Selasa, 02 Februari 2016

Misteri Gadis Buruan 2: Kipas Badai Neraka

Ilustrasi Bocah Kuntilanak (dok. IndonesiaOne.org)
Oleh Rudi Hendrik

Cerita sebelumnya: Misteri Gadis Buruan 1: Berburu Robenta

Salah satu kemurahan Yang Maha Pemurah adalah diciptakannya hutan yang berguna untuk jadi tempat berteduh dari terik Sang Surya. Seharusnya kedua manusia itu tidak melewatkan rahmat yang disediakan oleh Tuhan. Namun, karena mereka lapar dan tidak menemukan makanan yang memadai di hutan itu, terpaksa mereka memilih mencari makanan di tempat makanan terdekat. Siapakah kedua anak manusia itu?

Yang pemuda berusia 38 tahun. Wajahnya tampan dengan berhias kumis. Pakaiannya serba hijau, kecuali sabuknya yang berwarna hitam. Pakaiannya bermodel ketat tanpa lengan, terkesan ingin menonjolkan sepasang lengan kekarnya. Pemuda berambut gondrong itu menyandang pedang di pinggang kirinya. Ia bernama Legaspati.

Legaspati bersama dengan seorang gadis cantik berkulit putih bersih, tapi gadis itu digendong di punggung si pemuda. Matanya sipit indah dan bibirnya agak tipis. Meski terlihat seperti usia masih 19 tahun, tapi usianya adalah 26 tahun. Rambutnya panjang hingga bokong seperti kuntilanak. Namanya Seringai Malam, tapi lebih dikenal dengan nama “Bocah Kuntilanak”.

“Huta ini pasti banyak dosanya, makanya tidak diberi makanan. Dasar hutan pelit!” gerutuh Bocah Kuntilanak.

“Jadi gadis itu jangan suka mengeluh dan menggerutuh. Hah, lelah menggendong perempuan sepertimu. Apa lagi panas sangat terik,” kata Legaspati.

“Jadi lelaki itu jangan suka mengeluh. Lelaki itu harus melindungi gadis cantik sepertiku!” balas Bocah Kuntilanak sambil mencubit pipi kiri Legaspati, lalu tertawa nyaring menyeramkan laksana tawa kuntilanak, membuat si pemuda mengerenyit kebisingan, karena sumber tawa itu berada di dekat teinganya.

Saat tertawa menyeramkan seperti itu, justeru wajah Bocah Kuntilanak tampak lucu, karena kedua mata sipitnya jadi terpejam dan muncul lesung manis di kedua pipinya.

“Berisik!” hardik Legaspati, membuat Bocah Kuntilanak langsung diam dengan mulut dimonyongkan. “Kalau mau tertawa jangan di dekat kepalaku, pergi jauh-jauh. Mengerti, Nona Cantik?”

“Hihihi...! Aku memang cantik dan Legaspati jelek!” kata Bocah Kuntilanak setelah tertawa lebih dulu.

“Cantikan kambing daripada kau!” kata Legaspati yang selalu bernada kesal.

“Hihihi...!” Bocah Kuntilanak malah tertawa nyaring lagi, hingga Legaspati tergidik mendengarnya.

“Dasar berisik!” sentak Legaspati sambil melepaskan tubuh Bocah Kuntilanak ke belakang hingga lepas dari punggungnya.

Bocah Kuntilanak yang tertawa panjang seketika diam, saat tiba-tiba bokongnya menghantam bumi. Sakit. Wajahnya merengut asam.

“Hahaha...!” giliran Legaspati yang tetawa terbahak-bahak melihat Bocah Kuntilanak jatuh duduk sembarangan.

“Kalau aku tidak digendong lagi, nanti emasnya tidak mau aku bagi!” ancam Bocah Kuntilanak.

“seharusnya kau itu jangan menyusahkan orang lain. Aku sudah menggendongmu sejak dari kediaman Kudapati. Aku belum makan dan sekarang panasnya ampun. Kau juga berat sekali. Aku lelah. Eh, kau tambah dengan berisik,” ujar Legaspati.

“Katanya Legaspati sayang aku, ah, Legaspati bohong. Aku mau pergi sendiri saja. Pokoknya legaspati itu banci, bukan lelaki. Pokoknya tidak akan aku beri jagung bakar, apa lagi emas. Legaspati banci yang mirip kuda tua. Gendong anak kecil saja kelelahan. Legaspati banci! Legaspati bancanci! Banci...!”

“Iya iya iya iya iya! Aku gendong, tapi jangan menyebutku banci lagi!” seru Legaspati mengalah.
“Hihihi...!”

Bocah Kuntilanak tertawa nyaring lagi sambil berputar salto di udara lalu jatuh tepat di punggung Legaspati. Bocah Kuntilanak tampak tidak segan-segan melakukan itu, padahal keduanya tidak memiliki ikatan darah atau hubungan kekasih. Bocah Kuntilanak benar-benar tidak mau peduli dengan apa yang dirasakan oleh Legaspati.

Legaspati sebagai seorang lelaki yang belum memiliki ikatan cinta kepada seorang wanita, tentu merasa risih digelayuti oleh seorang gadis cantik putih bersih seperti itu. Pikirannya jelas berputar-putar di sekitar masalah perasaan hati. Hatinya bertanya-tanya, apakah Bocah Kuntilanak menganggapnya kakak, atau teman, atau lelaki yang dicintainya. Namun, hati yang bertanya-tanya itu tidak mengambang lama.

“Digendong itu memang enak, pantas bila kekasihku suka digendong,” kata Bocah Kuntilanak sambil meremas-remas rambut gondrong Legaspati.

Sebenarnya Legaspati kesal rambutnya diremas-remas dan dihentak-hentak. Namun, karena emas pemberian dari Kakek Bongkok ada pada Bocah Kuntilanak, Legaspati tidak mau membuat wanita kekanak-kanakan itu ngambek atau marah.

“Apa aku tidak boleh tahu siapa kekasihmu itu?” tanya Legaspati.

“Tidak boleh, aku malu. Nanti kekasihku kau rampas, hihihi!” kata Bocah Kuntilanak lalu tertawa pendek.

“Kekasihmu itu perempuan, ya?” tanya Legaspati.

“Heh!” sentak Bocah Kuntilanak sambil memukul kepala Legaspati.

Pemuda itu gemasnya bukan main karena kepalanya dipukul dengan seenaknya.

“Memang aku gadis cantik apaan? Aku tidak gila harus mencintai sesama perempuan!” kata Bocah Kuntilanak dengan nada tinggi, wajahnya merengut, tapi kali ini merengut cantik.

“Memangnya aku lelaki apa?! Aku tidak gila harus mau merebut kekasihmu!” balas Legaspati.

“Kalau aku sudah jadi putri, Legaspati pasti aku jadikan tukang bersih kandang kuda,” kata Bocah Kuntilanak alihkan tema.

“Biarkan, itu lebih baik daripada mengurus kau.”

“Aku lapar, aku lapar, aku lapar!” teriak Bocah Kuntilanak sambil memukuk-mukul bahu tunggangannya, lalu menjambak rambut Legaspati dankembali berteriak, “Aku lapar, aku lapar! Ayo cepatan jalannya!”

“Iya, tapi jangan tarik-tarik!” teriak Legaspati kian kesal.

Legaspati lalu berlari dengan ilmu peringan tubuhnya. Bocah Kuntilanak hanya tertawa-tawa girang.
Tidak sampai satu menit, Legaspati berhenti, diam berdiri.

“Ada kedai,” kata Legaspati.

“Waaa! Pasti kenyang perutku!” sorak Bocah Kuntilanak lalu turun dari punggung, membuat Legaspati hempaskan napas kelegaan.

Di depan sana memang ada sebuah kedai sederhana lengkap dengan sebuah rumah sederhananya juga. Mungkin karena keteduhan atap kedai dan pohon besar yang menaungi, membuat kedai itu cukup ramai oleh pelanggan. Atau mungkin ada faktor penarik lainnya. Pelanggan yang mampir di kedai itu beberapa di antaranya berpakaian pendekar.

“Aku lapar...!” teriak Bocah Kuntilanak nyaring sambil berkelebat di udara menuju kedai.

Teriakan Bocah Kuntilanak itu menjadi pengalih perhatian orang-orang yang ada di kedai. Semuanya jadi berpaling dan melongok untuk melihat sumber teriakan.

Bdruakr!

Tubuh Bocah Kuntilanak jatuh menjebol atap kedai, mengejutkan para hadirin kedai sekalian. Tubuh gadis itu langsung menghantam meja utama kedai. Bukan hanya para makanan yang berlompatan tidak karuan dari atas meja, tapi para pelanggan pun berlompatan kaget. Sebagian pelanggan spontan berlompatan ke luar kedai dengan berbagai macam suara kelitan.

“Waiiit!” kelit pendekar bertubuh sedang.

“Hup!” kelit yang bertubuh agak besaran.

“Aku lompat, mak!” kelit lelaki bertubuh besar gemuk.

“Kucing ngompol baunya ngompol ngompol ngompol!” latah si wanita separuh baya berwajah merengut tidak cantik.

“Wadduh! Hancur kedai terhormatku!” ratap lelaki separuh baya pemilik kedai.

“Weleh weleh weleh! Kok semuanya mirip moyang kodok?” ucap Bocah Kuntilanak heran sambil masih jongkok di atas meja.

“Hei, Kuntilanak gila!” bentak lelaki besar gemuk bersenjatakan golok pendek tapi lebar. “Tega-teganya kau hancurkan kenikmatan santapanku. Kau harus menggantikannya dengan tubuhmu!”

“Hei, Gebrokok!” sentak Bocah Kuntilanak sambil melempar kepala lelaki gemuk yang dikenalnya itu dengan kepala ayam bakar. “Kalau bicara hati-hati. Aku bisa memberimu kenikmatan. Pilih kenikmatan kotoran kuda atau Nenek Lali?”

“Eh, Bocah Setan kurang ajar tidak tahu tata krama kebocahan. Jangan suka bicara kotor. Kalau orang suka bicara kotor, nanti tahu-tahu bisa hamil. Bagaimana jadinya? Nanti kau tidak bisa tertawa lagi, nanti kau tidak bisa lompat-lompat lagi, nanti kau cepat tua, nanti kau jadi botak, nanti....”

“Hei, Nenek Lali!” sentak Bocah Kuntilanak sambil melempar wajah wanita separuh baya latah itu dengan kepala ayam juga, membuat cerocosannnya terputus berganti dengan latahan.

“Eh! Lali memang meong meong meong, mebeeek!” latah Nenek Lali.

Semuanya jadi tertawa. Tawa yang paling nyaring dan menusuk gendang telinga adalah tawa Bocah Kuntilanak. Sementara itu, Legaspati yang sudah berada di luar kedai juga ikut tertawa setelah geleng-geleng dengan ulah Bocah Kuntilanak.

“Kau sepertinya perlu diberi pelajaran, hai Perempuan!” seru pemuda berjenggot kambing berpakaian biru hijau, sama dengan pakaian ketiga temannya yang lain. Ia bernama Gelaga Sujo. Ia belum mengenal Bocah Kuntilanak.

Bocah Kuntilanak malah tertawa lucu, tidak menanggapi perkataan Gelaga Sujo. Lalu teriaknya kepada Legaspati sambil comot sana comot sini makanan yang ada, “Legaspati jelek, di sini banyak makanan! Hihihi!”

Dengan rakusnya, makanan apa saja digigit dan dicampur di dalam mulutnya hingga ia mengunyah dengan sepasang pipi yang membengkak oleh makanan. Sementara di tangan kanan dan kiri terpegang beberapa jenis makanan berbeda. Ia sedikit pun tidak peduli dengan orang-orang yang marah di sekitarnya.

“Hei hei hei! Ayo ikut makan. Kalau habis, nanti jadi kelaparan seumur-umur!” kata Bocah Kuntilanak seenaknya, membuat para pendekar itu kian geram.

Legaspati hanya geleng-geleng kepala . Bocah Kuntilanak seakan-akan tidak sadar jika dia sudah membuat para pendekar itu geram bukan main. Setelah acara makan mereka dikacaukan, mereka justeru diremehkan oleh Bocah Kuntilanak.

“Keparat sial!” maki teman Gelaga Sujo yang berbadan besar dan bernama Serbak Jala. “Mampus!”

Serbak Jala yang sudah tidak memiliki kesabaran lagi, melepaskan satu pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi.

Broakr!

Meja yang diduduki Bocah Kuntilanak hancur berantakan bersama makanannya. Sementara Bocah Kuntilanak sudah berpindah ke atas meja lain sambil menari-nari mengejek.

“Nanana... nanana... aku punya kerbau, kerbauku marah, aku beri ayam, kerbauku tambah bau! Hihihi....! Nanana....!” Bocah Kuntilanak bernyanyi mengejek.

“Benar-benar harus dihajar habis!” geram Gelaga Sujo lalu melompat ke atas meja yang sama dengan yang dinaiki Bocah Kuntilanak.

“Jangan pukul aku!” pekik Bocah Kuntilanak ketakutan sambil melesat begitu saja hendak ke luar kedai.

Namun, Bocah Kuntilanak menabrak salah satu tiang penyanggah kedai. Tapi seiring itu, tangan Bocah Kuntilanak bermain cepat menyerang tiang penyanggah kedai lainnya dengan tenaga dalam.

Ptrakr! Bdrusakr!

Satu tiang patah. Seiring itu, tiang-tiang penyanggah atap lainnya terpotong rapih laksana ditebas pedang setan. Akibtnya, atap kedai yang berat itu ambruk menimpa Gelaga Sujo.

“Hihihi...!” Bocah Kuntilanak malah mengikik seram membuat bulu tangan berdiri.

“Oalah, kedai kesayanganku!” ratap pemilik kedai yang selamat dari reruntuhan.

Keributan itu membuat isteri dan anak pemilik kedai keluar dari dalam rumah untuk melihat apa yang terjadi.

Ketiga teman Gelaga Sujo serentak menyerang posisi Bocah Kuntilanak.

Braks!

Dari bawah reruntuhan atap kedai melompat tubuh Gelaga Sujo menjebol atap. Wajahnya dikotori darah yang keluar dari luka di kepala akibat tertimpa balok atap. Wajahnya benar-benar mengelam oleh kemarahan.

Gebrokok dan Nenek Lali memilih tidak ikut campur. Mereka menunggu. Demikian pula halnya dengan Legaspati.

“Dasar memang kuntilanak, suka benar ia membuat masalah tanpa timbang-timbang siapa orang yang dihadapinya,” membatin Legaspati.

Dikeroyok empat orang membuat Bocah Kuntilanak kewalahan bukan main. Ia tidak diberi ruang untuk bisa menyerang balas. Kerjanya hanya menghindar dan menangkis.

Bek bak!

“Uhgk!” keluh Bocah Kuntilanak ketika satu kaki berhasil menusuk perutnya yang disusul terjangan di dada dari kaki yang berbeda.

Bocah Kuntilanak terengkang. Dia segera bangun lagi, tapi lawan-lawannya segera memburu lagi dengan serangan yang rapat. Bocah Kuntilanak kian terdesak.

“Aku tidak suka main seperti ini, kalian curang! Awas, nanti aku laporkan ke guruku, biar kalian dijadikan siput jelek! Wek, tidak kena! Kalian banci semua mengeroyok anak kecil! Kalau berani, coba keroyok Nenek Lali dan Gebrokok!” cerocos Bocah Kuntilanak sambil menghadapi serangan yang bertubi-tubi.

Tapi kata-kata Bocah Kuntilanak itu membuat Gelaga Sujo dan ketiga temannya berhenti menyerang.
“Apa kau tidak tahu berurusan dengan siapa, hah?!” bentak Serbak Jala sambil angkat dagunya setinggi kepalanya.

“Hihihi!” Bocah Kuntilanak malah tertawa. Lalu katanya, “Kalian pasti keempat lelaki yang menyusu di susu kambing. Benar, tidak?”

“Hahaha...!”

Meledaklah tawa Nenek Lali, Gebrokok, Legaspati dan keluarga pemilik kedai.

“Benar-benar penghinaan besar bagi orang-orang Tengkorak Langit!” murka Gelaga Sujo. “Bunuh perempuan setan ini!”

Kembali keempat lelaki itu mengeroyok Bocah Kuntilanak.

Tengkorak Langit adalah nama sebuah kelompok yang dipimpin oleh Dewa Tengkorak, seorang tokoh persilatan yang cenderung menyukai kejahatan, asalkan menguntungkan diri dan kelompoknya.
Bocah Kuntilanak langsung terdesak hebat. Namun, pada satu kesempatan.

“Jurus Gebuk Kambing Banci!” pekik Bocah Kuntilanak asal sebut sambil tubuhnya melesat mundur dengan kedua tangan menghentak.

Wuss!

Serangkum angin kencang yang cukup meyakinkan menderu agak keras. Keempat orang Tengkorak Langit itu cepat berlompatan menghindari angin berbahaya itu.

Wurrs!

Tiba-tiba di udara muncul putaran sosok tubuh yang jatuh di tengah-tengah pertarungan, lalu berputar cepat beberapa kali.

Bsesesetss!

Keempat orang Tengkorak Langit yang memasang siaga satu, tiba-tiba bertumbangan dengan leher telah bolong oleh tebusan suatu benda yang tidak terlihat. Keempatnya pun tewas saat itu juga.

Bocah Kuntilanak dan penonton lainnya terperangah takjub tapi tetap siaga. Siapakah gerangan orang maut yang baru datang itu?

Orang itu adalah seorang lelaki tinggi besar bercelana biru mengkilap dengan sabuk lebar berhiaskan logam-logam perak bulut pipih. Rambut gondrongnya sebahu tanpa diikat. Tampangnya seram dengan sorot mata tajam dengan kumis tebal. Tidak berbaju, memamerkan badan kekar berototnya. Kedua lengan besarnya dicekik dengan gelang berwarna kuning, mirip emas. Sungguh penampilan yang gagah. Dia adalah punggawa kerajaan yang bernama Panglima Setan.

“Waw!” desah Bocah Kuntilanak terpukau sambil tepuk tangan sendiri. “Wow! Perkosa sekali! Eh, perkasa sekali!”

Dari sisi selatan datang rombongan prajurit suatu kerajaan, bersenjatakan tombak dan panah. Pasukan yang berjumlah seratus orang itu dipimpin oleh empat pemuda berkuda dan berpakaian pendekar.

Pemuda pertama berparas tidak tampan dengan rambut dikepang tunggal sepanjang tengah punggung. Ada tahi lalat besar di pipi kirinya. Berbaju kuning ketat dan bercelana merah gombrong. Di sabuk kulit lebarnya terdapat puluhan pisau-pisau kecil yang menjadi senjata utamanya. Karenanya, pemuda ini menamakan dirinya sebagai Pendekar Pisau Cilik.

Pemuda kedua berparas lumayan tampan dengan mata yang agak bulat dan alis tebal. Rambutnya diikat dengan pita merah. Berpakaian serba putih mengkilap. Menyandang pedang di belakang badannya. Namanya Wanjaru.

Pemuda ketiga berkulit agak hitam, tapi tampan dan lebih tampan. Berambut pendek. Bajunya hanya rompi putih tanpa kancing, memperlihatkan lengan dan badan berototnya. Celana hitamnya hanya setengah betis. Ia tidak bersenjata. Namanya Aji Lelono.

Pemuda keempat juga tidak tampan. Berambut gondrong sebahu. Memiliki hidung yang tergolong besar dan berkumis tipis. Berpakaian hijau muda. Di pinggang kirinya menggantung dua tombak pendek berwarna merah. Dia bernama Pendekar Tombak Kembar.

“Apa kau kenal denganku, Putri Wilasin?” tanya Panglima Setan.

Membelalaklah mata sipit Bocah Kuntilanak mendengar ia disebut dengan nama Putri Wilasin. Tapi kemudian ia tersenyum lucu kepada Panglima Setan.

“Wah, tentu aku kenal dengan orang perkosa sepertimu. Bukankah adalah kakekku?” kata Bocah Kuntilanak sembarangan, padahal hatinya dag dig dug.

Lelaki besar itu tersenyum sinis. Lalu katanya, “Aku Panglima Setan. Aku ditugaskan untuk menjemputmu!”

“Oh!” Bocah Kuntilanak menggut-manggut sembari senyam-senyum. Ia lalu memanggil, “Legaspati, ke mari!”

Legaspati segera menghampiri Bocah Kuntilanak.

“Ada apa?” tanya Legaspati.

Bocah Kuntilanak berbisik kepada Legaspati, “Semalam kau mimpi apa?”

“Mimpi memelihara ayam betina,” jawab Legaspati sembarangan.

“Sepertinya ayam betinamu sudah datang, namanya Panglima Setan,” kata Bocah Kuntilanak.

“Kalian tidak usah berbisik!” hardik Panglima Setan. “Putri Wilasin, kau memilih mati di istana atau mati di sini?”

“Hihihi...!” Bocah Kuntilanak malah tertawa nyaring sambil menepuk bahu Legaspati. Lalu katanya kepada pemuda itu, “Orang itu benar-benar kurang ajar, menganggap dirinya malaikat maut.”

“Rupanya pilihanmu mempercepat kematianmu, Putri Wilasin!” kata Panglima Setan lalu tiba-tiba melesat menyerang.

“Hah!” kejut Legaspati, karena Panglima Setan sudah ada di depan mereka.

Buk! Plak!

Luar biasa dan tidak terduga. Tahu-tahu perut Bocah Kuntilanak ditendang keras dan Legaspati mendapat kibasan tangan di lengannya. Tubuh Bocah Kuntilanak terlempar ke belakang sejauh tiga tombak dan Legaspati terbanting sejauh dua tombak. Bocah Kuntilanak meringkuk kesakitan, ada darah merembes di celah bibirnya.

“Uh, serasa remuk tulang lenganku. Tenaga orang itu kuat sekali,” batin Legaspati kesakitan seraya tangan kirinya memegangi lengan kanannya.

“Legaspati jelek!” panggil Bocah Kuntilanak sambil bangkit mengerenyit kesakitan.

“Hoi!” sahut Legaspati seraya bangkit pula.

“Ayam betinamu ternyata terlalu banyak makan cacing!” teriak Bocah Kuntilanak.

“Itu bukan ayam, tapi kerbau. Coba kau tanyakan padanya, apakah dia serius memukul kita!” sahut Legaspati mengimbangi ulah Bocah Kuntilanak.

Bocah Kuntilanak lalu bertanya kepada Panglima Setan, “Kerbau, apakah kau serius ingin membunuhku?”

“Apa kau sudah siap menerima mautmu, Putri?” Panglima Setan malah bertanya.

“Kalau begitu, aku harus bersikap sedikit lebih tua. Hihihi!” kata Bocah Kuntilanak lalu melesat cepat sambil tertawa.

Serangan Bocah Kuntilanak sangat bertubi-tubi terhadap Panglima Setan. Namun, Panglima Setan bisa mementahkan semua agresi Bocah Kuntilanak. Padahal itu adalah gerak jurus tercepat yang mampu dilakukan Bocah Kuntilanak.

Melihat kesia-siaan serangan Bocah Kuntilanak, Legaspati lalu melompaat masuk ke dalam pertarungan. Dua lawan satu.

“Kalau seperti ini terus, bisa mati kelelahan,” membatin Legaspati.

“Kalian memang tidak berguna!” kata Panglima Setan.

Baks! 

Ketika pada satu kesempatan Bocah Kuntilanak dan Legaspati bersamaan menyerang, Panglima Setan malah menyongsong serangan itu dengan gerakan yang lihai. Kedua teapak tangan Panglima Setan, mendarat keras di dada Bocah Kuntilanak dan Legaspati. Leduanya terjengkang keras dengan darah sedikit menyembur dari dalam mulut. Meski tidak remuk, tapi dada mereka serasa remuk.
“Apa ada cara untuk kabur?” tanya Bocah Kuntilanak berbisik kepada Legaspati.

“Kita sudah dikepung prajurit,” kata Legaspati lemah.

Para prajurit berseragam kuning-kuning yang bersenjatakan tombak di tangan, sudah mengepung arena pertarungan. Karenanya, rasanya sulit bagi Bocah Kuntilanak untuk melakukan jurus “Langkah Seribu”.

“Pegang tanganku!” suruh Bocah Kuntilanak kepada Legaspati.

Legaspati menurut. Dipegangnya tangan kiri Bocah Kuntilanak dan mereka bangun bersama-sama. Ditatapnya sejenak para prajurit yang mengepung.

“Lompat!” seru Bocah Kuntilanak.

Keduanya serentak lompat ke udara lalu tubuh mereka turun kembali.

Bless!

Namun, ketika keduanya kembali menjejak bumi, tiba-tiba tubuh keduanya berubah menjadi gumpalan asap kuning lalu buyar menghilang. Terkejut Panglima Setan dan yang lainnya.

Legaspati merasakan melesat di sebuah alam berwarna kuning. Ia menahan nafas, karena memang tidak bisa bernafas di alam berwarna kuning itu.

Sementara itu, Panglima Setan dan para prajurit tidak bisa melihat ke mana arah kaburnya Bocah Kuntilanak dan Legaspati. Panglima Setan cepat menggunakan ilmunya yang bisa menembus alam makhluk gaib, bisa jadi Bocah Kuntilanak dan Legaspati masuk ke alam gaib. Namun, tidak ada tanda-tanda.

Clap!

Tiba-tiba Bocah Kuntilanak dan Legaspati muncul begitu saja di tempat yang cukup jauh dari lokasi pengepungan. Demikianlah kehebatan ilmu Tembus Kabut Maling milik Bocah Kuntilanak. Mereka bisa berlari di dalam tanah dengan cara khusus.

“Itu mereka!” teriak seorang prajurit yang melihat keberadaan Bocah Kuntilanak dan Legaspati.

“Lari!” teriak Legaspati sambil berkelebat dengan tetap menggandeng tangan Bocah Kuntilanak.

Namun, gerak keduanya harus tertahan, karena tiba-tiba ada empat tubuh bersaltoan di atas mereka lalu langsung turun ke bumi dengan formasi mengepung. Empat sosok itu tidak lain adalah keempat pendekar pimpinan para prajurit.

“Kalian tidak akan bisa lari ke mana-mana!” seru Panglima Setan seraya berkelebat ke lokasi pengepungan.

“Kuntilanak bodoh! Kenapa kau muncul tidak di sebelah sana saja!” maki Legaspati menyesal.

“Aku tidak kuat menahan nafas, Jelek!” dalih Bocah Kuntilanak. Lalu katanya kepada Panglima Setan, “Hei, Panglima Kerbau! Bagaimana kalau Legaspati jelek saja yang kau bunuh? Kalau membunuh aku, tidak ada bahagianya. Tapi kalau membunuh Legaspati jelek, pasti mukanya tambah jelek, jadi ada gunanya. Bagaimana?”

“Berbicaralah seperti bebek sebelum aku cabut nyawamu!” kata Panglima Setan dengan delikan mata yang menciutkan jantung.

“Bukan bebek, tapi burung dara yang cantik. Mengerti?” kata Bocah Kuntilanak sambil senyum-senyum, seolah mautnya masih seratus tahun lagi, meski “malaikat maut” sudah berdiri di hadapannya.

Legaspati berbisik kepada Bocah Kuntilanak, “Lawan kita kebanyakan, jadi bersiaplah! Heaaa!”

Teriakan Legaspati disusul dengan bersinar merahnya tubuh pemuda itu. Kondisi itu membuat Panglima Setan dan keempat pendekarnya bersiaga. Legaspati lalu menghentakkan sepasang lengannya ke arah Wanjaru.

Psezz!

Sinar merah panjang bergelombang seperti lekukan keris melesat cepat. Wanjaru memilih berkelebat cepat pindah tempat mengosongkan posisinya. Kecepatan sinar ilmu Hasrat Maut nyaris menyambar pinggul Wanjaru.

Wess! Wuss!

Saat yang bersamaan, sambil melesat cepat bersama Legaspati, Bocah Kuntilanak sempatkan mengirim angin pukulan keras ke arah Pendekar Pisau Cilik yang mau menyerang.
Pendekar Pisau Cilik berkelebat jauh-jauh menghindari angin maut itu.

Bluaars! Bleduarr!

Angin maut Bocah Kuntilanak membongkar tanah kosong yang cukup besar dan menyusul hancur sebuah batu besar yang dihantam oleh sinar merah kiriman Legaspati yang tadi menyerang Wanjaru.
Kondisi itu membuat Bocah Kuntilanak dan Legaspati berhasil lolos dari kepungan.

“Kejaaar!” teriak Panglima Setan.

Keempat pendekar bawahan Panglima Setan cepat melesat mengejar Legaspati dan Bocah Kuntilanak yang tertawa nyaring terkesan mengejek. Panglima Setan sendiri melesat laksana anak panah.

“Wow! Cepat sekali!” pekik Bocah Kuntilanak saat melihat ke belakang.

Memang Panglima Setan dan keempat pendekarnya sangat cepat melesat, menunjukkan ketinggian kesaktiannya. Sehingaa dalam waktu singkat, jarak mereka sudah dekat.

“Hahaha! Siapa yang mau mampus?!” teriak Legaspati yang didahului tawanya, seolah menikmati dirinya diburu.

Legaspati mengeluarkan sebuah kipas merah membara dan sedikit memancarkan sinar redup, sebagai tanda benda itu memiliki kesaktian. Namanya Kipas Badai Neraka. Sambil terus melesat kabur bersama Bocah Kuntilanak, Legaspati mengibaskan kipasnya, memberi angin ke arah belakang.

Blesets! Bdaar! Wuss!

Dari kipas itu berkiblat sinar merah yang menghancurkan tanah. Untuk Panglima Setan saat itu berada di atas, sehingga kiblatan sinar merah itu lewat di bawah kakinya. Sementara keempat pendekar dengan cepat menahan pengejarannya dan berkelebatan ke berbagai arah menghindari maut dari kipas itu.

Namun, tidak sampai di situ. Setelah kiblatan sinar merah, menyusul angin panas yang menderu keras, membakar apa-apa yang dilaluinya.

Betapa terkejutnya Panglima Setan, ia tidak menyangka ada angin sebesar dan sepanas itu. Ia tidak mungkin mengelak pergi, karena posisinya di udara. Jalan satu-satunya adalah mengerahkan ilmu Lapisan Kerak Bumi secara mendadak. Maka saat itu juga, tubuhnya dilapisi oleh sinar merah gelap. Meski terlindung dari proses pembakaran oleh angin kipas, tapi angin tetap menghempas tubuh Panglima Setan.

Berbeda dengan keempat pendekar lainnya. Mereka menghindar dengan cara masuk ke dalam tanah seperti batu masuk ke dalam air. Akibatnya, tanah lapang itu menjadi lautan api sejauh angin Kipas Badai Neraka menjangkau. Semua yang mendapat belaian angin itu terbakar, termasuk dua pohon yang ditumbangkannya. Beruntung angin itu tidak mengarah ke posisi para prajurit berkumpul dan posisi rumah dan kedai.

Tubuh Panglima Setan jatuh berguling-guling di bumi dengan tubuh tetap terlapisi sinar ilmu Lapisan Kerak Bumi.

Mereka yang melihat dari kejauhan, hanya bisa terpukau ngeri melihat kekejaman Kipas Badai Neraka.

Sementara itu, Bocah Kuntilanak dan Legaspati sudah tidak terihat keberadaannya.

Bless! Bless! Bless! Bluar!

Satu demi satu pendekar anak buah Panglima Setan bermunculan dari dalam bumi seperti ledakan sumur minyak. Pakaian mereka lumayan kotor oleh tanah.

“Pisau Cili, Lelono, cepat ke mari!” perintah Panglima Setan yang sedang duduk bersila dengan warna kulit merah matang bersimbah keringat. “Cepat bantu aku dengan tenaga dingin kalian!”

Pendekar Pisau Cilik dan Aji Lelono segera ke belakang tubuh Panglima Setan. Keduanya segera menempelkan satu telapak tangannya di punggung pemimpinnya. Tenaga dalam mereka disalurkan. Memang hanya keduanya yang memiliki tenaga dalam dingin di antara mereka.

Secara perlahan, warna kulit wajah dan tubuh Panglima Setan kembali ke warna aslinya, menandakan bahwa hawa panas yang menyerap masuk ke dalam tubuhnya telah sirna. Melihat upayanya berhasil, Pendekar Pisau Cilik dan Aji Lelono menghentikan proses bantuan tenaga dinginnya dan melepas punggung Panglima Setan.

“Senjata itu luar biasa kesaktiannya. Aku harus mendapatkannya. Kita kejar mereka!” kata Panglima Setan.

(Bersambung: Misteri Gadis Buruan 3: Kuntilanak Minta Ikut)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar