Ilustrasi Bocah Kuntilanak (dok. IndonesiaOne.org) |
Oleh Rudi Hendrik
Cerita sebelumnya: Misteri Gadis Buruan 1: Berburu Robenta
Salah satu kemurahan Yang Maha Pemurah adalah diciptakannya hutan yang berguna untuk jadi tempat berteduh dari terik Sang Surya. Seharusnya kedua manusia itu tidak melewatkan rahmat yang disediakan oleh Tuhan. Namun, karena mereka lapar dan tidak menemukan makanan yang memadai di hutan itu, terpaksa mereka memilih mencari makanan di tempat makanan terdekat. Siapakah kedua anak manusia itu?
Cerita sebelumnya: Misteri Gadis Buruan 1: Berburu Robenta
Salah satu kemurahan Yang Maha Pemurah adalah diciptakannya hutan yang berguna untuk jadi tempat berteduh dari terik Sang Surya. Seharusnya kedua manusia itu tidak melewatkan rahmat yang disediakan oleh Tuhan. Namun, karena mereka lapar dan tidak menemukan makanan yang memadai di hutan itu, terpaksa mereka memilih mencari makanan di tempat makanan terdekat. Siapakah kedua anak manusia itu?
Yang pemuda berusia 38 tahun. Wajahnya tampan dengan berhias
kumis. Pakaiannya serba hijau, kecuali sabuknya yang berwarna hitam. Pakaiannya
bermodel ketat tanpa lengan, terkesan ingin menonjolkan sepasang lengan
kekarnya. Pemuda berambut gondrong itu menyandang pedang di pinggang kirinya.
Ia bernama Legaspati.
Legaspati bersama dengan seorang gadis cantik berkulit putih
bersih, tapi gadis itu digendong di punggung si pemuda. Matanya sipit indah dan
bibirnya agak tipis. Meski terlihat seperti usia masih 19 tahun, tapi usianya
adalah 26 tahun. Rambutnya panjang hingga bokong seperti kuntilanak. Namanya Seringai Malam, tapi lebih dikenal
dengan nama “Bocah Kuntilanak”.
“Huta ini pasti banyak dosanya, makanya tidak diberi
makanan. Dasar hutan pelit!” gerutuh Bocah Kuntilanak.
“Jadi gadis itu jangan suka mengeluh dan menggerutuh. Hah,
lelah menggendong perempuan sepertimu. Apa lagi panas sangat terik,” kata
Legaspati.
“Jadi lelaki itu jangan suka mengeluh. Lelaki itu harus
melindungi gadis cantik sepertiku!” balas Bocah Kuntilanak sambil mencubit pipi
kiri Legaspati, lalu tertawa nyaring menyeramkan laksana tawa kuntilanak,
membuat si pemuda mengerenyit kebisingan, karena sumber tawa itu berada di
dekat teinganya.
Saat tertawa menyeramkan seperti itu, justeru wajah Bocah
Kuntilanak tampak lucu, karena kedua mata sipitnya jadi terpejam dan muncul
lesung manis di kedua pipinya.
“Berisik!” hardik Legaspati, membuat Bocah Kuntilanak
langsung diam dengan mulut dimonyongkan. “Kalau mau tertawa jangan di dekat
kepalaku, pergi jauh-jauh. Mengerti, Nona Cantik?”
“Hihihi...! Aku memang cantik dan Legaspati jelek!” kata
Bocah Kuntilanak setelah tertawa lebih dulu.
“Cantikan kambing daripada kau!” kata Legaspati yang selalu
bernada kesal.
“Hihihi...!” Bocah Kuntilanak malah tertawa nyaring lagi,
hingga Legaspati tergidik mendengarnya.
“Dasar berisik!” sentak Legaspati sambil melepaskan tubuh
Bocah Kuntilanak ke belakang hingga lepas dari punggungnya.
Bocah Kuntilanak yang tertawa panjang seketika diam, saat
tiba-tiba bokongnya menghantam bumi. Sakit. Wajahnya merengut asam.
“Hahaha...!” giliran Legaspati
yang tetawa terbahak-bahak melihat Bocah Kuntilanak jatuh duduk sembarangan.
“Kalau aku tidak digendong lagi,
nanti emasnya tidak mau aku bagi!” ancam Bocah Kuntilanak.
“seharusnya kau itu jangan
menyusahkan orang lain. Aku sudah menggendongmu sejak dari kediaman Kudapati.
Aku belum makan dan sekarang panasnya ampun. Kau juga berat sekali. Aku lelah.
Eh, kau tambah dengan berisik,” ujar Legaspati.
“Katanya Legaspati sayang aku, ah,
Legaspati bohong. Aku mau pergi sendiri saja. Pokoknya legaspati itu banci,
bukan lelaki. Pokoknya tidak akan aku beri jagung bakar, apa lagi emas. Legaspati banci yang mirip kuda tua. Gendong anak kecil saja kelelahan.
Legaspati banci! Legaspati bancanci! Banci...!”
“Iya iya iya iya iya! Aku gendong,
tapi jangan menyebutku banci lagi!” seru Legaspati mengalah.
“Hihihi...!”
Bocah Kuntilanak tertawa nyaring
lagi sambil berputar salto di udara lalu jatuh tepat di punggung Legaspati.
Bocah Kuntilanak tampak tidak segan-segan melakukan itu, padahal keduanya tidak
memiliki ikatan darah atau hubungan kekasih. Bocah Kuntilanak benar-benar tidak
mau peduli dengan apa yang dirasakan oleh Legaspati.
Legaspati sebagai seorang lelaki
yang belum memiliki ikatan cinta kepada seorang wanita, tentu merasa risih
digelayuti oleh seorang gadis cantik putih bersih seperti itu. Pikirannya jelas
berputar-putar di sekitar masalah perasaan hati. Hatinya bertanya-tanya, apakah
Bocah Kuntilanak menganggapnya kakak, atau teman, atau lelaki yang dicintainya.
Namun, hati yang bertanya-tanya itu tidak mengambang lama.
“Digendong itu memang enak, pantas
bila kekasihku suka digendong,” kata Bocah Kuntilanak sambil meremas-remas
rambut gondrong Legaspati.
Sebenarnya Legaspati kesal
rambutnya diremas-remas dan dihentak-hentak. Namun, karena emas pemberian dari
Kakek Bongkok ada pada Bocah Kuntilanak, Legaspati tidak mau membuat wanita
kekanak-kanakan itu ngambek atau marah.
“Apa aku tidak boleh tahu siapa
kekasihmu itu?” tanya Legaspati.
“Tidak boleh, aku malu. Nanti
kekasihku kau rampas, hihihi!” kata Bocah Kuntilanak lalu tertawa pendek.
“Kekasihmu itu perempuan, ya?”
tanya Legaspati.
“Heh!” sentak Bocah Kuntilanak
sambil memukul kepala Legaspati.
Pemuda itu gemasnya bukan main
karena kepalanya dipukul dengan seenaknya.
“Memang aku gadis cantik apaan?
Aku tidak gila harus mencintai sesama perempuan!” kata Bocah Kuntilanak dengan
nada tinggi, wajahnya merengut, tapi kali ini merengut cantik.
“Memangnya aku lelaki apa?! Aku
tidak gila harus mau merebut kekasihmu!” balas Legaspati.
“Kalau aku sudah jadi putri,
Legaspati pasti aku jadikan tukang bersih kandang kuda,” kata Bocah Kuntilanak
alihkan tema.
“Biarkan, itu lebih baik daripada
mengurus kau.”
“Aku lapar, aku lapar, aku lapar!”
teriak Bocah Kuntilanak sambil memukuk-mukul bahu tunggangannya, lalu menjambak
rambut Legaspati dankembali berteriak, “Aku lapar, aku lapar! Ayo cepatan
jalannya!”
“Iya, tapi jangan tarik-tarik!”
teriak Legaspati kian kesal.
Legaspati lalu berlari dengan ilmu
peringan tubuhnya. Bocah Kuntilanak hanya tertawa-tawa girang.
Tidak sampai satu menit, Legaspati
berhenti, diam berdiri.
“Ada kedai,” kata Legaspati.
“Waaa! Pasti kenyang perutku!”
sorak Bocah Kuntilanak lalu turun dari punggung, membuat Legaspati hempaskan
napas kelegaan.
Di depan sana memang ada sebuah
kedai sederhana lengkap dengan sebuah rumah sederhananya juga. Mungkin karena
keteduhan atap kedai dan pohon besar yang menaungi, membuat kedai itu cukup
ramai oleh pelanggan. Atau mungkin ada faktor penarik lainnya. Pelanggan yang
mampir di kedai itu beberapa di antaranya berpakaian pendekar.
“Aku lapar...!” teriak Bocah
Kuntilanak nyaring sambil berkelebat di udara menuju kedai.
Teriakan Bocah Kuntilanak itu
menjadi pengalih perhatian orang-orang yang ada di kedai. Semuanya jadi
berpaling dan melongok untuk melihat sumber teriakan.
Bdruakr!
Tubuh Bocah Kuntilanak jatuh
menjebol atap kedai, mengejutkan para hadirin kedai sekalian. Tubuh gadis itu
langsung menghantam meja utama kedai. Bukan hanya para makanan yang berlompatan
tidak karuan dari atas meja, tapi para pelanggan pun berlompatan kaget.
Sebagian pelanggan spontan berlompatan ke luar kedai dengan berbagai macam
suara kelitan.
“Waiiit!” kelit pendekar bertubuh
sedang.
“Hup!” kelit yang bertubuh agak
besaran.
“Aku lompat, mak!” kelit lelaki
bertubuh besar gemuk.
“Kucing ngompol baunya ngompol
ngompol ngompol!” latah si wanita separuh baya berwajah merengut tidak cantik.
“Wadduh! Hancur kedai
terhormatku!” ratap lelaki separuh baya pemilik kedai.
“Weleh weleh weleh! Kok semuanya
mirip moyang kodok?” ucap Bocah Kuntilanak heran sambil masih jongkok di atas
meja.
“Hei, Kuntilanak gila!” bentak
lelaki besar gemuk bersenjatakan golok pendek tapi lebar. “Tega-teganya kau
hancurkan kenikmatan santapanku. Kau harus menggantikannya dengan tubuhmu!”
“Hei, Gebrokok!” sentak Bocah
Kuntilanak sambil melempar kepala lelaki gemuk yang dikenalnya itu dengan
kepala ayam bakar. “Kalau bicara hati-hati. Aku bisa memberimu kenikmatan.
Pilih kenikmatan kotoran kuda atau Nenek Lali?”
“Eh, Bocah Setan kurang ajar tidak
tahu tata krama kebocahan. Jangan suka bicara kotor. Kalau orang suka bicara
kotor, nanti tahu-tahu bisa hamil. Bagaimana jadinya? Nanti kau tidak bisa
tertawa lagi, nanti kau tidak bisa lompat-lompat lagi, nanti kau cepat tua,
nanti kau jadi botak, nanti....”
“Hei, Nenek Lali!” sentak Bocah
Kuntilanak sambil melempar wajah wanita separuh baya latah itu dengan kepala
ayam juga, membuat cerocosannnya terputus berganti dengan latahan.
“Eh! Lali memang meong meong
meong, mebeeek!” latah Nenek Lali.
Semuanya jadi tertawa. Tawa yang
paling nyaring dan menusuk gendang telinga adalah tawa Bocah Kuntilanak.
Sementara itu, Legaspati yang sudah berada di luar kedai juga ikut tertawa
setelah geleng-geleng dengan ulah Bocah Kuntilanak.
“Kau sepertinya perlu diberi
pelajaran, hai Perempuan!” seru pemuda berjenggot kambing berpakaian biru
hijau, sama dengan pakaian ketiga temannya yang lain. Ia bernama Gelaga Sujo. Ia belum mengenal Bocah
Kuntilanak.
Bocah Kuntilanak malah tertawa
lucu, tidak menanggapi perkataan Gelaga Sujo. Lalu teriaknya kepada Legaspati
sambil comot sana comot sini makanan yang ada, “Legaspati jelek, di sini banyak
makanan! Hihihi!”
Dengan rakusnya, makanan apa saja
digigit dan dicampur di dalam mulutnya hingga ia mengunyah dengan sepasang pipi
yang membengkak oleh makanan. Sementara di tangan kanan dan kiri terpegang
beberapa jenis makanan berbeda. Ia sedikit pun tidak peduli dengan orang-orang
yang marah di sekitarnya.
“Hei hei hei! Ayo ikut makan.
Kalau habis, nanti jadi kelaparan seumur-umur!” kata Bocah Kuntilanak
seenaknya, membuat para pendekar itu kian geram.
Legaspati hanya geleng-geleng
kepala . Bocah Kuntilanak seakan-akan tidak sadar jika dia sudah membuat para
pendekar itu geram bukan main. Setelah acara makan mereka dikacaukan, mereka
justeru diremehkan oleh Bocah Kuntilanak.
“Keparat sial!” maki teman Gelaga
Sujo yang berbadan besar dan bernama Serbak
Jala. “Mampus!”
Serbak Jala yang sudah tidak
memiliki kesabaran lagi, melepaskan satu pukulan jarak jauh bertenaga dalam
tinggi.
Broakr!
Meja yang diduduki Bocah
Kuntilanak hancur berantakan bersama makanannya. Sementara Bocah Kuntilanak
sudah berpindah ke atas meja lain sambil menari-nari mengejek.
“Nanana... nanana... aku punya
kerbau, kerbauku marah, aku beri ayam, kerbauku tambah bau! Hihihi....!
Nanana....!” Bocah Kuntilanak bernyanyi mengejek.
“Benar-benar harus dihajar habis!”
geram Gelaga Sujo lalu melompat ke atas meja yang sama dengan yang dinaiki
Bocah Kuntilanak.
“Jangan pukul aku!” pekik Bocah
Kuntilanak ketakutan sambil melesat begitu saja hendak ke luar kedai.
Namun, Bocah Kuntilanak menabrak salah
satu tiang penyanggah kedai. Tapi seiring itu, tangan Bocah Kuntilanak bermain
cepat menyerang tiang penyanggah kedai lainnya dengan tenaga dalam.
Ptrakr! Bdrusakr!
Satu tiang patah. Seiring itu,
tiang-tiang penyanggah atap lainnya terpotong rapih laksana ditebas pedang
setan. Akibtnya, atap kedai yang berat itu ambruk menimpa Gelaga Sujo.
“Hihihi...!” Bocah Kuntilanak malah mengikik seram membuat bulu tangan berdiri.
“Oalah, kedai kesayanganku!” ratap
pemilik kedai yang selamat dari reruntuhan.
Keributan itu membuat isteri dan
anak pemilik kedai keluar dari dalam rumah untuk melihat apa yang terjadi.
Ketiga teman Gelaga Sujo serentak
menyerang posisi Bocah Kuntilanak.
Braks!
Dari bawah reruntuhan atap kedai
melompat tubuh Gelaga Sujo menjebol atap. Wajahnya dikotori darah yang keluar
dari luka di kepala akibat tertimpa balok atap. Wajahnya benar-benar mengelam
oleh kemarahan.
Gebrokok dan Nenek Lali memilih
tidak ikut campur. Mereka menunggu. Demikian pula halnya dengan Legaspati.
“Dasar memang kuntilanak, suka
benar ia membuat masalah tanpa timbang-timbang siapa orang yang dihadapinya,”
membatin Legaspati.
Dikeroyok empat orang membuat
Bocah Kuntilanak kewalahan bukan main. Ia tidak diberi ruang untuk bisa
menyerang balas. Kerjanya hanya menghindar dan menangkis.
Bek bak!
“Uhgk!” keluh Bocah Kuntilanak
ketika satu kaki berhasil menusuk perutnya yang disusul terjangan di dada dari
kaki yang berbeda.
Bocah Kuntilanak terengkang. Dia
segera bangun lagi, tapi lawan-lawannya segera memburu lagi dengan serangan
yang rapat. Bocah Kuntilanak kian terdesak.
“Aku tidak suka main seperti ini,
kalian curang! Awas, nanti aku laporkan ke guruku, biar kalian dijadikan siput
jelek! Wek, tidak kena! Kalian banci semua mengeroyok anak kecil! Kalau berani,
coba keroyok Nenek Lali dan Gebrokok!” cerocos Bocah Kuntilanak sambil
menghadapi serangan yang bertubi-tubi.
Tapi kata-kata Bocah Kuntilanak
itu membuat Gelaga Sujo dan ketiga temannya berhenti menyerang.
“Apa kau tidak tahu berurusan
dengan siapa, hah?!” bentak Serbak Jala sambil angkat dagunya setinggi
kepalanya.
“Hihihi!” Bocah Kuntilanak malah
tertawa. Lalu katanya, “Kalian pasti keempat lelaki yang menyusu di susu
kambing. Benar, tidak?”
“Hahaha...!”
Meledaklah tawa Nenek Lali,
Gebrokok, Legaspati dan keluarga pemilik kedai.
“Benar-benar penghinaan besar bagi
orang-orang Tengkorak Langit!” murka
Gelaga Sujo. “Bunuh perempuan setan ini!”
Kembali keempat lelaki itu
mengeroyok Bocah Kuntilanak.
Tengkorak Langit adalah nama
sebuah kelompok yang dipimpin oleh Dewa Tengkorak, seorang tokoh persilatan
yang cenderung menyukai kejahatan, asalkan menguntungkan diri dan kelompoknya.
Bocah Kuntilanak langsung terdesak
hebat. Namun, pada satu kesempatan.
“Jurus Gebuk Kambing Banci!” pekik
Bocah Kuntilanak asal sebut sambil tubuhnya melesat mundur dengan kedua tangan
menghentak.
Wuss!
Serangkum angin kencang yang cukup
meyakinkan menderu agak keras. Keempat orang Tengkorak Langit itu cepat
berlompatan menghindari angin berbahaya itu.
Wurrs!
Tiba-tiba di udara muncul putaran sosok
tubuh yang jatuh di tengah-tengah pertarungan, lalu berputar cepat beberapa
kali.
Bsesesetss!
Keempat orang Tengkorak Langit
yang memasang siaga satu, tiba-tiba bertumbangan dengan leher telah bolong oleh
tebusan suatu benda yang tidak terlihat. Keempatnya pun tewas saat itu juga.
Bocah Kuntilanak dan penonton
lainnya terperangah takjub tapi tetap siaga. Siapakah gerangan orang maut yang
baru datang itu?
Orang itu adalah seorang lelaki
tinggi besar bercelana biru mengkilap dengan sabuk lebar berhiaskan logam-logam
perak bulut pipih. Rambut gondrongnya sebahu tanpa diikat. Tampangnya seram
dengan sorot mata tajam dengan kumis tebal. Tidak berbaju, memamerkan badan
kekar berototnya. Kedua lengan besarnya dicekik dengan gelang berwarna kuning,
mirip emas. Sungguh penampilan yang gagah. Dia adalah punggawa kerajaan yang
bernama Panglima Setan.
“Waw!” desah Bocah Kuntilanak
terpukau sambil tepuk tangan sendiri. “Wow! Perkosa sekali! Eh, perkasa
sekali!”
Dari sisi selatan datang rombongan
prajurit suatu kerajaan, bersenjatakan tombak dan panah. Pasukan yang berjumlah
seratus orang itu dipimpin oleh empat pemuda berkuda dan berpakaian pendekar.
Pemuda pertama berparas tidak
tampan dengan rambut dikepang tunggal sepanjang tengah punggung. Ada tahi lalat
besar di pipi kirinya. Berbaju kuning ketat dan bercelana merah gombrong. Di
sabuk kulit lebarnya terdapat puluhan pisau-pisau kecil yang menjadi senjata
utamanya. Karenanya, pemuda ini menamakan dirinya sebagai Pendekar Pisau Cilik.
Pemuda kedua berparas lumayan tampan
dengan mata yang agak bulat dan alis tebal. Rambutnya diikat dengan pita merah.
Berpakaian serba putih mengkilap. Menyandang pedang di belakang badannya.
Namanya Wanjaru.
Pemuda ketiga berkulit agak hitam,
tapi tampan dan lebih tampan. Berambut pendek. Bajunya hanya rompi putih tanpa
kancing, memperlihatkan lengan dan badan berototnya. Celana hitamnya hanya
setengah betis. Ia tidak bersenjata. Namanya Aji Lelono.
Pemuda keempat juga tidak tampan.
Berambut gondrong sebahu. Memiliki hidung yang tergolong besar dan berkumis
tipis. Berpakaian hijau muda. Di pinggang kirinya menggantung dua tombak pendek
berwarna merah. Dia bernama Pendekar
Tombak Kembar.
“Apa kau kenal denganku, Putri
Wilasin?” tanya Panglima Setan.
Membelalaklah mata sipit Bocah
Kuntilanak mendengar ia disebut dengan nama Putri Wilasin. Tapi kemudian ia
tersenyum lucu kepada Panglima Setan.
“Wah, tentu aku kenal dengan orang
perkosa sepertimu. Bukankah adalah kakekku?” kata Bocah Kuntilanak sembarangan,
padahal hatinya dag dig dug.
Lelaki besar itu tersenyum sinis.
Lalu katanya, “Aku Panglima Setan. Aku ditugaskan untuk menjemputmu!”
“Oh!” Bocah Kuntilanak
menggut-manggut sembari senyam-senyum. Ia lalu memanggil, “Legaspati, ke mari!”
Legaspati segera menghampiri Bocah
Kuntilanak.
“Ada apa?” tanya Legaspati.
Bocah Kuntilanak berbisik kepada
Legaspati, “Semalam kau mimpi apa?”
“Mimpi memelihara ayam betina,”
jawab Legaspati sembarangan.
“Sepertinya ayam betinamu sudah
datang, namanya Panglima Setan,” kata Bocah Kuntilanak.
“Kalian tidak usah berbisik!”
hardik Panglima Setan. “Putri Wilasin, kau memilih mati di istana atau mati di
sini?”
“Hihihi...!” Bocah Kuntilanak
malah tertawa nyaring sambil menepuk bahu Legaspati. Lalu katanya kepada pemuda
itu, “Orang itu benar-benar kurang ajar, menganggap dirinya malaikat maut.”
“Rupanya pilihanmu mempercepat
kematianmu, Putri Wilasin!” kata Panglima Setan lalu tiba-tiba melesat
menyerang.
“Hah!” kejut Legaspati, karena
Panglima Setan sudah ada di depan mereka.
Buk! Plak!
Luar biasa dan tidak terduga. Tahu-tahu
perut Bocah Kuntilanak ditendang keras dan Legaspati mendapat kibasan tangan di
lengannya. Tubuh Bocah Kuntilanak terlempar ke belakang sejauh tiga tombak dan
Legaspati terbanting sejauh dua tombak. Bocah Kuntilanak meringkuk kesakitan,
ada darah merembes di celah bibirnya.
“Uh, serasa remuk tulang lenganku.
Tenaga orang itu kuat sekali,” batin Legaspati kesakitan seraya tangan kirinya
memegangi lengan kanannya.
“Legaspati jelek!” panggil Bocah
Kuntilanak sambil bangkit mengerenyit kesakitan.
“Hoi!” sahut Legaspati seraya
bangkit pula.
“Ayam betinamu ternyata terlalu
banyak makan cacing!” teriak Bocah Kuntilanak.
“Itu bukan ayam, tapi kerbau. Coba
kau tanyakan padanya, apakah dia serius memukul kita!” sahut Legaspati
mengimbangi ulah Bocah Kuntilanak.
Bocah Kuntilanak lalu bertanya
kepada Panglima Setan, “Kerbau, apakah kau serius ingin membunuhku?”
“Apa kau sudah siap menerima
mautmu, Putri?” Panglima Setan malah bertanya.
“Kalau begitu, aku harus bersikap
sedikit lebih tua. Hihihi!” kata Bocah Kuntilanak lalu melesat cepat sambil
tertawa.
Serangan Bocah Kuntilanak sangat
bertubi-tubi terhadap Panglima Setan. Namun, Panglima Setan bisa mementahkan
semua agresi Bocah Kuntilanak. Padahal itu adalah gerak jurus tercepat yang
mampu dilakukan Bocah Kuntilanak.
Melihat kesia-siaan serangan Bocah
Kuntilanak, Legaspati lalu melompaat masuk ke dalam pertarungan. Dua lawan
satu.
“Kalau seperti ini terus, bisa
mati kelelahan,” membatin Legaspati.
“Kalian memang tidak berguna!”
kata Panglima Setan.
Baks!
Ketika pada satu kesempatan Bocah Kuntilanak dan Legaspati bersamaan menyerang, Panglima Setan malah menyongsong serangan itu dengan gerakan yang lihai. Kedua teapak tangan Panglima Setan, mendarat keras di dada Bocah Kuntilanak dan Legaspati. Leduanya terjengkang keras dengan darah sedikit menyembur dari dalam mulut. Meski tidak remuk, tapi dada mereka serasa remuk.
“Apa ada cara untuk kabur?” tanya
Bocah Kuntilanak berbisik kepada Legaspati.
“Kita sudah dikepung prajurit,”
kata Legaspati lemah.
Para prajurit berseragam
kuning-kuning yang bersenjatakan tombak di tangan, sudah mengepung arena
pertarungan. Karenanya, rasanya sulit bagi Bocah Kuntilanak untuk melakukan jurus
“Langkah Seribu”.
“Pegang tanganku!” suruh Bocah
Kuntilanak kepada Legaspati.
Legaspati menurut. Dipegangnya
tangan kiri Bocah Kuntilanak dan mereka bangun bersama-sama. Ditatapnya sejenak
para prajurit yang mengepung.
“Lompat!” seru Bocah Kuntilanak.
Keduanya serentak lompat ke udara
lalu tubuh mereka turun kembali.
Bless!
Namun, ketika keduanya kembali
menjejak bumi, tiba-tiba tubuh keduanya berubah menjadi gumpalan asap kuning
lalu buyar menghilang. Terkejut Panglima Setan dan yang lainnya.
Legaspati merasakan melesat di
sebuah alam berwarna kuning. Ia menahan nafas, karena memang tidak bisa
bernafas di alam berwarna kuning itu.
Sementara itu, Panglima Setan dan
para prajurit tidak bisa melihat ke mana arah kaburnya Bocah Kuntilanak dan
Legaspati. Panglima Setan cepat menggunakan ilmunya yang bisa menembus alam
makhluk gaib, bisa jadi Bocah Kuntilanak dan Legaspati masuk ke alam gaib.
Namun, tidak ada tanda-tanda.
Clap!
Tiba-tiba Bocah Kuntilanak dan
Legaspati muncul begitu saja di tempat yang cukup jauh dari lokasi pengepungan.
Demikianlah kehebatan ilmu Tembus Kabut Maling milik Bocah Kuntilanak. Mereka
bisa berlari di dalam tanah dengan cara khusus.
“Itu mereka!” teriak seorang
prajurit yang melihat keberadaan Bocah Kuntilanak dan Legaspati.
“Lari!” teriak Legaspati sambil
berkelebat dengan tetap menggandeng tangan Bocah Kuntilanak.
Namun, gerak keduanya harus
tertahan, karena tiba-tiba ada empat tubuh bersaltoan di atas mereka lalu
langsung turun ke bumi dengan formasi mengepung. Empat sosok itu tidak lain
adalah keempat pendekar pimpinan para prajurit.
“Kalian tidak akan bisa lari ke
mana-mana!” seru Panglima Setan seraya berkelebat ke lokasi pengepungan.
“Kuntilanak bodoh! Kenapa kau
muncul tidak di sebelah sana saja!” maki Legaspati menyesal.
“Aku tidak kuat menahan nafas,
Jelek!” dalih Bocah Kuntilanak. Lalu katanya kepada Panglima Setan, “Hei,
Panglima Kerbau! Bagaimana kalau Legaspati jelek saja yang kau bunuh? Kalau
membunuh aku, tidak ada bahagianya. Tapi kalau membunuh Legaspati jelek, pasti
mukanya tambah jelek, jadi ada gunanya. Bagaimana?”
“Berbicaralah seperti bebek sebelum
aku cabut nyawamu!” kata Panglima Setan dengan delikan mata yang menciutkan
jantung.
“Bukan bebek, tapi burung dara
yang cantik. Mengerti?” kata Bocah Kuntilanak sambil senyum-senyum, seolah
mautnya masih seratus tahun lagi, meski “malaikat maut” sudah berdiri di
hadapannya.
Legaspati berbisik kepada Bocah
Kuntilanak, “Lawan kita kebanyakan, jadi bersiaplah! Heaaa!”
Teriakan Legaspati disusul dengan
bersinar merahnya tubuh pemuda itu. Kondisi itu membuat Panglima Setan dan
keempat pendekarnya bersiaga. Legaspati lalu menghentakkan sepasang lengannya
ke arah Wanjaru.
Psezz!
Sinar merah panjang bergelombang
seperti lekukan keris melesat cepat. Wanjaru memilih berkelebat cepat pindah
tempat mengosongkan posisinya. Kecepatan sinar ilmu Hasrat Maut nyaris menyambar
pinggul Wanjaru.
Wess! Wuss!
Saat yang bersamaan, sambil
melesat cepat bersama Legaspati, Bocah Kuntilanak sempatkan mengirim angin
pukulan keras ke arah Pendekar Pisau Cilik yang mau menyerang.
Pendekar Pisau Cilik berkelebat
jauh-jauh menghindari angin maut itu.
Bluaars! Bleduarr!
Angin maut Bocah Kuntilanak
membongkar tanah kosong yang cukup besar dan menyusul hancur sebuah batu besar
yang dihantam oleh sinar merah kiriman Legaspati yang tadi menyerang Wanjaru.
Kondisi itu membuat Bocah Kuntilanak
dan Legaspati berhasil lolos dari kepungan.
“Kejaaar!” teriak Panglima Setan.
Keempat pendekar bawahan Panglima
Setan cepat melesat mengejar Legaspati dan Bocah Kuntilanak yang tertawa
nyaring terkesan mengejek. Panglima Setan sendiri melesat laksana anak panah.
“Wow! Cepat sekali!” pekik Bocah
Kuntilanak saat melihat ke belakang.
Memang Panglima Setan dan keempat
pendekarnya sangat cepat melesat, menunjukkan ketinggian kesaktiannya. Sehingaa
dalam waktu singkat, jarak mereka sudah dekat.
“Hahaha! Siapa yang mau mampus?!”
teriak Legaspati yang didahului tawanya, seolah menikmati dirinya diburu.
Legaspati mengeluarkan sebuah
kipas merah membara dan sedikit memancarkan sinar redup, sebagai tanda benda
itu memiliki kesaktian. Namanya Kipas
Badai Neraka. Sambil terus melesat kabur bersama Bocah Kuntilanak,
Legaspati mengibaskan kipasnya, memberi angin ke arah belakang.
Blesets! Bdaar! Wuss!
Dari kipas itu berkiblat sinar
merah yang menghancurkan tanah. Untuk Panglima Setan saat itu berada di atas,
sehingga kiblatan sinar merah itu lewat di bawah kakinya. Sementara keempat
pendekar dengan cepat menahan pengejarannya dan berkelebatan ke berbagai arah
menghindari maut dari kipas itu.
Namun, tidak sampai di situ.
Setelah kiblatan sinar merah, menyusul angin panas yang menderu keras, membakar
apa-apa yang dilaluinya.
Betapa terkejutnya Panglima Setan,
ia tidak menyangka ada angin sebesar dan sepanas itu. Ia tidak mungkin mengelak
pergi, karena posisinya di udara. Jalan satu-satunya adalah mengerahkan ilmu Lapisan Kerak Bumi secara mendadak.
Maka saat itu juga, tubuhnya dilapisi oleh sinar merah gelap. Meski terlindung
dari proses pembakaran oleh angin kipas, tapi angin tetap menghempas tubuh
Panglima Setan.
Berbeda dengan keempat pendekar
lainnya. Mereka menghindar dengan cara masuk ke dalam tanah seperti batu masuk
ke dalam air. Akibatnya, tanah lapang itu menjadi lautan api sejauh angin Kipas
Badai Neraka menjangkau. Semua yang mendapat belaian angin itu terbakar,
termasuk dua pohon yang ditumbangkannya. Beruntung angin itu tidak mengarah ke
posisi para prajurit berkumpul dan posisi rumah dan kedai.
Tubuh Panglima Setan jatuh
berguling-guling di bumi dengan tubuh tetap terlapisi sinar ilmu Lapisan Kerak
Bumi.
Mereka yang melihat dari kejauhan,
hanya bisa terpukau ngeri melihat kekejaman Kipas Badai Neraka.
Sementara itu, Bocah Kuntilanak
dan Legaspati sudah tidak terihat keberadaannya.
Bless! Bless! Bless! Bluar!
Satu demi satu pendekar anak buah
Panglima Setan bermunculan dari dalam bumi seperti ledakan sumur minyak.
Pakaian mereka lumayan kotor oleh tanah.
“Pisau Cili, Lelono, cepat ke
mari!” perintah Panglima Setan yang sedang duduk bersila dengan warna kulit
merah matang bersimbah keringat. “Cepat bantu aku dengan tenaga dingin kalian!”
Pendekar Pisau Cilik dan Aji
Lelono segera ke belakang tubuh Panglima Setan. Keduanya segera menempelkan
satu telapak tangannya di punggung pemimpinnya. Tenaga dalam mereka disalurkan.
Memang hanya keduanya yang memiliki tenaga dalam dingin di antara mereka.
Secara perlahan, warna kulit wajah
dan tubuh Panglima Setan kembali ke warna aslinya, menandakan bahwa hawa panas
yang menyerap masuk ke dalam tubuhnya telah sirna. Melihat upayanya berhasil,
Pendekar Pisau Cilik dan Aji Lelono menghentikan proses bantuan tenaga
dinginnya dan melepas punggung Panglima Setan.
“Senjata itu luar biasa
kesaktiannya. Aku harus mendapatkannya. Kita kejar mereka!” kata Panglima
Setan.
(Bersambung: Misteri Gadis Buruan 3: Kuntilanak Minta Ikut)
(Bersambung: Misteri Gadis Buruan 3: Kuntilanak Minta Ikut)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar