Jumat, 01 April 2016

Misteri Gadis Buruan 6: Perburuan Putri di Gunung Babi

Anjing-anjing pemburu. 


Di Gunung Babi, Kakek Rapetucap harus terjebak pula. Ia tidak bisa keluar dari kawasan gunung tersebut. Bila Panglima Iblis tidak meningkatkan kekuatan pagar gaibnya di sekeliling Gunung Babi, mungkin Kakek Rapetucap masih berpeluang bisa menembus pagar gaib seorang diri.

Akhirnya Kakek Rapetucap memutuskan tinggal di gunung itu sambil menjaga keselamatan penerus Raja Jikrasowo dan berusaha meningkatkan tenaga dalamnya agar bisa menerobos pagar gaib yang dipasang Panglima Iblis.

Sementara itu, pagi hingga sore, tanpa kenal lelah, anjing-anjing buas dilepas untuk memburu Kakek Rapetucap, Permaisuri Widiarsih dan Putri Wilasin. Berulang kali jejak mereka tercium dan berulang kali pula mereka dapat lolos dari serangan anjing-anjing. Kakek Rapetucap tidak bisa berbuat banyak, karena perburuan dipimpin oleh dua orang sakti, yaitu Panglima Setan dan Si Tombak Maut.

Perburuan yang begitu ketat setiap harinya membuat ketiga buronan tidak bisa leluasa bergerak. Akibatnya, mereka pun harus seringkali kelaparan dan kehausan. Beberapa kali ular gua pun menjadi santapan lezat bagi mereka. Dedaunan menjadi menu hari-hari, sehingga kotoran mereka pun menyerupai kotoran hewan. Sungguh kehidupan sulit yang harus mereka lalui.

Tidak jarang persembunyian mereka diketahui, tapi mereka selalu dapat meloloskan diri dan bersembunyi lagi di tempat lain.

Dengan adanya Panglima Setan dan Si Tombak Maut yang memimpin perburuan, Kakek Rapetucap hanya bisa menolong Permaisuri Widiarsih dan Putri Wilasin dalam hal meloloskan diri.

Terkadang pula perburuan berhenti beberapa hari ketika para prajurit mendapat tugas lain yang lebih diutamakan. Hal itu bisa memberi sedikit waktu aman bagi Permaisuri dan Putri. Perburuan terus berlangsung selama dua tahun. Dalam waktu itu, Kakek Rapetucap dapat meningkatkan ilmu tenaga dalamnya.

Dua tahun tujuh bulan, barulah Kakek Rapetucap mampu menembus pagar gaib milik Panglima Iblis untuk keluar dari Gunung Babi. Akan tetapi, Kakek Rapetucap tidak bisa keluar jika harus membawa orang lain bersamanya.

“Kau harus mencari tokoh sakti yang bisa mengeluarkan kami dari penjara gunung ini, Rapetucap,” kata Permaisuri Widiarsih sebelum lelaki tua setia itu pergi.

“Memang hamba harus mencari kotoh satki yang mengeluarkan Yang Mulia dari sini,” kata Kakek Rapetucap dengan kata-kata yang cepat dan rapat, sehingga ada kata yang salah ucap. “Namun, ini sama saja melepaskan Yang Mulia untuk dimakan oleh anjing-anjing pemburu itu.”

“Jika kau tetap di sini, kita akan tetap menjadi buruan selama bertahun-tahun berikutnya. Jika kau tetap di sini, hanya ada dua kemungkinan yang tiada berarti, terus diburu atau akhirnya mati juga. Jika kau pergi, ada satu kesempatan yang bisa kami harapkan. Pergilah, Rapetucap. Aku bisa berjaga diri dengan bantuan ilmu yang kau bekalkan,” ujar Permaisuri Widiarsih.

Kakek Rapetucap diam menimbang-nimbang.

“Harus ada pengorbanan, Rapetucap,” kata Permaisuri.

“Baiklah, Yang Lumia,” kata Kakek Rapetucap akhirnya.

Dengan berat hati Kakek Rapetucap terpaksa meninggalkan Permaisuri Widiarsih dan Putri Wilasin.
Bagi Permaisuri Widiarsih, ditinggal tidaklah terlalu mencemaskannya, selama ia bisa bersembunyi dengan aman. Terlebih Kakek Rapetucap menurunkan dua macam ilmu kesaktian sebagai bekal jaga diri.

Pada suatu pagi. Setelah Raja Langgang Matri memerintah selama dua tahun tujuh bulan 15 hari, Panglima Setan datang menghadap.

“Lapor, Yang Mulia,” ucap Panglima Setan setelah menjura hormat kepada Raja Langgang Matri di aula utama istana. “Permaisuri Widiarsih dan Putri Wilasin menghilang.”

“Bagaimana menurutmu, Perdana Menteri?” tanya Raja Langgang Matri kepada Panglima Iblis.

“Mereka pasti masih ada di Gunung Babi. Mereka bersembunyi dengan baik sehingga anjing-anjing tidak bisa mengendusnya. Lain halnya dengan Rapetucap. Kemungkinan dia sudah meningkatkan tenaga dalamnya sehingga bisa menembus pagar gaibku, tapi dia tidak bisa keluar bersama orang lain,” ujar Panglima Iblis selaku pemilik pagar gaib di Gunung Babi.

“Biarkan mereka merasa aman untuk beberapa saat. Hentikan perburuan sampai tempat harta itu ditemukan, tapi tetap tempatkan prajurit di sana!” perintah Raja Langgang Matri.

“Baik, Yang Mulia,” ucap Panglima Setan.

Maka, perburuan terhadap Permaisuri Widiarsih dan Putri Wilasin dihentikan untuk sementara.

Selama lima bulan lebih Kakek Rapetucap pergi dan belum kembali kepada Permaisuri Widiarsih.
Di suatu siang, tiga tahun dua hari setelah Raja Langgang Matri berkuasa, Menteri Kehakiman Galakonar menghadap sang Raja di taman istana. Saat itu Raja Langgang Matri bersama dua orang selirnya.

Menteri Kehakiman Galakonar adalah sosok lelaki bertubuh tinggi besar berotot. Ia memiliki wajah sangar dengan modal hidung besar. Usianya masih tergolong muda, 33 tahun. Namun, kesaktian dan kesetiaannya kepada Raja Langgang Matri membuatnya ditempatkan di posisi yang strategis untuk menjaga kelanggengan kekuasaan tuannya. Di pinggangnya tampak terlilit rantai berwarna perak. Ia ditugaskan khusus untuk mencari tahu lokasi tempat penyimpanan harta kerajaan.

“Ada apa, Galakonar?” tanya Raja Langgang Matri.

“Hamba berhasil menemukan seorang keluarga dari salah seorang yang mengurus makanan Raja Jikrasowo. Ia pernah mendengar tentang tempat harta kerajaan itu,” kata Menteri Galakonar.

“Bagus!” seru Raja Langgang Matri sambil bangkit berdiri dengan wajah sumringah. “Mana orang itu, Galakonar?”

“Menunggu di luar taman, Yang Mulia.”

Raja Langgang Matri lalu melangkah pergi yang segera diikuti oleh kedua selirnya dan para prajurit pribadi raja. Galakonar pun mengikuti di belakang.

Sekeluarnya dari taman istana, Raja Langgang Matri melihat seorang pemuda berpakaian desa berdiri menunggu di sisi prajurit penjaga pintu taman. Pemuda itu segera menjura hormat.

“Sembah hamba, Yang Mulia,” ucap pemuda itu.

“Inikah orangnya, Galakonar?” tanya Raja Langgang Matri.

“Benar, Yang Mulia,” jawab Galakonar.

“Siapa namamu?” tanya Raja Langgang Matri kepada pemuda yang kini berlutut di hadapannya.
“Juara, Yang Mulia,” jawab pemuda itu.

“Benar kau mengetahui tentang tempat penyimpanan harta kerajaan?” tanya Raja Langgang Matri.
“Ibuku bekerja di dapur istana. Dia meninggal karena sakit. Sebelum meninggal, ia menceritakan sebuah rahasia dari istana. Ibuku mengatakan bahwa harta Kerajaan Kubaban disimpan di bawah rumah Mahajenderal Kularopak,” ujar Juara.

“Bah! Keparat bangsat Kularopak!” maki Raja Langgang Matri marah mendengar hal itu, membuat Juara jadi ketakutan dan gemetar. Lalu katanya kepada Juara, “Bila kata-katamu benar, kau akan aku beri hadiah besar. Namun, jika itu dusta, kepalamu akan dipenggal.”

“Hah!” kejut Juara lalu buru-buru bersujud menyembah. “Ampun, Yang Mulia! Hamba jangan dipenggal, hamba jangan dipenggal, hamba tidak bersalah!”

“Prajurit, penjarakan orang ini!” perintah Raja Langgang Matri.

“Baik, Yang Mulia!” jawab dua prajurit penjaga pintu  taman.

“Yang Mulia, jangan penjarakan aku!” teriak Juara saat kedua tangannya dicekal dan ditarik pergi oleh dua orang prajurit.

“Galakonar, pimpin prajurit ke rumah Kularopak. Bongkar rumah itu hingga ke tanah-tanahnya!” perintah Raja Langgang Matri.

“Baik, Yang Mulia.”

“Beruntung kularopak sudah menjadi tulang belulang,” ucap Raja Langgang Matri lirih.

Mahajenderal Kularopak sendiri telah dibunuh tiga tahun yang lalu, tidak lama setelah Langgang Matri berkuasa. Demikian pula dengan seluruh anggota keluarga Kularopak, dibantai habis. Kini rumah Kularopak menjadi rumah kosong yang sudah rusak.

Sejak diketahuinya lokasi penyimpanan harta kerajaan, perburuan di Gunung Babi pun semakin digencarkan. Bahkan Raja Langgang Matri memerintahkan beberapa pendekar berkesaktian untuk membantu Panglima Setan dan Si Tombak Maut dalam memburu Permaisuri Widiarsih dan Putri Wilasin.

Kali ini, perburuan dilakukan secara besar-besaran. Jumlah prajurit dan anjing pemburu pun dilipatgandakan jumlahnya.

Guk guk guk...!

Hampir di setiap sudut gunung terdapat anjing pemburu dan prajurit. Suara gonggongan yang tiada henti menjadi musik mengerikan. Banyaknya jumlah anjing yang dikerahkan membuat tiap jengkal tanah mendapat endusan penciuman para anjing.

Guk guk guk!

Ada seekor anjing yang mulanya berjalan biasa sambil mengendus-endus mencari jejak, tiba-tiba menggonggong keras sambil berlari kencang. Prajurit yang memegang tali lehernya terpaksa turut berlari mengikuti.

“Hoiii! Buruannya ketemu!” teriak prajurit itu sambil terus berlari.

Gonggongan anjing yang keras membuat anjing-anjing terdekat jadi ikut ke satu arah. Suasana menjadi sangat ribut. Dan ternyata, anjing-anjing itu menuju ke mulut sebuah gua yang sempit.

Betapa terkejutnya Permaisuri Widiarsih dan Putri Wilasin saat mendengar ramainya suara gonggongan anjing dari luar gua. Setelah sekian lama suara-suara gonggongan menakutkan itu menghilang, kini tiba-tiba muncul tidak jauh dari tempat persembunyian itu.

“Bahaya! Kita tercium, anakku. Ayo cepat kita keluar!” kata Permaisuri Widiarsih lalu bergegas menarik tangan puterinya.

Ibu dan anak itu berlari cepat lebih ke dalam gua, meninggalkan apa yang mereka miliki. Ternyata gua sempit itu memiliki jalan tembus.

Teriakan-teriakan prajurit dan ramainya gonggongan anjing yang menandakan ada sesuatu, membuat Si Tombak Maut yang berada di sekitar tempat itu segera melesat menyusul.

Anjing-anjing dan para prajurit harus antri memasuki gua yang sempit. Namun bagi Si Tombak Maut yang adalah seorang lelaki berkepala botak, mampu menyusul ke depan ke dalam gua dengan kelihaian ilmu peringan tubuhnya.

Si Tombak Maut dan para prajurit berhenti senjenak ketika mereka menemukan sisa-sisa perapian dan makanan. Sementara para anjing yang terus menggonggong berusaha untuk terus berlari lebih ke dalam.

“Mereka baru saja pergi,” kata Si Tombak Maut yang di tangan kanannya tergenggam sebuah tombak pendek bermata dua. “Kejar!”

Meskipun jalan dalam gua gelap, tapi itu bukan hambatan bagi Si Tombak Maut dan para anjing. Justeru para prajurit yang kewalahan mengikuti gerak anjing-anjing pegangan mereka.

Permaisuri Widiarsih dan Putri Wilasin sudah berhasil keluar dari gua. Sementara gonggongan anjing-anjing kian dekat di belakang mereka. Permaisuri terus berlari dengan memegang tangan puterinya.

Guk guk guk!

Dari arah selatan muncul sekelompok anjing dan prajurit. Dari mulut gua tempat Permaisuri dan Putri keluar juga muncul para anjing yang mengejar, termasuk Si Tombak Maut. Pengejaran pun terjadi dari dua arah. Sementara itu, Permaisuri dan Putri harus berlari di tanah yang menanjak, membuat mereka melambat.

Wess! Bduar!

Permaisuri Widiarsih yang selama ini hanya terus berlari dan sembunyi, tiba-tiba mampu melesatkan satu sinar biru kecil dari telapak tangannya kepada para anjing terdekat darinya. Sinar itu meledakkan tanah yang mementalkan beberapa anjing terdepan sekaligus menewaskannya.

“Ibunda!” pekik Putri Wilasin ketika kakinya tersandung akar pohon yang membuatnya terjatuh.

“Cepat bangun!” seru Permaisuri Widiarsih sambil buru-buru menarik tubuh puterinya agar kembali berlari.

“Kita pasti mati, Ibunda!” ratap Putri Wilasin ketakutan sambil berusaha berlari lagi.

Press! Bdluar!

“Akh!”

Si Tombak Maut yang muncul di udara mengiblatkan sinar hijau melengkung dan menghancurkan tanah di dekat kaki Permaisuri Widiarsih dan puterinya. Akibatnya, ibu dan anak itu terpental dan jatuh keras tidak jauh dari bibir jurang. Serasa berpatahan tulang-tulang tubuh keduanya.

Seraya menahan sakit, Permaisuri Widiarsih berusaha bangun. Putri Wilasin tidak bisa lagi, ia hanya mengerang kesakitan. Permaisuri segera menggendong puterinya lalu berlari pincang. Namun, tidak ada jalan baginya selain sebuah jurang berbatu yang di bawahnya mengalir sungai berarus deras.

Permaisuri Widiarsih terpaksa berbalik, tapi gerombolan anjing sudah tinggal beberapa tombak lagi. Permaisuri berusaha melepaskan ilmu warisan Kakek Rapetucap, tapi tidak bisa. Itu akibat luka dalam yang dialami Permaisuri akibat serangan Si Tombak Maut tadi.

“Ibunda...!” jerit Putri Wilasin begitu ketakutan.

“Heaa!” pekik Si Tombak Maut seraya menyentilkan jari tengahnya.

Sest! Dzeb!

Satu sinar putih sebesar kepalan tangan melesat cepat masuk ke perut Permaisuri Widiarsih. Tidak sakit, tapi membuatnya tidak bisa bergerak sedikit pun.

“Aku tidak bisa bergerak,” ucapnya pelan tapi panik, membuat Putri Wilasin kian ketakutan.

“Ibunda... ibunda...!” jerit Putri Wilasin ketakutan  dan menangis kencang di punggung ibunya.
Permaisuri Widiarsih telah terkena ilmu Beku Tulang yang membuat seluruh persendian tidak bisa digerakkan sedikit pun.

“Wilasin, cepat lompat ke jurang!” teriak Permaisuri Widiarsih.

“Tapi, Ibunda,” ucap Putri Wilasin bingung.

Graugrk!

Dua anjing terdepan sudah melompat menerkam dan langsung menggigit kuat kedua kaki Permaisuri Widiarsih.

“Aaa...!” jerit Permaisuri Widiarsih panjang, lalu teriaknya kepada puterinya, “Wilasin! Cepat lompat, selamatkan dirimu! Cepat...! Ak...!”

Graugkr!

“Ibunda...!” jerit Putri Wilasin dan refleks melompat dari punggung ibunya ketika ada dua anjing lagi melompat menerkam badan ibunya.

Tubuh Putri Wilasin langsung meluncur ke arus sungai. Sementara para anjing berebutan menggerogoti tubuh Permaisuri Widiarsih. Sungguh pamandangan yang mengerikan. Demikianlah akhir nasib Permaisuri, tewas di mulut sekawanan anjing.

Si Tombak Maut segera melihat kepada jatuhnya tubuh Putri Wilasin. Jbur! Tubuh mungil itu langsung hilang di bawa arus sungai.

“Yang Mulia Permaisuri!” teriak seseorang tiba-tiba dari sisi lain.

Sebelum Si Tombak Maut dan para prajurit melihat siapa yang berteriak, sudah berkelebat cepat sosok berpakaian merah.

Beg! Dak! Degk!

Aik! Auk! Graik! Kaik!

Sosok berpakaian merah yang tidak lain adalah Kakek Rapetucap, mengamuk memukul tendang anjing-anjing yang mengerumuni mayat Permaisuri Widiarsih. Anjing-anjing itu memekik-mekik untuk yang terakhir kalinya. Mereka berpentalan dan jatuh tidak bangun-bangun lagi.

“Kau pasti Kakek Rapetucap. Bagus, akhirnya kau muncul!” seru Si Tombak Maut.

“Tetua Agung! Cari Putri Wilasin dan bawa pergi!” teriak Kakek Rapetucap kepada seseorang yang bertengger di dahan pohon pinggir jurang.

Orang yang ada di dahan pohon adalah seorang lelaki tua berambut putih panjang sebahu dan berjenggot putih sejengkal. Cekung sepasang matanya. Pakaian putihnya dilapisi jubah hijau muda tapi lusuh. Usianya 70 tahun. Ia adalah seorang tokoh sakti aliran putih yang bernama Agung Huladarya.

Sepasang mata tuanya yang tajam dapat menangkap keberadaan sesuatu yang hanyut di sungai di bawah sana. Walaupun orang tua itu tidak pernah bertemu dengan Putri Wilasin, tapi ia sangat yakin, orang yang hanyut di bawah sana adalah Putri Wilasin. Tanpa pikir panjang, kakek itu melesat cepat menukik tajam ke sungai.

Duel terjadi antara Si Tombak Maut dengan Kakek Rapetucap. Pertarungan tampak berjalan seimbang. Para prajurit dan para anjing tidak berani mendekati area pertarungan itu.

“Aku bantu kau, Tombak Maut!” seru Panglima Setan yang baru tiba di area itu.

Wesss!

Serangkum angin keras membahayakan dilepaskan ke arah Si Tombak Maut dan Panglima Setan oleh Kakek Rapetucap yang memanggul mayat Permaisuri Widiarsih yang berlumuran darah. Kedua yang disasar cepat mencelat tinggi-tinggi menghindari angin maut itu. Akibatnya, angin itu menerbangkan para prajurit dan anjing-anjing yang terterpa.


Setelah lepaskan angin, Kakek Rapetucap cepat berkelebat lalu menghilang begitu saja. Orang tua itu pergi menembus pagar gaib yang menyelimuti gunung itu. Menembus pagar gaib milik Panglima Iblis dengan membawa tubuh lain telah dipelajari oleh Kakek Rapetucap dari Agung Huladarya.

2 komentar:

  1. bagus dan menarik untuk di bca
    dan seolah olah saya berada di zaman itu
    yg jla saya ter hipnotis dg cerita ini

    BalasHapus
  2. http://www.rajadumay.com/2016/03/kejutan-untuk-geng-bintang-tujuh.html

    BalasHapus