Rabu, 20 April 2016

Satu dari Lima Anak Perempuan di Malawi Diperkosa


Anak perempuan Malawi belajar beladiri. (Foto: Unicef)

Sebuah hasil survei yang dilakukan lembaga amal Ujamaa asal Kenya di Malawi terhadap 11.460 anak perempuan di bawah usia 18 tahun, menunjukkan rata-rata satu dari lima anak perempuan telah diperkosa. 

Dikutip dari Mirajnews.com/id, Hakim perempuan dan polisi Malawi baru-baru ini menyuarakan keprihatinannya tentang lonjakan kasus pemerkosaan, yang tahun lalu menjadi kejahatan yang paling tertinggi yang dilaporkan oleh warga Malawi.

Di pusat kota terbesar kedua Malawi, Blantyre, 90 persen kasus kekerasan adalah pelecehan seksual.

Perwira polisi Emmanuel Kalumbu di pusat kota Blantyre mengatakan, antara 9 hingga 13 tahun adalah kelompok usia yang paling rentan menjadi korban perkosaan. 

Menurutnya banyak kasus di berbagai kantor polisi setempat yang tidak ditindaklanjuti dengan penangkapan.
Petugas pengadilan anak, Godfrey Chavula mengatakan, tahun lalu ia melihat kasus sebanyak dua puluhan setiap bulan di pusat Blanytre, tapi hanya 45 kasus yang masuk ke pengadilan.

Korupsi dan penundaan sering membuat kasus tidak ditindaklanjuti, karena tidak ada saksi atau keluarga memilih menerima suap uang dari pemerkosa daripada membayar petugas di pengadilan.

Sementara itu, koran lokal selalu dipenuhi dengan berita kejahatan seks yang mencantumkan nama-nama korban atau orang tua mereka, sekolah dan desa asal mereka. 

Namun di negeri itu, perkosaan anak dalam bentuk inses dapat dianggap diterima atas nama "praktek budaya".

Di beberapa daerah, ayah diketahui tidur dengan anak perempuannya jika istrinya menolak berhubungan seks atau jatuh sakit, atau untuk menentukan berapa banyak biaya untuk "lobola” atau mas kawinnya.

 Ada pemikiran yang masih mengakar di masyarakat adat bahwa pemerkosaan dianggap tidak berdosa, terutama terhadap perawan untuk "membersihkan" penyakit, termasuk HIV, kutukan yang jelas, atau untuk membawa keberuntungan.

Brendan Ross, seorang di dewan Ujamaa mengatakan, orang yang menentang praktik budaya itu dianggap tidak menghormati orang yang lebih tua. (Rudi Hendrik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar