan hasil mengejutkan. Jammeh dikalahkan oleh Adama Barrow, pemimpin koalisi partai-partai oposisi.

Jammeh menyatakan kepada publik bahwa ia tidak akan memprotes hasilnya. Pengumuman itu membuat banyak warga pendukung oposisi tumpah ruah ke jalan merayakan kemenangan oposisi.

Namun, sepekan kemudian, Presiden Jammeh tampil kembali di publik dan mengumumkan menolak hasil pemilu, karena dinilai banyal kejanggalan serius. Ia menyerukan diadakannya pemilu presiden baru dengan komisi pemilihan yang lebih independen dan terpercaya.

Presiden Yahya Jammeh bersama Presiden AS Barack Obama. (Dok. Al Jazeera)


Yayasan Perdamaian Jammeh

Yayasan Perdamaian Jammeh (JFP) diciptakan oleh Jammeh untuk membantu mengentaskan kemiskinan di kalangan rakyat Gambia, meningkatkan produksi pertanian, dan mensponsori beasiswa pendidikan bagi siswa yang tidak mampu.

Yayasan ini memiliki sebuah rumah sakit yang disponsori oleh presiden dan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat umum.

Pada tahun 2012, secara pribadi Jammeh menyumbang sebesar $ 2.563.138 kepada Konferensi Pemuda dan Festival Nasioal (NAYCONF) dan "dua truk kalkun" kepada Dewan Kristen Gambia untuk dikirimkan ke komunitas Kristen. Jammeh juga menjadi penyandang dana bagi warga Gambia dan non-Gambia yang kurang mampu untuk masuk ke pedidikan universitas, baik di dalam maupun di luar negeri.

Hak-hak Perempuan

Jammeh pun mengumumkan larangan pernikahan anak dan melarang mutilasi alat kelamin perempuan (FGM) di Gambia. Larangan itu didorong oleh fakta bahwa 46% anak perempuan Gambia menikah di bawah usia18 tahun dan mayoritas telah mengalami FGM. Larangan itu diumumkan setelah akhir bulan Ramadhan dan Idul Fitri pada Juli 2016. Jammeh menyebut praktek FGM "tidak ada tempat dalam Islam atau dalam masyarakat modern."

Homoseksualitas

Pada 15 Mei 2008, Jammeh mengumumkan bahwa pemerintahannya akan memperkenalkan UU yang akan mengatur hukum terhadap kaum homoseksual yang lebih "ketat daripada di Iran". Ia menegaskan akan "memotong kepala" setiap gay atau lesbian yang ditemukan di negerinya.

Laporan berita mengindikasikan bahwa pemerintah bermaksud menghukum semua homoseksual di negara itu. Dalam pidatonya di Tallinding, Jammeh memberikan "ultimatum akhir" kepada setiap gay atau lesbian di Gambia untuk meninggalkan negara itu.

Dalam pidatonya di PBB pada 27 September 2013, Jammeh mengatakan bahwa "homoseksual dalam segala bentuk dan manifestasinya, sangat jahat, yang anti-kemanusiaan serta anti-Allah, sedang dipromosikan sebagai hak asasi manusia oleh beberapa kekuatan."

Menurutnya, mereka yang melakukannya “ingin mengakhiri eksistensi manusia."

Klaim perawatan medis dan obat

Pada bulan Januari 2007, Jammeh mengklaim ia bisa menyembuhkan HIV / AIDS dan asma dengan herbal alami. Program pengobatannya menginstruksikan pasien untuk berhenti memakai obat anti-retroviral mereka.

Namun, klaim itu telah dikritik karena mempromosikan pengobatan tidak ilmiah yang dapat memiliki hasil yang berbahaya, termasuk infeksi lain oleh orang-orang yang berpikir mereka telah disembuhkan dengan metode ini.

Pada bulan Agustus 2007, Jammeh mengaku telah mengembangkan infus herbal dosis tunggal yang bisa mengobati tekanan darah tinggi. Jammeh juga mengklaim mengembangkan pengobatan untuk infertilitas pada wanita sebagai bagian dari apa yang disebut Program Pengobatan Alternatif Presiden (PATP). 



Klaim sejarah



Menurut surat kabar harian Observer, pada 26 Juli 2010 Jammeh menyatakan bahwa Gambia adalah salah satu negara tertua dan terbesar di Afrika, yang dikurangi menjadi ular kecil oleh pemerintah Inggris yang menjual semua tanah negeri itu ke Perancis.



Keislaman Jammeh



Jammeh seperti kebanyakan orang Gambia, beragama dan mengamalkan Islam.


Pada Juli 2010, Jammeh menekankan bahwa orang harus beriman kepada Tuhan, "Jika Anda tidak percaya pada Tuhan, Anda tidak pernah bisa berterima kasih kepada umat manusia dan Anda bahkan lebih rendah dari babi."

Pada tahun 2011 ia mengatakan kepada BBC, "Saya akan menyampaikan kepada rakyat Gambia, jika saya harus memerintah negara ini selama satu miliar tahun, saya akan jalani, jika Allah mengatakan demikian."

Pada tanggal 12 Desember 2015, Jammeh menyatakan negara mayoritas Muslim itu menjadi “Republik Islam”. Jammeh mengatakan kepada televisi nasional bahwa proklamasi negara itu sejalan dengan "identitas agama dan nilai-nilai" bangsa Gambia. Dia menambahkan bahwa ada kode berpakaian yang akan deterapkan bagi wanita Muslim di negara itu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar