Anjing-anjing pemburu. |
Oleh Rudi Hendrik
Cerita Sebelumnya: Misteri Gadis Buruan 5: Misteri Putri Wilasin
Di Gunung Babi, Kakek Rapetucap harus terjebak pula. Ia
tidak bisa keluar dari kawasan gunung tersebut. Bila Panglima Iblis tidak
meningkatkan kekuatan pagar gaibnya di sekeliling Gunung Babi, mungkin Kakek
Rapetucap masih berpeluang bisa menembus pagar gaib seorang diri.
Akhirnya Kakek Rapetucap memutuskan tinggal di gunung itu
sambil menjaga keselamatan penerus Raja Jikrasowo dan berusaha meningkatkan
tenaga dalamnya agar bisa menerobos pagar gaib yang dipasang Panglima Iblis.
Sementara itu, pagi hingga sore, tanpa kenal lelah,
anjing-anjing buas dilepas untuk memburu Kakek Rapetucap, Permaisuri Widiarsih
dan Putri Wilasin. Berulang kali jejak mereka tercium dan berulang kali pula
mereka dapat lolos dari serangan anjing-anjing. Kakek Rapetucap tidak bisa
berbuat banyak, karena perburuan dipimpin oleh dua orang sakti, yaitu Panglima
Setan dan Si Tombak Maut.
Perburuan yang begitu ketat setiap harinya membuat ketiga
buronan tidak bisa leluasa bergerak. Akibatnya, mereka pun harus seringkali
kelaparan dan kehausan. Beberapa kali ular gua pun menjadi santapan lezat bagi
mereka. Dedaunan menjadi menu hari-hari, sehingga kotoran mereka pun menyerupai
kotoran hewan. Sungguh kehidupan sulit yang harus mereka lalui.
Tidak jarang persembunyian mereka diketahui, tapi mereka
selalu dapat meloloskan diri dan bersembunyi lagi di tempat lain.
Dengan adanya Panglima Setan dan Si Tombak Maut yang
memimpin perburuan, Kakek Rapetucap hanya bisa menolong Permaisuri Widiarsih
dan Putri Wilasin dalam hal meloloskan diri.
Terkadang pula perburuan berhenti beberapa hari ketika para
prajurit mendapat tugas lain yang lebih diutamakan. Hal itu bisa memberi
sedikit waktu aman bagi Permaisuri dan Putri. Perburuan terus berlangsung
selama dua tahun. Dalam waktu itu, Kakek Rapetucap dapat meningkatkan ilmu
tenaga dalamnya.
Dua tahun tujuh bulan, barulah Kakek Rapetucap mampu
menembus pagar gaib milik Panglima Iblis untuk keluar dari Gunung Babi. Akan
tetapi, Kakek Rapetucap tidak bisa keluar jika harus membawa orang lain
bersamanya.
“Kau harus mencari tokoh sakti yang bisa mengeluarkan kami
dari penjara gunung ini, Rapetucap,” kata Permaisuri Widiarsih sebelum lelaki
tua setia itu pergi.
“Memang hamba harus mencari kotoh satki yang mengeluarkan Yang Mulia dari sini,” kata Kakek
Rapetucap dengan kata-kata yang cepat dan rapat, sehingga ada kata yang salah
ucap. “Namun, ini sama saja melepaskan Yang Mulia untuk dimakan oleh
anjing-anjing pemburu itu.”
“Jika kau tetap di sini, kita akan tetap menjadi buruan
selama bertahun-tahun berikutnya. Jika kau tetap di sini, hanya ada dua
kemungkinan yang tiada berarti, terus diburu atau akhirnya mati juga. Jika kau
pergi, ada satu kesempatan yang bisa kami harapkan. Pergilah, Rapetucap. Aku
bisa berjaga diri dengan bantuan ilmu yang kau bekalkan,” ujar Permaisuri
Widiarsih.
Kakek Rapetucap diam menimbang-nimbang.
“Harus ada pengorbanan, Rapetucap,” kata Permaisuri.
“Baiklah, Yang Lumia,”
kata Kakek Rapetucap akhirnya.
Dengan berat hati Kakek Rapetucap terpaksa meninggalkan
Permaisuri Widiarsih dan Putri Wilasin.
Bagi Permaisuri Widiarsih, ditinggal tidaklah terlalu
mencemaskannya, selama ia bisa bersembunyi dengan aman. Terlebih Kakek
Rapetucap menurunkan dua macam ilmu kesaktian sebagai bekal jaga diri.
Pada suatu pagi. Setelah Raja Langgang Matri memerintah
selama dua tahun tujuh bulan 15 hari, Panglima Setan datang menghadap.
“Lapor, Yang Mulia,” ucap Panglima Setan setelah menjura
hormat kepada Raja Langgang Matri di aula utama istana. “Permaisuri Widiarsih
dan Putri Wilasin menghilang.”
“Bagaimana menurutmu, Perdana Menteri?” tanya Raja Langgang
Matri kepada Panglima Iblis.
“Mereka pasti masih ada di Gunung Babi. Mereka bersembunyi
dengan baik sehingga anjing-anjing tidak bisa mengendusnya. Lain halnya dengan
Rapetucap. Kemungkinan dia sudah meningkatkan tenaga dalamnya sehingga bisa
menembus pagar gaibku, tapi dia tidak bisa keluar bersama orang lain,” ujar
Panglima Iblis selaku pemilik pagar gaib di Gunung Babi.
“Biarkan mereka merasa aman untuk beberapa saat. Hentikan
perburuan sampai tempat harta itu ditemukan, tapi tetap tempatkan prajurit di
sana!” perintah Raja Langgang Matri.
“Baik, Yang Mulia,” ucap Panglima Setan.
Maka, perburuan terhadap Permaisuri Widiarsih dan Putri
Wilasin dihentikan untuk sementara.
Selama lima bulan lebih Kakek Rapetucap pergi dan belum
kembali kepada Permaisuri Widiarsih.
Di suatu siang, tiga tahun dua hari setelah Raja Langgang
Matri berkuasa, Menteri Kehakiman Galakonar menghadap sang Raja di taman
istana. Saat itu Raja Langgang Matri bersama dua orang selirnya.
Menteri Kehakiman Galakonar adalah sosok lelaki bertubuh
tinggi besar berotot. Ia memiliki wajah sangar dengan modal hidung besar.
Usianya masih tergolong muda, 33 tahun. Namun, kesaktian dan kesetiaannya
kepada Raja Langgang Matri membuatnya ditempatkan di posisi yang strategis
untuk menjaga kelanggengan kekuasaan tuannya. Di pinggangnya tampak terlilit
rantai berwarna perak. Ia ditugaskan khusus untuk mencari tahu lokasi tempat
penyimpanan harta kerajaan.
“Ada apa, Galakonar?” tanya Raja Langgang Matri.
“Hamba berhasil menemukan seorang keluarga dari salah
seorang yang mengurus makanan Raja Jikrasowo. Ia pernah mendengar tentang
tempat harta kerajaan itu,” kata Menteri Galakonar.
“Bagus!” seru Raja Langgang Matri sambil bangkit berdiri
dengan wajah sumringah. “Mana orang itu, Galakonar?”
“Menunggu di luar taman, Yang Mulia.”
Raja Langgang Matri lalu melangkah pergi yang segera diikuti
oleh kedua selirnya dan para prajurit pribadi raja. Galakonar pun mengikuti di
belakang.
Sekeluarnya dari taman istana, Raja Langgang Matri melihat
seorang pemuda berpakaian desa berdiri menunggu di sisi prajurit penjaga pintu
taman. Pemuda itu segera menjura hormat.
“Sembah hamba, Yang Mulia,” ucap pemuda itu.
“Inikah orangnya, Galakonar?” tanya Raja Langgang Matri.
“Benar, Yang Mulia,” jawab Galakonar.
“Siapa namamu?” tanya Raja Langgang Matri kepada pemuda yang
kini berlutut di hadapannya.
“Juara, Yang Mulia,” jawab pemuda itu.
“Benar kau mengetahui tentang tempat penyimpanan harta
kerajaan?” tanya Raja Langgang Matri.
“Ibuku bekerja di dapur istana. Dia meninggal karena sakit.
Sebelum meninggal, ia menceritakan sebuah rahasia dari istana. Ibuku mengatakan
bahwa harta Kerajaan Kubaban disimpan di bawah rumah Mahajenderal Kularopak,”
ujar Juara.
“Bah! Keparat bangsat Kularopak!” maki Raja Langgang Matri
marah mendengar hal itu, membuat Juara jadi ketakutan dan gemetar. Lalu katanya
kepada Juara, “Bila kata-katamu benar, kau akan aku beri hadiah besar. Namun,
jika itu dusta, kepalamu akan dipenggal.”
“Hah!” kejut Juara lalu buru-buru bersujud menyembah.
“Ampun, Yang Mulia! Hamba jangan dipenggal, hamba jangan dipenggal, hamba tidak
bersalah!”
“Prajurit, penjarakan orang ini!” perintah Raja Langgang
Matri.
“Baik, Yang Mulia!” jawab dua prajurit penjaga pintu taman.
“Yang Mulia, jangan penjarakan aku!” teriak Juara saat kedua
tangannya dicekal dan ditarik pergi oleh dua orang prajurit.
“Galakonar, pimpin prajurit ke rumah Kularopak. Bongkar
rumah itu hingga ke tanah-tanahnya!” perintah Raja Langgang Matri.
“Baik, Yang Mulia.”
“Beruntung kularopak sudah menjadi tulang belulang,” ucap
Raja Langgang Matri lirih.
Mahajenderal Kularopak sendiri telah dibunuh tiga tahun yang
lalu, tidak lama setelah Langgang Matri berkuasa. Demikian pula dengan seluruh
anggota keluarga Kularopak, dibantai habis. Kini rumah Kularopak menjadi rumah
kosong yang sudah rusak.
Sejak diketahuinya lokasi penyimpanan harta kerajaan,
perburuan di Gunung Babi pun semakin digencarkan. Bahkan Raja Langgang Matri
memerintahkan beberapa pendekar berkesaktian untuk membantu Panglima Setan dan
Si Tombak Maut dalam memburu Permaisuri Widiarsih dan Putri Wilasin.
Kali ini, perburuan dilakukan secara besar-besaran. Jumlah
prajurit dan anjing pemburu pun dilipatgandakan jumlahnya.
Guk guk guk...!
Hampir di setiap sudut gunung terdapat anjing pemburu dan
prajurit. Suara gonggongan yang tiada henti menjadi musik mengerikan. Banyaknya
jumlah anjing yang dikerahkan membuat tiap jengkal tanah mendapat endusan
penciuman para anjing.
Guk guk guk!
Ada seekor anjing yang mulanya berjalan biasa sambil
mengendus-endus mencari jejak, tiba-tiba menggonggong keras sambil berlari
kencang. Prajurit yang memegang tali lehernya terpaksa turut berlari mengikuti.
“Hoiii! Buruannya ketemu!” teriak prajurit itu sambil terus
berlari.
Gonggongan anjing yang keras membuat anjing-anjing terdekat
jadi ikut ke satu arah. Suasana menjadi sangat ribut. Dan ternyata,
anjing-anjing itu menuju ke mulut sebuah gua yang sempit.
Betapa terkejutnya Permaisuri Widiarsih dan Putri Wilasin
saat mendengar ramainya suara gonggongan anjing dari luar gua. Setelah sekian
lama suara-suara gonggongan menakutkan itu menghilang, kini tiba-tiba muncul
tidak jauh dari tempat persembunyian itu.
“Bahaya! Kita tercium, anakku. Ayo cepat kita keluar!” kata
Permaisuri Widiarsih lalu bergegas menarik tangan puterinya.
Ibu dan anak itu berlari cepat lebih ke dalam gua,
meninggalkan apa yang mereka miliki. Ternyata gua sempit itu memiliki jalan
tembus.
Teriakan-teriakan prajurit dan ramainya gonggongan anjing
yang menandakan ada sesuatu, membuat Si Tombak Maut yang berada di sekitar
tempat itu segera melesat menyusul.
Anjing-anjing dan para prajurit harus antri memasuki gua
yang sempit. Namun bagi Si Tombak Maut yang adalah seorang lelaki berkepala
botak, mampu menyusul ke depan ke dalam gua dengan kelihaian ilmu peringan
tubuhnya.
Si Tombak Maut dan para prajurit berhenti senjenak ketika
mereka menemukan sisa-sisa perapian dan makanan. Sementara para anjing yang
terus menggonggong berusaha untuk terus berlari lebih ke dalam.
“Mereka baru saja pergi,” kata Si Tombak Maut yang di tangan
kanannya tergenggam sebuah tombak pendek bermata dua. “Kejar!”
Meskipun jalan dalam gua gelap, tapi itu bukan hambatan bagi
Si Tombak Maut dan para anjing. Justeru para prajurit yang kewalahan mengikuti
gerak anjing-anjing pegangan mereka.
Permaisuri Widiarsih dan Putri Wilasin sudah berhasil keluar
dari gua. Sementara gonggongan anjing-anjing kian dekat di belakang mereka.
Permaisuri terus berlari dengan memegang tangan puterinya.
Guk guk guk!
Dari arah selatan muncul sekelompok anjing dan prajurit.
Dari mulut gua tempat Permaisuri dan Putri keluar juga muncul para anjing yang
mengejar, termasuk Si Tombak Maut. Pengejaran pun terjadi dari dua arah.
Sementara itu, Permaisuri dan Putri harus berlari di tanah yang menanjak,
membuat mereka melambat.
Wess! Bduar!
Permaisuri Widiarsih yang selama ini hanya terus berlari dan
sembunyi, tiba-tiba mampu melesatkan satu sinar biru kecil dari telapak
tangannya kepada para anjing terdekat darinya. Sinar itu meledakkan tanah yang
mementalkan beberapa anjing terdepan sekaligus menewaskannya.
“Ibunda!” pekik Putri Wilasin ketika kakinya tersandung akar
pohon yang membuatnya terjatuh.
“Cepat bangun!” seru Permaisuri Widiarsih sambil buru-buru
menarik tubuh puterinya agar kembali berlari.
“Kita pasti mati, Ibunda!” ratap Putri Wilasin ketakutan
sambil berusaha berlari lagi.
Press! Bdluar!
“Akh!”
Si Tombak Maut yang muncul di udara mengiblatkan sinar hijau
melengkung dan menghancurkan tanah di dekat kaki Permaisuri Widiarsih dan
puterinya. Akibatnya, ibu dan anak itu terpental dan jatuh keras tidak jauh
dari bibir jurang. Serasa berpatahan tulang-tulang tubuh keduanya.
Seraya menahan sakit, Permaisuri Widiarsih berusaha bangun.
Putri Wilasin tidak bisa lagi, ia hanya mengerang kesakitan. Permaisuri segera
menggendong puterinya lalu berlari pincang. Namun, tidak ada jalan baginya
selain sebuah jurang berbatu yang di bawahnya mengalir sungai berarus deras.
Permaisuri Widiarsih terpaksa berbalik, tapi gerombolan
anjing sudah tinggal beberapa tombak lagi. Permaisuri berusaha melepaskan ilmu
warisan Kakek Rapetucap, tapi tidak bisa. Itu akibat luka dalam yang dialami
Permaisuri akibat serangan Si Tombak Maut tadi.
“Ibunda...!” jerit Putri Wilasin begitu ketakutan.
“Heaa!” pekik Si Tombak Maut seraya menyentilkan jari
tengahnya.
Sest! Dzeb!
Satu sinar putih sebesar kepalan tangan melesat cepat masuk
ke perut Permaisuri Widiarsih. Tidak sakit, tapi membuatnya tidak bisa bergerak
sedikit pun.
“Aku tidak bisa bergerak,” ucapnya pelan tapi panik, membuat
Putri Wilasin kian ketakutan.
“Ibunda... ibunda...!” jerit Putri Wilasin ketakutan dan menangis kencang di punggung ibunya.
Permaisuri Widiarsih telah terkena ilmu Beku Tulang yang
membuat seluruh persendian tidak bisa digerakkan sedikit pun.
“Wilasin, cepat lompat ke jurang!” teriak Permaisuri
Widiarsih.
“Tapi, Ibunda,” ucap Putri Wilasin bingung.
Graugrk!
Dua anjing terdepan sudah melompat menerkam dan langsung
menggigit kuat kedua kaki Permaisuri Widiarsih.
“Aaa...!” jerit Permaisuri Widiarsih panjang, lalu teriaknya
kepada puterinya, “Wilasin! Cepat lompat, selamatkan dirimu! Cepat...! Ak...!”
Graugkr!
“Ibunda...!” jerit Putri Wilasin dan refleks melompat dari
punggung ibunya ketika ada dua anjing lagi melompat menerkam badan ibunya.
Tubuh Putri Wilasin langsung meluncur ke arus sungai.
Sementara para anjing berebutan menggerogoti tubuh Permaisuri Widiarsih.
Sungguh pamandangan yang mengerikan. Demikianlah akhir nasib Permaisuri, tewas
di mulut sekawanan anjing.
Si Tombak Maut segera melihat kepada jatuhnya tubuh Putri
Wilasin. Jbur! Tubuh mungil itu langsung hilang di bawa arus sungai.
“Yang Mulia Permaisuri!” teriak seseorang tiba-tiba dari
sisi lain.
Sebelum Si Tombak Maut dan para prajurit melihat siapa yang
berteriak, sudah berkelebat cepat sosok berpakaian merah.
Beg! Dak! Degk!
Aik! Auk! Graik! Kaik!
Sosok berpakaian merah yang tidak lain adalah Kakek
Rapetucap, mengamuk memukul tendang anjing-anjing yang mengerumuni mayat
Permaisuri Widiarsih. Anjing-anjing itu memekik-mekik untuk yang terakhir
kalinya. Mereka berpentalan dan jatuh tidak bangun-bangun lagi.
“Kau pasti Kakek Rapetucap. Bagus, akhirnya kau muncul!”
seru Si Tombak Maut.
“Tetua Agung! Cari Putri Wilasin dan bawa pergi!” teriak Kakek
Rapetucap kepada seseorang yang bertengger di dahan pohon pinggir jurang.
Orang yang ada di dahan pohon adalah seorang lelaki tua
berambut putih panjang sebahu dan berjenggot putih sejengkal. Cekung sepasang
matanya. Pakaian putihnya dilapisi jubah hijau muda tapi lusuh. Usianya 70
tahun. Ia adalah seorang tokoh sakti aliran putih yang bernama Agung Huladarya.
Sepasang mata tuanya yang tajam dapat menangkap keberadaan
sesuatu yang hanyut di sungai di bawah sana. Walaupun orang tua itu tidak
pernah bertemu dengan Putri Wilasin, tapi ia sangat yakin, orang yang hanyut di
bawah sana adalah Putri Wilasin. Tanpa pikir panjang, kakek itu melesat cepat
menukik tajam ke sungai.
Duel terjadi antara Si Tombak Maut dengan Kakek Rapetucap.
Pertarungan tampak berjalan seimbang. Para prajurit dan para anjing tidak
berani mendekati area pertarungan itu.
“Aku bantu kau, Tombak Maut!” seru Panglima Setan yang baru
tiba di area itu.
Wesss!
Serangkum angin keras membahayakan dilepaskan ke arah Si
Tombak Maut dan Panglima Setan oleh Kakek Rapetucap yang memanggul mayat
Permaisuri Widiarsih yang berlumuran darah. Kedua yang disasar cepat mencelat
tinggi-tinggi menghindari angin maut itu. Akibatnya, angin itu menerbangkan
para prajurit dan anjing-anjing yang terterpa.
Setelah lepaskan angin, Kakek Rapetucap cepat berkelebat
lalu menghilang begitu saja. Orang tua itu pergi menembus pagar gaib yang
menyelimuti gunung itu. Menembus pagar gaib milik Panglima Iblis dengan membawa
tubuh lain telah dipelajari oleh Kakek Rapetucap dari Agung Huladarya.
(Bersambung: Misteri Gadis Buruan 7: Perangkap Rumah Kayu)
bagus dan menarik untuk di bca
BalasHapusdan seolah olah saya berada di zaman itu
yg jla saya ter hipnotis dg cerita ini
http://www.rajadumay.com/2016/03/kejutan-untuk-geng-bintang-tujuh.html
BalasHapus