Minggu, 19 Juli 2015

GIDI Musuh Muslim Dan Kristen

Pembakaran kios dan mushala di Tolikara, Papua, serta
surat edaran larangan shalat Id bagi Muslim

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Umat Islam menjadi sasaran brutal sekelompok massa Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) ketika sedang menunaikan shalat Idul Fitri.


Jemaah shalat Id yang sudah berkumpul dan tengah shalat diserang dan dibubarkan secara paksa, diikuti dengan aksi pembakaran masjid di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, Jumat (17/7). 


Sebelum kejadian itu, pihak GIDI melarang umat Islam untuk menunaikan Hari Raya Idul Fitri 1436 Hijriah. Dan karena kejadian itu, GIDI menjadi pihak tersalah mutlak bagi umat Islam dan Kristen seluruh Indonesia.


Sejarah singkat GIDI


Gereja GIDI pertama kali dirintis oleh tiga orang dari lembaga misionaris UFM (United For Mission) dan APCM (Asia Pacific Christian Mission) yaitu Hans Veldhuis, Fred Dawson, Russel Bond yang menjalankan misinya di Bumi Cendrawasih, Papua. 


Pada tanggal 20 Januari 1955, ketiga misionaris beserta tujuh pemuda dari Senggi terbang dari Sentani tiba di Lembah Baliem di Hitigima menggunakan pesawat amphibi "Sealander". 

Kemudian mereka melanjutkan misi dan akhirnya tiba di danau Archbol pada tanggal 21 Februari 1955.

Di area danau Acrhbold disinilah pertama kali mereka mendirikan Camp Injili dan meletakkan dasar teritorial penginjilan dengan dasar visi: "menyaksikan Kasih Kristus Kepada segala Suku Nieuw Guinea".

Pada tanggal 5 Juni 1957, pesawat MAF (maskapai penerbangan milik misionaris asing) pertama kali mendarat di Swart Valley yang sekarang disebut Karubaga Wilayah Toli. 

Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) berdiri sejak tanggal 12 Februari 1962. Terdaftar pada : Departemen Agama RI di Jakarta.


Pada perkembangannya, pada 20 November 2006, GIDI secara resmi bekerjasama dengan kelompok Kristen Yahudi KHAHZ (Domba Umat Bukit Zion) di Israel.

Ketua Lembaga Adat Papua Curigai GIDI

Lembaga Adat Papua curiga, peristiwa penyerangan jamaah shalat Idul Fitri dan pembakaran masjid di Tolikara disengaja. Tujuannya adalah untuk memunculkan riak-riak konflik baru di Bumi Cendrawasih itu.

Ketua Lembaga Adat Papua, Lenis Kogoya, mengaku sulit percaya dengan kesimpulan yang mengatakan, peristiwa pembakaran itu lantaran adanya tumpang tindih dua kegiatan kelompok beragama di wilayah tersebut.

Kogoya yang juga menjabat Staf Khusus Kepresidenan itu menjelaskan, ada informasi yang sampai kepadanya soal rangkain kegiatan agama mayoritas di Tolikara, yaitu adanya seminar internasional yang dilakukan oleh jemaat Gereja Gidi pada Jumat (17/7).

"Kalau itu (seminar) ada izinnya, kenapa diizinkan? itu tanggal merah (Idul Fitri). Harusnya tidak ada izinnya," katanya di Gedung Wantimpres, Jakarta, Sabtu (18/7).


Lenis melanjutkan, seminar yang dilakukan jemaat Gereja Gidi pun belum tentu kebenarannya. "Sekarang pertanyaannya apakah pertemuan gereja itu (seminar) pernah dilakukan? Atau itu sengaja? Persoalannya di situ?," ujarnya.

Persatuan Gereja tuntut GIDI minta maaf

Sementara itu, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) mengecam keras pembubaran Shalat Idul Fitri dan pembakaran masjid  umat Islam di Karubaga.

Menurut PGI, tindakan kekerasan dalam bentuk dan alasan apapun tidak dapat dibenarkan.

“Kami mengecam keras terjadinya pembubaran shalat Id dan pembakaran rumah ibadah, dalam hal ini masjid,” ujar Ketua Umum PGI Pdt. DR. Henrietta Tabita Hutabarat Telebang dalam pernyataan resmi di kantor PGI Pusat di Jalan Salemba Raya, Jakarta, Sabtu (18/7).

Menurut Henriette, PGI sangat menyesalkan terjadinya peristiwa kerusuhan di Tolikara.

Menurutnya, peristiwa ini melukai keutuhan sebagai bangsa dan tidak mencerminkan sikap mengasihi semua orang yang diajarkan oleh Yesus Kristus.

“Terutama jika hal ini dilakukan ketika umat sedang menjalankan ibadah,” ujarnya.

Memang ada surat edaran larangan shalat Id

Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tolikara, Yusak Mauri membenarkan adanya surat pemberitahuan dari Badan Pekerja GIDI Wilayah Toli Nomor 90/SP/GIDI-WT/VII/2015 yang berisi larangan bagi umat Islam untuk merayakan Idul Fitri di Karubaga, Kabupaten Tolikara. 
Presiden GIDI Pdt. Dorman Wandikbo
Menurutnya, surat pemberitahuan yang ditandatangani Ketua Badan Pekerja Wilayah Toli, Pendeta Nayus Wenda dan Sekretaris, Pendeta Marthen Jingga, dikeluarkan tanggal 11 Juli 2015. 

Saat Yusak menanyakan alasan keluarnya surat kontroversial ini, Sekretaris Badan Pekerja GIDI Wilayah Toli, Marthen Jingga, berdalih pelarangan dilakukan karena pada saat yang sama berlangsung kegiatan seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Pemuda GIDI tingkat Internasional di Karubaga. 

Di dalam surat yang beredar luas melalui media sosial tersebut, ada juga larangan bagi umat Nasrani lain mendirikan gereja serta melaksanakan ibadah. 

Di dalam surat itu, pihak GIDI mewajibkan umat Nasrani lainnya bergabung ke dalamnya. 


“Beberapa kali kami mengadakan pertemuan yang menghadirkan tokoh agama se-Kabupaten Tolikara, namun pihak Badan Pekerja GIDI Wilayah Toli selalu menolak dengan dalih keputusan larangan tersebut sebagai hal mutlak berlaku di wilayah Tolikara, karena merupakan hasil Sidang Sinode GIDI,” ungkap Yusak saat ditemui wartawan Kompas di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Papua, Sabtu (18/7/2015).

Presiden GIDI mengakui adanya surat edaran berisi larangan adanya kegiatan lebaran bagi umat Islam. Namun dia menegaskan, isi surat tersebut keliru dan sudah diklarifikasi sebelum peristiwa pembakaran mushalah terjadi.

"Sudah saya klarifikasi bahwa isi surat itu tidak benar dan salah. Karena tidak ada yang boleh melarang umat Islam beribadah di hari raya," kata Presiden GIDI Dorman Wandikbo kepada Merdeka.com, Jumat (17/07).

Sebagai presiden GIDI, Dorman juga mengaku sudah memberitahukan kepada GIDI Wilayah Tolikara selaku pembuat dan penanggungjawab keluarnya surat edaran tersebut.


"Gereja tidak melarang kegiatan ibadah umat Muslim di Wilayah Toli. Ini hanya kesalahpahaman dan miss komunikasi antara petugas Polres Tolikara," kata Dorman.


GIDI Harus Dibubarkan


Di sisi lain, Anggota Komisi VIII DPR RI Muhammad Syafii mengatakan, organisasi GIDI harus dibubarkan. Mereka telah melarang pemeluk agama lain untuk beribadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing.

"Organisasi seperti Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) yang melarang agama lain beribadah, harus dibubarkan. Tabiatnya seperti komunis," kata Syafii seperti dalam siaran pers yang diterima Republika Online, Ahad (19/7).

Menurutnya pelarangan yang dilakukan jemaat GIDI sebagai bentuk anti agama. Ini tentunya aturan yang bertentangan dengan Pancasila dan prinsip hak asasi manusi (HAM). 


Ia menambahkan pemuka-pemuka dalam organisasi tersebut harus bertanggung jawab dengan tindakan yang dilakukan oleh lembaga yang dipimpinnya. Para pemuka itu juga harus dihukum berat. Pasalnya, masalah ini bukan permasalahan sepele yang harus diusut tuntas.


Menteri Agama himbau jangan terprovokasi

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengecam keras tragedi Jumat 17 Juli itu.


“Selaku Menteri Agama, saya mengecam keras terjadinya kasus Tolikara yang telah mengoyak jalinan kerukunan antar umat beragama,” tegas Lukman di Jakarta, Sabtu (18/7).


Dia meminta kepada aparat penegak hukum untuk benar-benar mengusut pihak-pihak yang telah melakukan tindak perusakan dan penganiayaan, dan mengusut tuntas siapa pihak-pihak dibalik kasus tersebut.

Menteri Lukman juga memohon kepada umat Islam melalui para tokoh-tokohnya agar bisa menahan diri, tidak terprovokasi, dan mempercayakan sepenuhnya penyelesaian masalah ini kepada pihak kepolisian.


“Sehubungan dengan adanya ajakan jihad ke Papua terkait kasus Tolikara, saya memohon kedewasaan dan kearifan umat Islam melalui para tokoh-tokohnya untuk tidak terpancing dan terprovokasi lakukan tindak pembalasan,” terang Menag. (Rudi Hendrik)

Ref: dari berbagai sumber


Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar