Anak perempuan Malawi belajar beladiri. (Foto: Unicef) |
Sebuah hasil survei yang dilakukan lembaga amal Ujamaa asal
Kenya di Malawi terhadap 11.460 anak perempuan di bawah usia 18 tahun,
menunjukkan rata-rata satu dari lima anak perempuan telah diperkosa.
Dikutip dari Mirajnews.com/id, Hakim perempuan dan polisi Malawi baru-baru ini menyuarakan
keprihatinannya tentang lonjakan kasus pemerkosaan, yang tahun lalu menjadi
kejahatan yang paling tertinggi yang dilaporkan oleh warga Malawi.
Di pusat kota terbesar kedua Malawi, Blantyre, 90 persen
kasus kekerasan adalah pelecehan seksual.
Perwira polisi Emmanuel Kalumbu di pusat kota Blantyre
mengatakan, antara 9 hingga 13 tahun adalah kelompok usia yang paling rentan menjadi
korban perkosaan.
Menurutnya banyak kasus di berbagai kantor polisi setempat
yang tidak ditindaklanjuti dengan penangkapan.
Petugas pengadilan anak, Godfrey Chavula mengatakan, tahun
lalu ia melihat kasus sebanyak dua puluhan setiap bulan di pusat Blanytre, tapi
hanya 45 kasus yang masuk ke pengadilan.
Korupsi dan penundaan sering membuat kasus tidak
ditindaklanjuti, karena tidak ada saksi atau keluarga memilih menerima suap
uang dari pemerkosa daripada membayar petugas di pengadilan.
Sementara itu, koran lokal selalu dipenuhi dengan berita kejahatan
seks yang mencantumkan nama-nama korban atau orang tua mereka, sekolah dan desa
asal mereka.
Namun di negeri itu, perkosaan anak dalam bentuk inses dapat
dianggap diterima atas nama "praktek budaya".
Di beberapa daerah, ayah diketahui tidur dengan anak
perempuannya jika istrinya menolak berhubungan seks atau jatuh sakit, atau
untuk menentukan berapa banyak biaya untuk "lobola” atau mas kawinnya.
Ada pemikiran yang
masih mengakar di masyarakat adat bahwa pemerkosaan dianggap tidak berdosa, terutama
terhadap perawan untuk "membersihkan" penyakit, termasuk HIV, kutukan
yang jelas, atau untuk membawa keberuntungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar