Warga sipil Libya menggunakan senjata berat, (belsat.eu) |
Oleh: Rudi Hendrik, dipublikasikan di Mirajnews.com/id pada 5 Juli 2015
Libya yang tanpa hukum telah menjadi magnet tersendiri bagi
para pejuang untuk menerima pelatihan senjata di kamp-kamp jihad sebelum
meluncurkan serangan mematikan ke negara lain, seperti serangan pekan lalu di pantai
kota Sousse,Tunisia, yang membantai 38 wisatawan asing.
Negara Afrika Utara kaya minyak yang berbatasan dengan
Tunisia itu memiliki dua pemerintah dan parlemen saingan. Kedua penguasa yang
juga memiliki militer masing-masing, memerangi kelompok-kelompok bersenjata
yang berlomba-lomba untuk berkuasa pasca pemberontakan 2011 yang menggulingkan
Moamer Gadhafi.
“Kekacauan di Libya memiliki implikasi keamanan yang serius
untuk kawasan", kata Michael Nayebi-Oskoui, pengamat senior Timur Tengah kepada
Stratfor, sebuah perusahaan penasehat dan intelijen dunia yang berbasis di kota
Texas, Amerika Serikat.
Menurutnya, Libya telah mengalami konflik yang lebih kecil
dari Suriah tapi memiliki pejuang yang stabil.
Pemerintah Tunisia mengatakan, ada 3.000 warganya yang
berjuang bersama kelompok pejuang di Suriah, Irak dan Libya. Sebanyak 500
veteran pejuang telah kembali ke tanah air, di mana mereka dianggap menimbulkan
ancaman keamanan dalam negeri.
Pada tanggal 26 Juni, seorang mahasiswa yang dipersenjatai
dengan senapan serbu membantai sedikitnya 38 turis di resort pantai populer Pelabuhan
el Kantaoui, kota Sousse, Tunisia timur. Itu menjadi serangan mematikan kedua terhadap
turis dalam tiga bulan di Tunisia.
Pihak berwenang mengidentifikasi pria bersenjata itu sebagai
mahasiswa Tunisia 23 tahun bernama Seifeddine Rezgui. Meski sebelumnya
pemerintah menyatakan Rezgui tidak pernah ke luar negeri, namun kemudian ia
diduga kuat menerima pelatihan senjata dari pejuang di Libya.
Saat peristiwa penembakan di Museum Nasional Bardo di Tunis
pada Maret yang menewaskan 21 turis dam seorang polisi, Rezgui diduga berada di
Libya.
"Hal ini menegaskan, ia pergi ke Libya secara ilegal.
Dia dilatih di Sabratha (barat Tripoli)," kata Sekretaris Negara Bidang Keamanan,
Rafik Chelli.
Para penyerang Museum Bardo keluar dari Tunisia pada waktu
yang sama dan mereka telah dilatih oleh Ansar al-Sharia, kelompok Al-Qaeda yang
digolongkan sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat dan PBB.
Kamp Sabratha
Seifeddin Rezgui (23), pelaku penembakan pantai Sousse, Tunisia (Getty Images) |
Sabratha yang menjadi tempat pelatihan adalah kota pesisir
yang terletak 60 kilometer (35 mil) barat dari Tripoli atau hanya 100 kilometer
dari Ras Jdir, perbatasan utama persimpangan antara Libya dan Tunisia.
Sabratha adalah daerah yang melintasi perbatasan
Libya-Tunisia yang dikenal sebagai Jefara. Daerah ini didiami oleh jaringan
suku nomaden yang sebelumnya hidup dari pekerjaan perdagangan dan penyelundupan.
Menurut Philip Stack, seorang pengamat Timur Tengah dan
Afrika Utara, Sabratha berada di bawah yurisdiksi aliansi milisi Libya Dawn,
koalisi pejuang yang tahun lalu merebut Tripoli, mendirikan pemerintah dan
parlemen serta menentang pemerintahan yang diakui secara internasional.
Pemerintah sebelumnya akhirnya memindahkan basisnya ke kota timur Tobruk.
Para pejabat keamanan di Tripoli mengatakan, ratusan pejuang
asing, termasuk dari Tunisia, telah kembali dari Suriah dan Irak. Mereka memasuki
Libya dalam beberapa bulan terakhir, mengambil keuntungan dari kacaunya
keamanan di negeri peninggalan Gadhafi itu.
Fallujah baru
Kelompok Islamic State atau ISIS/ISIL/Daesh sudah
mendapatkan pijakan di Libya dengan mengaku sebagai pihak yang bertanggung
jawab atas serangan terhadap wisatawan asing di Museum Bardo dan pantai Sousse,
Tunisia.
Peta kota Sabratha, Libya |
Kelompok ini sekarang mengontrol kota pesisir Sirte, kota
kelahiran Kadhafi, sekitar 500 kilometer dari Sabratha.
"Kelompok ini menemukan lahan subur di kota setelah menyerang
aliansi dan kelompok-kelompok bersenjata pro-Gadhafi," kata seorang pejabat
Sirte yang menolak disebutkan namanya, kepada Agence France Presse (AFP).
"Ini akan menjadi Fallujah baru dan tempat berkembang
biaknya pelatihan ekstrimis dari berbagai negara," katanya, mengacu pada
kota di Irak yang identik dikuasai oleh kelompok pejuang yang tak tertandingi.
Pada Jumat 3 Juli, New
York Times melaporkan, mujahid tinggi Tunisia Seifallah Ben Hassine, rekan almarhum Osama bin Laden, tewas dalam
serangan udara di Libya pada pertengahan Juni.
Ben Hassine yang juga dikenal sebagai Abu Iyadh, diyakini
telah mengkoordinasikan serangkaian pembunuhan, termasuk pembunuhan pejuang terkenal
Afghanistan anti-Taliban, Ahmad Shah Masood, pada tahun 2011.
Dia juga dikaitkan dengan serangan terhadap kedutaan besar
AS di Tunis pada 2012 dan pembunuhan dua politisi terkemuka Tunisia tahun
berikutnya.
Pengamat Tunisia Slaheddin Jourchi mengatakan, kekacauan di
Libya menimbulkan "bahaya nyata" terhadap keamanan strategis negaranya.
"Meskipun ada langkah-langkah keamanan dari Tunisia, namun
ada jaringan yang mampu melintasi perbatasan untuk membawa para pemuda ke
kamp-kamp di Libya, melatih mereka dengan jenis senjata yang akan mereka
digunakan dalam serangan dan kemudian membawanya kembali ke Tunisia pada waktu
yang tepat," katanya. (Rudi Hendrik)
uy
BalasHapus