إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah
Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni
surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS. Al-Ahkaf [46] 13-14).
Sebagai bentuk penghambaan manusia pada Rabbnya, ibadah
memerlukan istiqamah, keteguhan hati dalam mengikuti petunjuk yang dengan jelas
telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, tanpa menambah atau mengurangi
sedikit pun.
Ibnu Rajab al-Hambali menjelaskan definisi istiqamah, yaitu,
“Berjalan di atas jalan kebenaran yang lurus tanpa menyimpang sedikit pun, dan
menjalankan syariat Islam sesuai dengan manhaj Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dalam melakukan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.”
Imam Muslim meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam, “Amal yang paling disukai Allah Ta’ala adalah amal yang
dikerjakan terus menerus walaupun jumlahnya sedikit.”
Karena itu, istiqamah bukan sekedar kebajikan tambahan atau
pelengkap, melainkan sebuah keharusan dalam kehidupan manusia, sebagai individu
maupun masyarakat.
Jelasnya, istiqomah adalah sebuah keniscayaan bagi seorang
Muslim. Sebagaimana dijelaskan sendiri oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam ketika seorang sahabatnya, Sufyan bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu,
bertanya, “Wahai Rasulullah, mohon dijelaskan padaku tentang Islam yang
sesungguhnya, sehingga aku tidak bertanya lagi setelah ini kepada seseorang
selain kepadamu?”
Beliau menjawab, “Katakanlah, aku beriman kepada Allah
kemudian ber-istiqamalah.” (HR. Muslim).
Di balik jawaban Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
yang singkat dan padat itu, justeru dapat ditangkap suatu isyarat bahwa untuk
menjadi Muslim sejati “cukup” dengan memenuhi dua syarat, yaitu beriman kepada
Allah dan bersikap istiqamah dalam keimanannya tersebut.
Allah sangat menghargai dan memuji orang-orang yang mampu
mempertahankan sikap istiqamah. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam
ayat di atas (QS. Al-Ahkaf [46] 13-14).
Karena itu, setiap kita harus berjuang untuk menunmbuhkan
istiqamah dalam jiwa masing-masing.
Ada empat hal yang harus ditempuh agar dapat menjadi
hamba-hamba Allah yang istiqamah:
Pertama, kesadaran dan pemahaman yang benar.
Muslim yang memahami ajaran agamanya dengan baik tidak akan
bimbang menjalani kehidupan dunia. Ia akan tetap tegar (istiqamah) menghadapi
badai godaan sedahsyat apa pun.
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan merasakan
pengawasan-Nya.
Dua hal ini sangat penting. Ketika seorang Muslim sudah
merasa dekat dengan Allah, ke mana pun ia pergi, di mana pun ia berada,
bagaimana pun situasinya, dengan keyakinan penuh ia akan selalu merasa diawasi
oleh Allah. Dengan begitu ia tidak akan berani lagi menyimpang dari jalan-Nya
(QS. Al-Baqarah [2] 235).
Ketiga, berteman dengan orang-orang shalih.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan,
“Seseorang itu mengikuti agama kawannya, karena itu perhatikanlah kepada siapa
orang itu berkawan.” (HR. Tirmidzi).
Keempat, instropeksi dan sungguh-sungguh.
Setiap pribadi Muslim harus mengetahui bahwa musuh utama
dirinya adalah hawa nafsunya sendiri yang memang memiliki tabiat selalu condong
kepada kejahatan dan perbuatan dosa (QS. Yusuf [12] 53).
Sebab itulah, setiap Muslim seyogianya selalu mengadakan
instropeksi diri terhadap apa-apa yang telah dikerjakan agar ia dapat
mengontrol hawa nafsunya setiap saat. (Rudi Hendrik).
Disadur dari tulisan
Muhammad Ilham Muchtar, Lc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar