Jumat, 29 Januari 2016

Misteri Gadis Buruan 1: Berburu Robenta

(Dok. Tim Gough)
Oleh Rudi Hendrik

Suara hewan malam memang diciptakan untuk menghiasi sisi gelap dari hari. Sang Raja Alam tentunya menciptakannya tidak sia-sia. Sama halnya dengan penciptaan kebun singkong yang batang-batang pohonnya tumbuh dengan rapat dan tinggi, sehingga bisa menutupi dengan baik keberadaan sebuah gubuk kecil yang didirikan di tengah-tengahnya.

Di balik kegelapan yang di tercipta sungguh luar biasa itu, tampak sesosok tubuh bergerak mendekati kebun singkong. Sebelum sosok yang juga berpakaian hitam itu masuk ke dalam kebun, terlebih dulu kepalanya berpaling ke kanan dan ke kiri, memperhatikan daerah sekeliling, tampaknya khawatir jika ada satu makhluk yang melihat keberadaannya.

Kegelapan malam yang ditunjang oleh warna pakaiannya yang juga hitam, membuatnya tidak jelas dinilai, apakah ia pria atau wanita. Terlebih wajah dan kepalanya dibalut kain hitam seperti ninja.
Sosok itu bergerak masuk menyelinap di antara pohon-pohon singkong. Gerakannya cepat, sehingga tidak berapa lama, sudah berdiri di depan pintu gubuk bambu yang ada hanya satu-satunya. Pintu diketuknya.

Ternyata ketukan itu mengejutkan penghuni gubuk yang ada di dalam. Si penghuni adalah seorang pria separuh baya dan seorang wanita muda cantik. Si pria bermata sipit, sedikit berjenggot dan berambut gondrong. Pakaiannya serba hitam. Ia bernama Robenta.

Sementara wanita cantik bersamanya berusia 27 tahun. Meski selisih hampir separuh usia Robenta, tapi ia adalah isteri Robenta. Pakaian hijau mudanya bagus, layaknya pakaian kalangan bangsawan. Namanya Sulasih.

“Siapa?” tanya Robenta.

“Aku Sobenta, Kakak,” jawab si pengetuk pintu dengan berbisik tapi cukup keras, seolah khawatir ada orang lain mendengar selain mereka.

Robenta segera membuka pintu. Lelaki bertopeng yang mengaku bernama Sobenta bergegas masuk. Pintu langsung ditutup. Sobenta membuka penutup wajahnya sambil duduk. Satu-satunya cahaya dian di sudut ruangan kecil itu memperlihatkan wajah Sobenta yang mirip dengan Robenta, hanya lebih muda.

“Kau yakin sendirian?” tanya Robenta dengan wajah dingin dan tegang.

Memang ketiganya tidak bisa menyikapi situasi yang sedang mereka hadapi saat ini dengan hati yang gembira.

“Aku yakin, Kakak. Aku tidak melihat seorang pun prajurit Kerajaan Seringgis di daerah ini,” jawab Sobenta. “Lalu apa rencana Kakak selanjutnya?”

“Malam ini juga aku harus pergi menemui Jeneng. Jika aku pergi bersama isteriku, kami akan mudah terlihat. Maka itu, aku memintamu untuk menjaga Sulasih di sini,” ujar Robenta.

“Jangan khawatir, Kakak,” kata Sobenta meyakinkan.

Robenta beringsut menghampiri isterinya dan mengecup kening wanita cantik yang sangat dicintainya itu.

“Hati-hati, suamiku,” pesan Sulasih dengan wajah tetap penuh kecemasan, tapi suaminya memang harus dia izinkan pergi.

“Ingat, kalian jangan ke mana-mana hingga aku kembali!” pesan Robenta yang dijawab dengan anggukan isterinya dan Sobenta.

Robenta lalu menutupi wajahnya dengan kain hitam, hingga hanya sepasang matanya yang tampak. Robenta membuka pintu dan langsung berlari pergi menyelinap di antara pohon singkong. Sekeluarnya dari kebun singkong, Robenta langsung berkelebat pergi dengan ilmu peringan tubuhnya menembus kegelapan.

Meski terus berlari, Robenta tetap menjaga kewaspadaan tinggi. Ia tidak mau terlihat, apa lagi sampai tertangkap oleh patroli prajurit-prajurit Kerajaan Seringgis.

Robenta memilih jalan-jalan gelap. Demikian pula ketika ia harus melewati sebuah desa. Di sana ada patroli beberapa prajurit bersenjatakan tombak dan menyandang pedang di pinggang. Kewaspadaan dan kehati-hatian Robenta, membuat ia bisa melalui desa itu dengan aman.

Akhirnya Robenta berhenti. Titik di antara kedua matanya mengerut ketika ia melihat pagar bambu halaman sebuah rumah kecil di depannya rebah, sebagian lagi rusak tidak beraturan. Sepertinya sengaja dirusak. Robenta yakin telah terjadi sesuatu yang tidak baik di rumah yang berdiri sendiri agak jauh dari lingkungan desa itu.

Pintu rumah terbuka lebar. Ada beberapa anak panah menancap di dinding papan rumah, termasuk yang tergeleta tidak beraturan di sekitar ambang pintu.

“Bahaya!” desis Robenta sambil bergegas ke ambang pintu rumah. Ia pun memanggil, “Jeneng!”
Robenta berhenti sejenak memungut satu anak panah.

“Keparat! Ini panah-panah prajurit Seringgis,” batin Robenta.

Robenta segera bergerak ke dalam memeriksa keadaan. Gelap, tapi Robenta tahu bahwa kondisi di dalam berantakan tak beraturan. Beberapa barang hancur. Dinding bagian belakang rumah jebol.

“Jeneng!” teriak Robenta memanggil, berharap orang yang dicarinya selamat dan ada di sekitar rumah itu.

Tidak ada sahutan dari pihak lain. Robenta ke belakang rumah. Ia sejenak terdiam di sana. Ada bara api yang masih menyala di sebuah patahan tiang kayu.  Tanah pun keadaannya tidak wajar, ada beberapa kubangan kering yang tercipta dengan serakan tanah di mana-mana. Beberapa senjata tajam tergeletak begitu saja di tanah. Dan ada sesosok tubuh tengkurap tidak bergerak di dekat pohon pisang.

Robenta langsung menghampiri tubuh itu. Dari model rambutnya yang digelung di atas, sepertinya sosok itu adalah orang yang Robenta cari dan ingin temui. Untuk memastikannya lagi, Robenta membalik tubuh itu. Tampaklah wajah seorang lelaki lebih tua darinya dengan mata terbelalak tanpa sinar kehidupan. Lehernya menganga mengerikan bekas disayat benda yang sangat tajam. Dada kirinya jebol berbau sangit, bekas terhantam pukulan maut.

“Jasa-jasamu tidak akan aku lupakan, Jeneng,” ucap Robenta seraya mengusap sepasang mata mayat bernama Jeneng itu, sehingga sepasang kelopak matanya tertutup. Ia membatin, “Lalu di mana anakku berada?”

Robenta mencemaskan puterinya yang berusia empat tahun yang ia percayakan di tangan Jeneng. Batinnya pun bergejolak.

“Mayat pelayan Jeneng tidak ada. Mungkinkah mereka selamat dengan membawa puteriku, atau mereka dibawa ke Seringgis? Mudah-mudahan puteriku masih hidup. Keadaan makin gawat. Terjanggala sudah mengetahui keterlibatan Jeneng. Jangan-jangan ia pun telah mengetahui tempat persembunyianku. Aku harus cepat membawa Sulasih pergi menjauh,” kata batin Robenta.

Namun, sebelum pergi, Robenta harus lebih dulu memakamkan mayat Jeneng, sahabatnya.

Sementara itu, di sisi lain di kegelapan malam. Seekor kuda berlari cepat menembus kegelapan malam. Kuda itu ditunggangi oleh seorang prajurit berompi biru. Hingga akhirnya kuda dihentikan di depan tiga kuda lain yang tampak telah menunggu kedatangannya.

Kuda paling kanan ditunggangi oleh seorang pemuda berambut serba putih gondrong. Berpakaian serba merah dengan tepian berwarna biru. Ada pedang berwarangka mengganting di pinggang kirinya. Ia bernama Rembung Seta.

Kuda paling kiri diduduki oleh seorang pria tua bertubuh kurus. Ia memelihara kumis dan jenggot tipis yang saling menyambung. Pakaian putihnya dilengkapi dengan jubah kuning. Di pinggangnya melilit rantai besi hitam. Ia bernama Getar Jagad.

Sedangkan kuda di tengah ditunggangi oleh pria dengan tampilan seperti perwira kerajaan. Rambutnya digelung di atas dan kepalanya dilingkari gelang besi berwarna merah yang memiliki hiasan dari emas. Pakaian birunya dihiasi dengan sulaman benang perak dan dihiasi rantai-rantai kecil seperti emas. Sebuah pedang kecil terselip miring di pinggang belakangnya. Wajahnya tegas tanpa kumis dan jenggot. Ialah yang bernama Terjanggala, nama yang sempat disebut. batin Robenta.

“Apa yang kau dapat, Ragewa?” tanya Terjanggala.

“Winora telah menunjukkan tempat persembunyian Robenta dan isterinya. Ada di dalam kebun singkong dekat bukit desa, Panglima!” lapor prajurit bernama Ragewa.

“Hmmm, pantas kita tidak bisa menemukannya, rupanya tempat persembunyiannya masih di daerah ini juga,” kata Terjanggala yang berpangkat Panglima. “Kalian bertiga, masing-masing pimpin sebagian prajurit yang ada. Prajurit panah dibagi rata lalu adakan pengepungan terhadap kebun dari tiga arah. Tunggu perintahku untuk menyerang masuk!”

“Baik!” jawab Ragewa, Getar Jagad dan Rembung Seta bersamaan.

Ketiganya segera menggerakkan kudanya ke arah pasukan yang berkumpul tidak jauh di belakang mereka. Ketiganya membagi dan mengatur para prajurit menjadi empat kelompok.

“Pasukan telah siap, Panglima!” lapor Ragewa kepada Panglima Terjanggala usai pengelompokan pasukan.

Panglima Terjanggala lalu menggerakkan kudanya dan berhenti menghadap empat kelompok prajurit yang telah berbaris siap. Melalui atas kudanya, ia pun berseru keras.

“Ingat! Yang Mulia Raja Warsana telah menjanjikan hadiah bagi mereka yang turut serta dalam pembunuhan Robenta dan keluarganya. Bunuh siapa saja yang coba menghalangi kita, kecuali satu. Jangan kalian bunuh puteri kecil Robenta, sebab itu tujuan kita. Mengerti?!” seru Panglima Terjanggala.

“Mengerti!” teriak semua prajurit dengan semangat hadiah di dalam benaknya.

“Kita berangkat!” teriak Panglima Terjanggala.

Mereka pun berangkat dengan tetap dipimpin oleh sang panglima. Daerah sasaran mereka tidak jauh.
Sementara malam terus merambat menuruti kehendak penciptanya.

Ketika daerah sasaran sudah berada dalam jangkauan pandang mata, yaitu sebuah kebun singkong, Panglima Terjanggala memberi tanda kepada ketiga pemimpin prajurit untuk menyebar. Ragewa, Getar Jagad dan Rembung Seta bergerak menyebar yang diikuti oleh pasukan masing-masing ke tiga tempat untuk mengepung kebun singkong.

Sebagai orang-orang yang kerap melakukan patroli dalam satu purnama belakangan ini, Panglima Terjanggala dan orang-orangnya tentu sudah sangat mengenal daerah itu dan sudah sangat tahu akan sasaran mereka. Kebun singkong dekat bukit desa hanya ada satu di kawasan itu dan itu pun sudah sering mereka lalui. Hanya saja selama ini mereka terkecoh, sebab tidak ada tanda-tanda adanya tempat persembunyian di kebun singkong.

Panglima Terjanggala menggebah kudanya menuju kebun singkong. Di belakangnya berlari para prajurit yang memang sudah terbiasa berlari di belakang kuda.

Setibanya tepat di pinggiran kebun singkong, Panglima berhenti. Ditatapnya hamparan kebun yang sangat gelap.

“Serang!” teriak Panglima Terjanggala kepada para prajuritnya.

Setelah itu, Panglima berkelebat meninggalkan punggung kudanya masuk ke dalam lebatnya kebun singkong.

West! Blaar!

Tangan kiri Panglima Terjanggala menghentak ke atas, melesatkan sinar putih ke langit yang kemudian meledak sendiri di atas kebun singkong. Itu adalah tanda bagi tiga pasukan lainnya agar turut menyerang masuk ke dalam kebun singkong.

Pasukan Panglima Terjanggala turut mengikuti pimpinannya masuk ke dalam kebun singkong yang tidak bisa dilalui oleh kuda.

Di sisi lain, Ragewa, Getar Jagad dan Rembung Seta memimpin pasukannya masuk ke dalam kebun dari tiga sisi yang berbeda, mengikuti arti perintah sinar putih di langit kiriman Panglima Terjanggala.

Suara ledakan sinar di atas kebun singkong mengejutkan keberadaan Sobenta dan isteri kakaknya, Sulasih, di dalam gubuk tengah kebun. Samar-samar suara ramai pergerakan makhluk di dalam kebun singkong terdengar jelas, diiringi teriakan para prajurit yang penuh semangat.

“Bahaya! Kita ketahuan!” kata Sobenta tegang.

“Bagaimana ini?” tanya Sulasih lebih cemas yang terlihat di wajahnya.

Sobenta diam. Suara riuh di luar sana kian jelas terdengar dan kian mendekat dari berbagai arah.
“Kita dikepung!” kata Sobenta lagi sambil bergerak mengintip lewat celah jendela.

Dilihatnya banyak bayangan-bayangan menerobos mengguncang pepohonan singkong. Sobenta juga melihat bayangan kuning yang berkelebat berlari di atas pucuk-pucuk pohon singkong mendekat ke arah gubuk. Itu adalah bayangan sosok Getar Jagad.

“Tidak ada jalan lain selain menerobos mereka!” kata Sobenta sambil membenarkan tutup kepala dan wajahnya. Setelahnya dia menyambar tangan kanan Sulasih dan menariknya agar ikut.

Brakr!

Sobenta menendang keras pintu gubuk hingga terpental dari badan gubuk.

“Panah!” teriak Getar Jagad dari kejauhan.

Prajurit panah yang masih berlari seketika berhenti dan ambil posisi lalu memanah.
 
Set set set!

Puluhan anak panah segera melesat ke arah Sobenta dan Sulasih.

“Hah!” sentak Sobenta sambil kibaskan lengan kanannya.

Wuss! Wess!

Angin keras menderu menyapu semua anak panah yang datang. Disusul pelepasan sinar kuning panjang dari tangan kiri Sobenta yang menghancurkan gundukan tanah depan pasukan Getar Jagad. Imbasnya, beberapa prajurit panah berpentalan dan terkapar.

“Serang...!” teriak para prajurit bersenjata tombak seraya datang menyerbu.

Di saat yang sama, pasukan tombak pimpinan Ragewa datang bergabung dari arah selatan.

Dengan taruhan nyawa, Sobenta harus melindungi dirinya dan Sulasih yang tidak pandai ilmu beladiri. Sepintas dilihatnya, posisi gubuk itu sudah terkepung oleh prajurit.

Keroyokan para prajurit harus membuat Sobenta kerja keras, terlebih perhatiannya terpecah untuk menjaga Sulasih yang hanya bisa menjerit-jerit ketika serangan datang mengancamnya.

Bag dak bag...!

Satu demi satu prajurit bertumbangan di tangan dan kaki Sobenta yang tidak main-main penyaluran tenaga dalamnya. Panglima Terjanggala dan ketiga pimpinan prajurit lainnya sementara memperhatikan.

Dengan jiwa penuh ketakutan, Sulasih hanya mengikuti kehendak Sobenta yang menarik dan mendorongnya untuk menghindari serangan tombak yang datang dari segala arah.

Melihat para prajurit bertumbangan di tangan Sobenta, Ragewa segera berkelebat ke arena pengeroyokan. Serangan bertubi-tubi Ragewa langsung memburu Sobenta berapi-api, tapi semua masih bisa dimentahkan.

“Mampus, kau!” seruan itu bersamaan datangnya sosok berjubah kuning yang sangat mengejutkan.

Bak! Bagh!

Hekh!” keluh Sobenta dengan tubuh terjengkang keras setelah kaki Getar Jagad menghantam dadanya dua kali.

Buk!

“Ekk!” pekik Sulasih setelah tendangan Ragewa menyasar ke perut wanita itu.

Ragewa menyusulkan lagi satu terjangan keras, membuat Sualasih terjengkang keras ke pepohonan singkong. Keadaan Sulasih mendelikkan mata Sobenta.

Set seb!

“Akh!”

Kian terbelalak mata Sobenta, karena satu anak panah melesat dan menancap di tengah dada Sulasih.
“Sulasih!” teriak Sobenta seraya bangkit dan berkelebat ke arah posisi Sulasih.

Namun, ...

Wuss!

Serangkum angin keras datang dari samping menghempas tubuh Sobenta di udara. Sobenta terlempar keras menerobos pepohonan singkong. Seiring itu, sosok Panglima Terjanggala berkelebat mengejar tubuh Sobenta.

West! Bluarr!

Panglima Terjanggala langsung melesatkan sinar putih dari tangannya yang benar-benar tidak bisa dielakkan oleh Sobenta. Sinar putih itu meledakkan perut Sobenta dan mementalkan tubuhnya, lalu jatuh dan diam.

Panglima Terjanggala menghampiri mayat Sobenta. Disingkapnya kain penutup wajah Sobenta.

“Tamat riwayatmu, Robenta!” desis Panglima Terjanggala setelah mengenali wajah dalam kegelapan itu.

Sementara itu, Ragewa memaksa Sulasih untuk buka suara dengan menjambak rambutnya. Sulasih yang sudah di ambang maut itu kian menahan sakit.

“Katakan, di mana kau sembunyikan anakmu!” bentak Ragewa galak.

“Cuih!” Sulasih malah meludahi wajah garang Ragewa dengan ludah darah.

“Keparat!” gusar Ragewa lalu menampar keras wajah Sulasih. “Ayo katakan!”

“Urusan ini belum berakhir, Bangsat!” desis Sulasih lalu ambil keputusan mencabut panah di dadanya lalu kembali ditusukkan ke lehernya sendiri, bunuh diri.

“Sial!” maki Ragewa sambil lepas tangannya dari rambut Sulasih.

“Bagaimana?” tanya Panglima Terjanggala mendekati Ragewa.

“Perempuan setan itu memilih bunuh diri daripada harus memberi tahu keberadaan anaknya, 
Panglima,” jawab Ragewa.

“Korek keterangan dari Winora tentang orang-orang dekat Robenta. Jika sudah ada hasil, langsung bunuh orang tua itu!” perintah Panglima Terjanggala.

“Baik, Panglima!”

Panglima Terjanggala pun akhirnya memerintahkan pasukannya meninggalkan tempat itu. Rembung Seta masih sempatkan diri mengutak-atik isi gubuk, tapi ia keluar tanpa hasil apa-apa.

Tidak sampai setengah jam kepergian Panglima Terjanggala dan pasukannya, sesosok bayangan hitam berkelebat muncul dari dalam kebun singkong. Namun sosok itu langsung berhenti memperhatikan keadaan gubuk dan sekitarnya. Beberapa mayat prajurit tampak bergelimpangan tidak jauh dari gubuk.

Dalam kegelapan, sosok yang tidak lain adalah Robenta itu segera mencari ke dalam gubuk, tapi segera keluar kembali dan mencari.

“Sulasih!” panggil Robenta.

Namun akhirnya, Robenta bergerak cepat setelah pandangannya menangkap sosok yang tergeletak di antara pohon singkong.

“Sulasih...!” teriak Robenta histeris sambil memeluk kuat tubuh Sulasih yang sudah menjadi mayat.
Dengan tubuh terguncang oleh tangisnya, Robenta cukup lama memeluk tubuh isterinya.

“Sulasih, aku tidak akan membiarkan mereka. Aku tidak akan mati sebelum menghancurkan orang-orang biadab itu!” ucap Robenta seraya menahan gemuruh dendamnya.

Robenta melepaskan tubuh Sulasih. Ia berdiri, memandang ke sekitar, lalu berjalan ke sana dan ke sini. Hingga akhirnya Robenta menemukan mayat Sobenta yang sudah rusak tubuhnya.

“Suatu hari, Terjanggala akan membayar semua ini!” desis Robenta.

Robenta lalu mengangkat tubuh adik kandungnya itu dan membawanya ke dekat mayat Sulasih. Robenta kemudian menggali lubang untuk mengubur keduanya.

Usai menguburkan kedua anggota keluarganya, Robenta harus pergi ke sebuah desa yang selalu ada penjaga prajurit malamnya. Robenta tetap harus hati-hati.

Hingga akhirnya Robenta dengan mulus tiba di depan pintu belakang sebuah rumah sederhana. Robenta mengetuk pintu itu, tapi tidak ada reaksi dari dalam rumah. Robenta kembali mengetuk seraya pandangannya beredar ke daerah sekitar, khawatir jika ada orang yang melihatnya.

“Winora!” panggil Robenta sekali.

Tidak ada tanggapan atau jawaban dari dalam rumah. Robenta pun jadi ambil curiga.

“Winora!” panggil Robenta lebih keras, sementara matanya tetap waspada.

Tetap tidak ada reaksi dari dalam rumah, padahal dian di dalam terang menyala.

Brakr!

Akhirnya Robenta memutuskan menghantam daun pintu rumah itu dengan pukulan bertenaga dalam. Pintu terbuka rusak. Ia segera masuk.

Di ruang depan, Robenta menemukan empat mayat yang tewas dengan tubuh terluka oleh senjata tajam. Mereka adalah dua orang tua selevel kakek  dan nenek, kemudian dua lainnya adalah dua pemuda.

“Sepertinya orang-orang Kerajaan akan membunuh orang-orang yang pernah dekat dengan aku,” pikir Robenta. “Sebelum aku dituduh, lebih baik aku pergi.”

Robenta segera pergi.

Setelah tewasnya isteri, adik dan sahabatnya yang bernama Jeneng, Robenta selalu melakukan serangan gerilya seorang diri terhadap prajurit-prajurit Kerajaan Seringgis. Perang gerilya Robenta cukup membuat pihak kerajaan kewalahan dan tidak bisa tenang.

Robenta yang masih menyangka bahwa puterinya yang hilang berada di kerajaan, suatu waktu mencoba masuk ke dalam kawasan terlarang Kerajaan Seringgis. Akibatnya, Robenta dikeroyok oleh prajurit-prajurit elit, termasuk Panglima Terjanggala. Tetapi Robenta berhasil melarikan diri dengan membawa luka dalam yang parah dan ditolong oleh seseorang.

Robenta yang selalu bertopeng dalam menyerang ke kerajaan, membuat pihak kerajaan tidak mengenalinya. Panglima Terjanggala tahunya bahwa Robenta telah tewas di tangannya.


Ada satu pertanyaan, ke manakah puteri Robenta setelah dititipkan kepada Jeneng? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar