Uang Dinar emas dan Dirham perak |
Oleh KH. Abul Hidayat Saerodjie, Ketua Lembaga Bimbingan Ibadah dan Penyuluhan Islam (LBIPI)
Uang dalam berbagai bentuknya sebagai alat tukar perdagangan telah dikenal ribuan tahun yang lalu seperti dalam sejarah Mesir kuno sekitar 4000 SM-2000 SM. Uang emas dan perak dalam bentuknya yang lebih standar telah diperkenalkan oleh Julius Caesar dari Romawi sekitar tahun 46 SM.
Di dunia Islam uang emas dan perak dikenal dengan Dinar dan Dirham. Keduanya, digunakan sejak awal Islam hingga masa tumbangnya kekhilafahan Turki Usmani tahun 1924.
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin selalu terbuka menerima tradisi atau budaya sebelumnya jika hal itu memberi manfaat, maslahat dan tidak mudharat bagi kehidupan umat manusia.
Karena Dinar dan Dirham sebagai mata uang Hakiki yang memiliki nilai intrinsik (memiliki nilai sama dengan nilai nominalnya), maka Nabi Muhammad Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menggunakan dan bahkan menjadikannya ketetapan (taqririyah) sebagai mata uang dalam ber-mu’amalah, dan ukuran nishab zakat dan pembayaran diyat.
Ternyata dalam perjalaan waktu, ketetapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam itu terbukti dan dibuktikan oleh kenyataan sejarah bahwa uang Dinar dan Dirham mampu bertahan dari rongrongan inflasi akibat permainan para spekulan kapitalis.
Dinar Dirham Bebas Inflasi
Sebuah riwayat di jaman Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyebutkan, “Ali bin Abdullah menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, Syahib bin Gharqadah menceritakan kepada kami, ia berkata, “Saya mendengar penduduk bercerita tentang Urwah, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam memberikan uang satu dinar kepadanya agar dibelikan seekor kambing untuk beliau. Lalu dengan uang tersebut ia membeli dua ekor kambing, kemudian ia jual satu ekor dengan harga satu dinar. Ia pulang dengan membawa satu dinar dan satu ekor kambing. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam mendoakannya dengan keberkatan dalam jual belinya. Seandainya ‘Urwah membeli debu pun ia pasti beruntung.” (HR.Bukhari).
Petugas menata tumpukan uang kertas (ANTARA) |
Riwayat tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa 14 abad lalu harga seekor kambing adalah satu dinar. Sampai dengan abad melenium ke tiga ini (Desember 2012 M) satu dinar (uang emas 22 krt yang beratnya 4,25 gr) kurs rupiahnya sudah mencapai Rp 2.300.000,- (dua juta tiga ratus ribu rupiah) masih bisa untuk membeli seekor kambing yang super besar, bahkan bisa membeli dua ekor kambing yang ukurannya sedang.
Ini menunjukkan bahwa uang Dinar dan Dirham memiliki nilai yang tidak berubah, bahkan jika dikurs dengan rupiah nilai nominalnya akan semakin naik mengikuti harga emas dunia. Coba bandingkan dengan uang rupiah?
Pada zaman Soekarno di masa orde lama tahun 1965 terjadi inflasi besar-besaran sehingga pemerintah memotong uang rupiah dengan menghilangkan angka nol tiga (000) dibelakang, sehingga uang Rp 1.000 menjadi Rp 1, (satu rupiah).
Pada tahun 1970 harga seekor kambing Rp 8.000,-(delapan ribu rupiah), 39 tahun kemudian harga seekor kambing telah naik menjadi Rp1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah). Masih tahun yang sama anak SMA yang kos biaya hidup untuk makan satu bulan cukup dengan uang Rp 10.000,- tetapi pada tahun 2009 uang Rp 10.000 hanya cukup untuk makan minum sekali saja dengan menu yang apa adanya.
Masih tentang uang kertas. Karena dahsyatnya inflasi, Zimbabwe negeri yang berdaulat, pada tanggal 31 Desember 2008 terpaksa mengeluarkan uang kertas dollar Zimbabwe (Z$) yang nominal selembarnya Z$100.000.000.000.- seratus milyar.
Aneh dan dahsyatnya lagi uang sebanyak itu hanya cukup untuk membeli empat butir jeruk atau setangkup roti. Hal ini mengingatkan kita pada peristiwa yang pernah terjadi di Jerman tahun 1923 seorang bapak mendorong uang dalam gerobak hanya untuk untuk membeli sebungkus roti.
Lebih tragis lagi seorang ibu di Jerman lebih suka membakar uang kertasnya untuk memanaskan ruangan dari pada membeli kayu bakar karena harga kayu bakar sama banyaknya dengan uang yang harus dibelanjakan.
Jadi jelas sekali rupiah dalam hitungan tiga puluhan tahun saja sudah amat sangat jauh perbedaan nilai bahkan amat sangat jauh merosot nilai daya belinya, demikian pula dengan uang kertas lainnya yang tidak memiliki nilai intrinsik semakin lama akan mengalami kemerosatan nilai dan daya belinya yang sangat jauh dibandingkan dengan Dinar dan Dirham. (Rudi Hendrik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar