Selasa, 19 Januari 2016

Korban Nyawa Petani Ethiopia Tolak Perampasan Lahan


Petani Ethiopia menggunakan peralatan tradisional membajak tanah. (foto: Helge Bendl)
Oleh: Rudi Hendrik, redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Dua tahun lalu, di pinggiran Chitu di wilayah Oromia
, warga Ethiopia gelisah ketika pejabat lokal mengatakan kepada Chamara Mamoye bahwa kemungkinan lahan pertaniannya akan dibangun ketika desa kecil itu diperluas.

Ternyata rencana itu kini terealisasi dengan mengorbankan lahan-lahan milik para petani yang dirampas secara tidak adil.

"Kehilangan tanah akan menjadi masalah besar bagi saya, tetapi jika pemerintah memaksa kami, ka
mi tidak bisa berbuat apa-apa," kata ayah lima anak itu saat di luar pekarangannya.

Bulan lalu, Chamara (45
), melihat mayat dua orang demonstran di jalan tergeletak setelah demonstrasi mengguncang Chito. Sudah 140 orang yang dibunuh oleh pasukan keamanan selama protes di wilayah luas itu yang dipicu oleh tudingan ketidakadilan dan marjinalisasi yang dilakukan oleh kelompok etnis terbesar di negara itu, yaitu Oromo.

Didukung oleh aktivis media sosial yang berbasis di A
merika Serikat, gerakan protes bersatu menentang rencana pemerintah untuk mengintegrasikan ibukota, Addis Ababa, dengan kota-kota di Oromo. 

Setelah berminggu-minggu aksi protes, koalisi yang berkuasa di wilayah Oromia mengatakan pekan lalu bahwa ia membatalkan rencana ekspansi.

Namun, bagaimana pun, protes telah berlangsung, akar kegelisahan dan kemarahan di Oromia tetap tinggi. Didorong ketidakpuasan terhadap korupsi, penyelewengan administratif dan jawaban yang tidak memuaskan atas investasi yang memicu perbedaan pendapat. 

Tambal sulam keluhan menciptakan tantangan mendasar bagi sebuah pemerintahan otoriter yang bertujuan ingin cepat mengubah Ethiopia dari masyarakat agraris menjadi industri pembangkit tenaga listrik. Dan ketidakpuasan telah menjadi isu nasional.

Seyoum Teshome, seorang dosen di Universitas Ambo mengatakan,
ekspansi perkotaan menyebabkan bentrokan di seluruh negeri ketika investor, pejabat dan petani saling melindungi kepentingannya.

"Penduduk desa telah menanyakan layanan dasar dan
segera memfasilitasi untuk menjual lahan pertanian mereka di tingkat pasar sebelum diambil alih dengan kompensasi yang rendah," katanya.

Seyoum mengatakan, karena semua tanah adalah milik negara di Ethiopia, rumah secara cepat dibangun di tepi kota tanpa izin resmi, untuk memberikan harga bidang tanah. Investor mungkin menyuap pejabat korup untuk meluluskan transfer ilegal, menyebabkan kemarahan muncul di kalangan petani yang dirampas tanahnya.

Chamara Mamoye tidak termasuk yang berunjuk rasa. Pelaku aksi sebagian besar adalah pemuda yang turun ke jalan di Chitu, Chamara berbagi keprihatinan dengan mereka tentang sistem pemerintahan tidak responsif.

Chamara juga frustrasi dengan janji-janji pejabat yang berulang kali mengatakan akan memperbaiki aspal jalan utama yang berjalan melalui Chitu. Meskipun wilayah itu memiliki listrik dan sinyal ponsel, ia kecewa dengan tingkat kemajuan sejak pemerintah berkuasa 25 tahun yang lalu. 

Ia juga kecewa dengan kurangnya informasi dan
perundingan terkait kebijakan tanah, serta prihatin dengan kecurigaan adanya korupsi, meskipun pejabat tidak memperlihatkan praktek haram itu.
"Korupsi tersebut dilakukan dengan cara rahasia. Ini adalah silent killer (pembunuh diam-diam)," katanya.

Pemerintah sendiri mengakui ketidakpuasan terhadap kualitas pelayanan publik dan tingginya tingkat korupsi.

"Di banyak daerah, personil dikatakan terlibat dalam korupsi besar-besaran yang menyebabkan
tiba-tiba terjadi ledakan kemarahan yang sedang diredam," kata juru bicara pemerintah Getachew Reda dalam sebuah wawancara pekan lalu.

Salah satu insiden paling mematikan
terjadi bulan lalu di kota Woliso, sekitar 113km barat daya dari Addis Ababa. Enam demonstran tewas oleh pasukan keamanan setelah ribuan orang dari desa-desa sekitarnya turun ke jalan memprotes rencana perluasan kota.

Sekelompok
pemuda Oromo yang berkumpul di pinggir sungai Walga, beberapa mil dari Woliso, berbicara tentang ketakutan masyarakat atas rencana penggusuran dan ganti rugi yang rendah. Namun, tak seorang pun tahu secara spesifik tentang rencana pemerintah dan mereka menuding pemerintah daerah tidak memiliki izin.

Jangan korbankan kehidupan petani

Ethiopia telah lama menjadi kesayangan masyarakat donor internasional, karena tingkat pertumbuhan pembangunan dan ekonomi yang tinggi selama dekade terakhir dan melupakan pelanggaran HAM di masa lalu.

Di
utara Chitu, ada Danau Kawah Wenchi yang menawarkan sebuah pemandangan spektakuler dan populer di kalangan turis, tapi kondisi yang sama terjadi.
Tentara masih di kota dan sebagai warga di tempat lain. Pihak berwenang telah menangkap orang-orang yang diduga terlibat dalam aksi protes. Sementara sebagian tampak takut dengan tindakan keras keamanan, tapi Rabuma Terefa tidak demikian.

Temannya ditembak di kaki di pinggiran Chitu saat ia berjalan
bersama pengunjuk rasa lainnya dari Wenchi.

Rabuma mengatakan, ketika sebuah unit militer elit memerintahkan ketua demonstran untuk kembali, kelompok menolak, dengan alasan mereka memiliki hak konstitusional untuk melakukan demonstrasi damai. Dalam beberapa menit, tentara melepaskan tembakan, membunuh orang, termasuk Birhanu Dinka yang memimpin demonstran pada saat itu.

"Mereka tidak mengatakan apa-apa, mereka hanya menodongkan senjata pada kami. Kami meminta mereka untuk tidak membunuh kami,"
kata Rabuma (27). 

Ketika pelanggaran mungkin telah terjadi, pasukan keamanan diperintahkan untuk melindungi warga sipil.

Saat protes di Wenchi, sebuah perusahaan pertanian milik Belanda, Solagrow, dibakar oleh ratusan orang. 

Rabuma mengatakan, penyulut kemarahan penduduk setempat adalah karena 100 hektar lahan penggembalaan komunal dipagari dan disewakan oleh pemerintah.
"(Para demonstran) menjadi marah dan mereka mengatakan hanya ada satu cara untuk melanjutkan, dan itulah pertanian kami, karena kami satu-satunya pemilik di tempat itu," kata Jan van de Haar, Manajer Solagrow. 

Serangan demonstran itu juga menghancurkan mesin dan bibit kentang seharga $ 300.000.

"Tidak ada yang menentang pembangunan kota, tetapi tidak harus dengan mengorbankan kehidupan petani," kata Chamara yang berbicara kepada banyak warga etnis Omoro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar