Rabu, 03 Februari 2016

Misteri Gadis Buruan 3: Kuntilanak Minta Ikut

Ilustrasi Putri Aninda Serunai, Bidadari Asap Racun. (Gambar: Flickr.com)
Legaspati sudah menormalkan kembali keadaan tubuhnya yang sempat terluka dalam akibat pukulan keras Panglima Setan. Ia rebahkan tubuhnya dengan berbantalkan akar pohon besar yang mereka gunakan bernaung dari teriknya siang.

Sementara si cantik Bocah Kuntilanak masih dalam proses menormalkan aliran darahnya. Ia bersila layaknya seorang petapa.

Legaspati memejamkan matanya, entah mau tidur atau menikmati sejuknya naungan bayang pohon disertai belaian kencang angin pegunungan.

“Hihihi...!”

Tiba-tiba Bocah Kuntilanak tertawa nyaring menyeramkan seperti kuntilanak kuburan. Tawa itu membuat Legaspati spontan bangun duduk.

“Benar-benar kurang ajar kau! Membuat marah orang lain itu tidak baik. Jangan suka cari masalah. Coba jika kau tidak jatuh di atap kedai, pasti tidak adak pertarungan. Coba jika tidak ada pertarungan, pasti kerbau itu tidak datang. Coba jika kerbau itu tidak datang, pasti tidak terluka. Coba jika tidak terluka, pasti tidak akan kabur. Coba jika tidak kabur, pasti kita sudah makan enak. Kalau sudah makan enak, pasti sekarang aku tidak kelaparan seperti ini. Kau enak, sempat makan tadi. Coba lihat aku, perutku sudah bernyanyi minta makanan. Pokoknya aku harus makan!” cerocos Legaspati bertubi-tubi memarahi Bocah Kuntilanak, membuat gadis itu diam melongo memandanginya.

“Legaspati jelek, kau kenapa?” tanya Bocah Kuntilanak seakan tidak mengerti dengan kemarahan Legaspati.

“Aku lapaaar!” teriak Legaspati sangat kesal lalu menepuk-nepuk bumi sebagai pelampiasannya.
“Tuh, banyak rumput dan daun di atas pohon,” kata Bocah Kuntilanak serius.

“Aku serius, Anak Bocah!” Legaspati geregetan sendiri.

“Lho, katanya Legaspati kambing, kenapa tidak suka rumput?” tanya Bocah Kuntilanak heran.

“Waaah! Kalau terus bersama kau, bisa mampus aku. Lebih baik aku pergi saja cari makanan sendiri!” teriak Legaspati lalu berdiri dan melangkah pergi.

“Awaaas!” teriak Bocah Kuntilanak.

Legaspati terkejut dan cepat berpaling ke belakang. Pemuda itu kian terkejut ketika melihat tubuh Bocah Kuntilanak meluncur di udara sudah sangat dekat dengannya.

Blugk!

Tubuh Bocah Kuntilanak menimpa punggung Legaspati. Mau tidak mau tubuh Legaspati ditindih Bocah Kuntilanak. Lumayan sakit bagi Legaspati.

“Benar-benar tersiksa bila bersama bocah gila seperti ini!” keluh Legaspati.

“Aku sangat kagum dengan kipas itu. Kalau aku tahu kehebatannya, pasti tidak akan aku berikan. Aku minta lagi ya kipasnya?” kata Bocah Kuntilanak.

“Tidak bisa!” sentak Legaspati sambil menyentakkan tubuhnya ke atas, membuat tubuh Bocah Kuntilanak terlempar dari punggung Legaspati. “Aku mau pergi, jangan ikut!”

“Kenapa aku tidak boleh ikut? Bukankah aku cantik? Kalau Legaspati jelek pergi, nanti tidak akan aku jadikan prajurit!” kata Bocah Kuntilanak sambil tarik belakang baju si pemuda.

“Kata siapa kau cantik? Kata siapa kau seorang putri? Aku lapar. Aku mau pergi cari makanan. Jangan ikut!”

“Kalau Legaspati jelek mau pergi, ya sudah pergi saja!” kata Bocah Kuntilanak lalu mendorong punggung Legaspati, dan ia kemudian berbalik menjauh dengan wajah merengut cantik, tandanya mengambek.

Legaspati berbalik melihat Bocah Kuntilanak yang sesekali melirik-lirik kepadanya.

“Ya sudah pergi saja, aku tidak akan menangis, aku tidak akan marah!” kata Bocah Kuntilanak dengan bibir dimonyongkan sedikit.

Lalu Legaspati berkata, “Hati-hatilah!”

Legaspati pun berbalik dan melangkah pergi.

Bocah Kuntilanak berbalik dan memandang kepergian Legaspati. Ia menghentak-hentakkan kakinya ke bumi seperti anak kecil mau menangis. Lalu duduk sembarangan di tanah dengan bibir kian monyong.

“Dasar banci tukang bohong!” teriak Bocah Kuntilanak keras yang masih didengar jelas oleh Legaspati.

Legaspati hentikan langkahnya, tapi tidak berbalik.

“Katanya aku gadis cantik yang kuat dan sakti, katanya sayang aku. Mana? Legaspati memang banci siput yang jelek. Biarkan aku sendiri. Jika nanti bertemu dengan kerbau besar itu, mungkin aku hanya mati, kemudian dimakan anjing hutan. Biarkan saja, Legaspati jelek itu pergi!” celoteh Bocah Kuntilanak tapi dengan nada tinggi.

Celotehan pelampiasan kekesalan itu membuat Legaspati tiba-tiba berkelebat di udara dan mendarat tepat di depan Bocah Kuntilanak yang masih duduk di tanah.

“Hai, Gadis Cantik!” sapa Legaspati sambil setengah membungkuk di depan Bocah Kuntilanak dan memasang wajah senyum buatan yang lucu.

Bocah Kuntilanak menatap tajam wajah Legaspati, membuat wajah cantik itu kian menggemaskan mata lelaki, tak terkecuali Legaspati.

“Pergi sana!” usir Bocah Kuntilanak sambil berbalik membelakangi Legaspati.

Legaspati lalu duduk bersila menempel di sisi kiri Bocah Kuntilanak. Sementara tangan kanannya merentang merangkul bahu gadis itu.

“Seringai Malam adalah gadis yang cantik seperti bidadari. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendiri. Kita cari makanan enak, yuk?” bujuk Legaspati dengan menyebut nama asli Bocah Kuntilanak.

“Katanya mau pergi sendiri?” kata Bocah Kuntilanak melirik tajam.

“Memangnya aku tega, aku makan enak sedang kau tidak?” kata Legaspati.

“Hihihi!”

Bocah Kuntilanak tertawa pendek akhirnya, lalu berdiri dan menari-nari asal tari. Legaspati hanya tersenyum melihat tingkah gadis cantik berkelakuan bocah itu.

“Nanana, nanana, Legaspati jelek jadi ganteng, Legaspati banci jadi pendekar, Legaspati siput jadi kucing! Nanana....!”

“Dari siput jadi kucing, tetap saja sama-sama binatang!” rutuk Legaspati pelan. Mau tidak mau ia harus menerima tingkah Bocah Kuntilanak.

“Legaspati memang kucing!! Hihihi....!” sorak Bocah Kuntilanak sambil berlari mendatangi Legaspati lalu mencubit kuat kedua pipi pemuda itu.

Legaspati hanya meringis menerima nasibnya.

“Kita cari makan!” teriak Bocah Kuntilanak sambil berjalan pergi dengan langkah riang.

Legaspati berjalan di belakang Bocah Kuntilanak yang tidak henti-hentinya bernyanyi riang dengan irama dan syair yang kacau, walaupun suaranya sedikit lumayan.

“Nanana, nanana. Ayam bertelur di sungai..., telurnya pecah..., dor! Ikan-ikan kaget semuuuaaa.... Eh, ada anak ayam berenang, hooo... oooh... nanana...!”

Seperti itulah syair nyanyian Bocah Kuntilanak yang tidak jelas menyanyikan lagu ciptan siapa, buruk dan ngawur. Tapi tidak jarang Legaspati tertawa sendiri di belakang mendengar syai-syair yang ngawur tapi terkadang lucu. Legaspati sendiri tidak mau mengganggu keriangan gadis itu.

Akhirnya mereka memasuki sebuah desa kecil di sebuah kaki bukit setengah gundul. Mereka melewati alun-alun kecil, tempat sekelompok anak kecil lelaki sedang bermain. Di pinggir alun-alun terdapat sebuah rumah makan sederhana.

Alun-alun itu juga menjadi lapangan bagi penduduk desa. Di sisi lain tidak ada tanah lapang, yang ada hanyalah rumah dan kebun-kebun penduduk.

“Hei! Aku ikutan!” teriak Bocah Kuntilanak sambil berlari senang ke arah anak-anak. 

Anak-anak itu jadi berhenti bermain. Mereka semua diam memandang ke arah Bocah Kuntilanak yang datang sambil tertawa-tawa nyaring seperti kuntilanak tengah malam.

“Ada demiiit!” teriak seorang bocah di antara mereka.

“Demiiit!” teriak semua bocah lainnya sambil lari terbirit-birit menyusul temannya yang jadi provokator.

Bocah Kuntilanak jadi berhenti berlari dan berhenti tertawa. Ia kebingungan dengan sikap anak-anak itu.

“Hahaha...!” Legaspati malah tertawa terbahak-bahak.

“Kok tertawa?” tanya Bocah Kuntilanak masam. “Tidak ada yang lucu!”

“Siapa yang mengatakan ada yang lucu?” tanya Legaspati sambil masih tertawa.

“Tadi lucu, anak-anak lari ketakutan melihatku. Hihihi! Pasti aku terlalu cantik,” kata Bocah Kuntilanak.

“Mana ada demit yang cantik?” timpal Legaspati.

“Demit itu apa?” tanya Bocah Kuntilanak serius.

“Demit itu setan penunggu kuburan seperti kuntilanak,” jawab Legaspati lalu pergi menuju ke rumah makan yang ada.

“Legaspati ganteng tapi bodoh,” kata Bocah Kuntilanak sambil mengikuti Legaspati. “Aku tidak pernah menunggui kuburan, untuk apa?”

“Nanti kau jangan main-main ke sana ke sini, harus diam di tempat. Jika kau buat kacau lagi, aku akan marah sungguhan!” pesan Legaspati mengancam.

“Iya,” angguk Bocah Kuntilanak sambil senyum lucu kepada Legaspati.

Mereka masuk ke rumah makan itu. Di sana ada beberapa pelanggan, baik itu pelanggan yang sifatnya sekedar mampir seperti halnya Bocah Kuntilanak dan Legaspati, maupun pelanggan yang sudah kerap kali datang seperti warga di desa itu.

Bocah Kuntilanak langsung pesan ini itu dan ini kepada pelayan. Seraya bersenandung ringan dan pandangan jelalatan, Bocah Kuntilanak tetap duduk di tempatnya. Ia menjadi anak baik kali ini.

“Siapa kerbau sakti yang menghajar kita tadi?” tanya Legaspati kepada Bocah Kuntilanak.

“Oh itu. Kata guruku, jangan sampai bertemu dengan Panglima Iblis atau Panglima Setan, sangat berbahaya. Kalau aku bertemu dengan mereka, aku jadi tikus mereka jadi kucing. Aku bisa dimakan oleh mereka....”

“Lalu, sebutan Putri Wilasin?” tanya Legaspati memotong.

“Hihihi!” Bocah Kuntilanak cekikikan kecil. “Itu namaku. Kata Guru, kalau aku sudah tinggal di istana, maka aku akan memakai nama Putri Wilasin. Nanti, jika aku jadi putri, Legaspati akan aku jadikan tukang kuda.”

“Apakah kau benar-benar seorang putri?” tanya Legaspati lagi, sulit untuk bisa percaya.

Bocah Kuntilanak tidak langsung menjawab, sebab ia mendengar perkataan orang.

“Bukankah itu pendekar yang sedang banyak dibicarakan, karena banyak meninggalkan kegemparan?” tanya seorang lelaki berpakaian pendekar kepada teman wanitanya yang juga berpakaian pendekar.

“Benar, itu Pendekar Langkah Jagad,” jawab si wanita membenarkan setelah melihat ke luar.

Mendengar pembicaraan dua pendekar tak dikenalnya itu, Bocah Kuntilanak cepat berdiri dan berlari ke pintu rumah makan.

Bocah Kuntilanak melihat satu rombongan sebanyak lima orang.

Orang pertama adalah seorang wanita separuh baya. Berpakaian hijau longgar tapi rapih. Ia bernama Nenek Lewang.

Orang kedua adalah seorang dara jelita dengan kulit wajah putih bersih. Berhidung mancung, bibir merah alami, sepasang mata bening dengan alis sederhana tapi panjang bagus. Giwang birunya yang bercahaya mempercantik wajah alaminya yang tanpa pupur bedak. Rambutnya pendek tapi ikal berhias pita merah. Postur tubuhnya ramping, tidak kurus dan tidak gemuk. Pakaian merah mudanya tertutup dengan rapih. Di pinggang kirinya menggantung sebuah cemeti kuning mengkilap, terbuat dari benang khusus. Celana kuningnya dilapisi rok panjang yang memiliki beberapa belahan. Namanya Sukma Lentani, bergelar Putri Cemeti Bulan.

Orang ketiga adalah wanita bercadar merah yang mengenakan pakaian mirip gaun. Semua tubuhnya tertutup, kecuali mata dan kedua telapak tangan yang tampak kulitnya. Rambut ikalnya pun berwarna merah, serasi dengan pakaian serba merahnya. Ia memiliki sepasang mata yang begitu bening, laksana langit malam tanpa awan, sangat indah dan betah untuk dipandang, terlebih ditambah tatanan alis yang rapih dan sedikit tebal. Kulit putihnya halus tidak tercacat. Hanya kulit tangannya yang dilapisi kulit palsu. Ia mengenakan caping bambu bercat putih. Ia adalah Putri Aninda Serunai, seorang pendekar wanita yang baru muncul di dunia persilatan dan ternyata memiliki ilmu yang belum ditemui tandingannya.

Putri Aninda Serunai menggendong seorang lelaki dewasa di punggungnya. Ini adalah orang keempatnya. Seorang pemuda bercadar putih bersih yang bersinar redup oleh sinar matahari. Pakaian serba hitamnya dilapisi rompi merah tanpa kancing. Rambutnya panjang lurus sepunggung dan sebagian diikat dengan pita merah panjang. Dialah Sanggana yang bergelar Pendekar Langkah Jagad. Kini ia sedang mengalami cedera pada kedua kakinya sehingga tidak bisa berjalan.

Orang kelima adalah seorang gadis kecil berusia 12 tahun, berpakaian putih. Wajahnya begitu cantik untuk anak seukurannya. Bocah perempuan itu bernama Brakantani, adik angkat Sanggana.

Dari arah langkah mereka, rombongan Pendekar Langkah Jagad tidak berniat mampir ke rumah makan itu, tapi sekedar lewat. Namun, betapa girangnya Bocah Kuntilanak melihat mereka.

“Yeaaa! Hoiii, tangkap aku!” teriak Bocah Kuntilanak dengan tubuh sudah meluncur di udara ke arah rombongan Sanggana.

Spontan rombongan itu berpaling melihat ke sumber suara. Sanggana tampak agak terkejut, karena Bocah Kuntilanak meluncur ke arahnya dengan tangan terentang siap memeluk. Tapi mudah sekali bagi Putri Aninda Serunai memindahkan posisi Sanggana yang digendongnya.

“Aaa...!” pekik Bocah Kuntilanak karena wajahnya akan menghantam bumi, bukannya Sanggana.
“Hei!” seru Sukma Lentani bergerak cepat menyambar tubuh Bocah Kuntilanak sehingga batal menghantam bumi.

“Hihihi!” tawa Bocah Kuntilanak saat sadar dirinya diselamatkan oleh Sukma Lentani.

“Hei!” sapa Sukma Lentani sambil menepuk bahu kiri Bocah Kuntilanak. “Siapa yang melemparmu, Cantik?”

“Legaspati!” jawab Bocah Kuntilanak begitu gembira lalu langsung memandang senyum kepada Sanggana. “Adu lucunya, hihihi!”

Bocah Kuntilanak berlari sambil tertawa ke arah Sanggana, entah apa niatnya, seakan-akan Sanggana adalah boneka yang lucu.

“Jaga tindakanmu, Bocah!” kata Putri Aninda Serunai sambil sedikit gerakkan satu jari tangannya.

Bek!

“Wak!” pekik tertahan Bocah Kuntilanak, saat ada kekuatan besar menghantam perutnya, membuat tubuhnya terlempar ke belakang.

“Hei!” seru Sukma Lentani sambil bertindak sigap menyambar tubuh Bocah Kuntilanak, membuat gadis iseng itu gagal lagi menghantam bumi. “Memangnya Sanggana itu lucu?”

“Hihihi! Sangat lucu!” jawab Bocah Kuntilanak.

Sukma Lentani, Nenek Lewang dan Brakantani jadi tertawa.

“Kenapa kalian lewat di daerah ini?” tanya Legaspati yang datang dengan wajah penuh sesal.

“Memangnya kenapa?” tanya Nenek Lewang tanpa marah disalahkan.

“Seharusnya kalian lewat jalan lain. Karena kalian lewat sini, si Kuntilanak jadi melihat kalian. Dia pasti minta ikut, karena ada mainan lucu,” ujar Legaspati yang juga sudah akrab dengan rombongan orang sakti itu.

“Jadi kau juga menganggapku mainan?” tanya Sanggana datar.

“Tidak,” jawab Legaspati nyengir, lalu menghampiri Bocah Kuntilanak. “Ayo kita makan, biarkan mereka pergi.”

Legaspati mencoba menarik tangan Bocah Kuntilanak agar kembali ke rumah makan.

“Tidak mau!” tolak Bocah Kuntilanak sambil menarik lepas tangannya. “Aku mau ikut!”

“Lebih baik kau kenyangkan perutmu di dalam kedai, sebab kami akan pergi menemui Dewi Mata Hati,” kata Sanggana.

“Tidak mau tdak mau tidak mau, aku mau ikut!” teiak Bocah Kuntilanak dengan wajah merengut. “Pokoknya aku mau ikut!”

“Apa kau mau mampus? Kau hanya akan mengacaukan perjalanan mereka,” bisik Legaspati mencoba mencegah.

“Hei hei hei, Kakak Sakti!” Bocah Kuntilanak menghampiri Putri Aninda Serunai seraya senyum-senyum. “Aku ikut, ya? Aku kuat seperti kuda. Kalau kau nanti lelah menggendong bonekaku, kau bisa berikan kepadaku. Aku juga bisa menggendong anak.”

“Memangnya aku anak kecil?” rutuk Sanggana yang hanya didengar oleh Putri Aninda Serunai, membuat putri itu tersenyum di balik cadarnya.

“Tanyalah kepada Nenek Lewang!” suruh Putri Aninda Serunai kepada Bocah Kuntilanak.

Mendapat lampu kuning, Bocah Kuntilanak cepat menghadap kepada Nenek Lewang.

“Aku ikut, ya? Sekali ini saja. Nanti, saat aku mati, pasti aku tidak minta ikut lagi!” rajuk Bocah Kuntilanak kepada Nenek Lewang.

“Hahaha!” Legaspati malah tertawa. “Kalau kau mati, minta ikut pun dibolehkan!”

Mereka hanya tertawa kecil, tak sepanjang tawa Legaspati.

“Biarkan dia mempererat rasa bersaudaranya,” kata Putri Aninda Serunai kepada Nenek Lewang.
“Baiklah, kau boleh ikut,” kata Nenek Lewang.

“Hihihi...!” tawa Bocah Kuntilanak yang membuat semua yang mendengar tergidik merinding.

Sambil tertawa senang, Bocah Kuntilanak berlari mengelilingi mereka. Ujung-ujungnya ia melompat ke punggung Legaspati lalu menarik-narik rambut gondrong pemuda itu.

“Nanana.... Aku senang... kau senang... kucing ini senang! Legaspati kucing rambutnya mirip kuntilanak! Nanana...!”

Sambil terus mengacak-acak rambut Legaspati, Bocah Kuntilanak terus bernyanyi buruk. Legaspati jelas kelabakan.

“Rambutku bukan kue, Gadis Tua!” sentak Legaspati sambil melempar tubuh Bocah Kuntilanak dari punggungnya.

Yang lain hanya tertawa. Apa lagi ketika Bocah Kuntilanak dilempar dan jatuh terduduk di tanah. Bukannya mengeluh sakit, gadis itu justeru tertawa yang menggidikkan bulu kuduk, terutama bagi orang-orang yang ada di dalam rumah makan. Bahkan warga biasa jadi merasa takut sendiri.

“Hei! Berhentilah tertawa, kau membuat suasana seperti di alam setan!” kata Sukma Lentani yang suka dengan karakter Bocah Kuntilanak.

Meski usianya sudah hampir kepala tiga, tapi tingkahnya membuat Bocah Kuntilanak disikapi seperti adik cantik yang nakal bagi mereka.

“Kita lanjutkan perjalanan!” kata Nenek Lewang.

“Eit, tunggu dulu!” seru Legaspati cepat. “Bagaimana dengan makanku? Sejak kemarin aku tidak makan karena ulah si kuntilanak itu!”

“Kau lapar, Kantani?” tanya Sanggana kepada adiknya.

Brakantani mengangguk.

“Kami baru dapat sedikit perhiasan dari Datuk Bongkok, jadi mampirlah sejenak untuk istirahat dan makan,” tawar Legaspati.

“Iya iya iya!” sahut Bocah Kuntilanak sangat mendukung.

“Jangan mengabaikan kebaikan orang lain, terutama kebaikan sahabat sendiri,” kata Sanggana.

“Sangat bagus itu!” sahut Sukma Lentani lalu berlari masuk lebih dulu ke rumah makan sederhana itu. “Pelayan!”

Menyusul Legaspati, Nenek Lewang dan Brakantani, lalu Putri Aninda Serunai. Bocah Kuntilanak belakangan sambil senyum-senyum memandangi Sanggana. Ketika Putri Aninda Serunai masuk, Bocah Kuntilanak berjalan seperti maling mebuntuti Sanggana yang bertengger di punggung kekasih setianya.

“Aku dapat!” teriak Bocah Kuntilanak sambil melompat menerkam ke arah Sanggana.

Begk!

“Hekh!”

Sebelum tangan Bocah Kuntilanak menyentu tubuh Sanggana, lebih dulu satu kekuatan tenaga dalam dari Putri Aninda Serunai menghantamnya. Tubuh Bocah Kuntilanak terlempar jauh ke luar dan tersorong keras di tanah alun-alun.

“Hei! Jangan terlalu kasar kepadanya, Putri!” kata Sukma Lentani mengigatkan.

“Aku rasa itu masih ringan sekali,” kata Putri Aninda Serunai lalu duduk di tempat lain, tidak bergabung dengan Sukma Lentani dan lainnya.

Putri Aninda Serunai mendudukkan Sanggana di sebelah kirinya. Brakantani sendiri tidak mau mengganggu kakaknya dan Putri. Keduanya hanya memesan minuman.

“Aku sarankan agar lebih meringankan urusan dengan gadis itu, jiwanya masih terlalu muda, mungkin kekuatan pemahamannya masih belum bisa diandalkan,” kata Sanggana kepada Putri Aninda Serunai.

“Tingkah dan wataknya memang masih anak kecil, tapi ia sudah tahu rasa suka kepada lawan jenisnya,” kata Putri Aninda Serunai.

Sanggana tertawa kecil.

“Aku suka rasa besar cemburumu, tapi jangan juga terlewat batas.”

“Aku mengerti. Tandanya aku sampai melewati batas adalah, jika rasa cemburuku sampai membuat wanita lain mati karenaku. Yang dialami Bocah Kuntilanak baru satu dari seratus kekuatan cemburuku,” kata Putri Aninda Serunai lalu memegang tangan kanan Sanggana. “Bocah Kuntilanak adalah ujian yang tidak berarti bagi cinta kita.”

“Boleh aku bergabung?” tanya Sukma Lentani yang datang ke meja mereka.

“Dengan senang hati,” kata Putri Aninda Serunai lembut.

“Maaf jika aku mengganggu cinta kalian, tapi tidak apalah. Bukankah kalian sudah kenyang selalu mesra? Maka itu aku akan mengganggu kalian dalam beberapa hari ini,” kata Sukma Lentani.

Sanggana dan Putri Aninda Serunai tertawa kecil.

“Aku datang....!”

Tiba-tiba muncul teriakan Bocah Kuntilanak. Dan seperdetik kemudian, tiba-tiba tubuh Bocah Kuntilanak muncul dari atas dan meluncur turun ke arah Sanggana dengan kepala di bawah.

Hanya dengan menggunakan sedikit tenaga sakti matanya, Putri Aninda Serunai melemparkan tubuh Bocah Kuntilanak sebelum menyentuh Sanggana. Tubuh Bocah Kuntilanak terlempar ke arah dinding rumah makan, tapi dia bisa mengatur tubuhnya, sehingga kedua kakinya bisa bertolak pada dinding papan.

“Aku datang lagi....! Hihihi!” teriak Bocah Kuntilanak tidak jera.

Namun, tawa dan niatannya kepada Sanggana jadi terputus, kekuatan mata Putri Aninda Serunai kembali mementalkan tubuh Bocah Kuntilanak. Lagi-lagi Bocah Kuntilanak selamat dari tiang besar penyanggah rumah makan itu. Bocah Kuntilanak berhenti sejenak dan berdiri sambil tertawa-tawa lucu. Entah ia tertawa kepada siapa?

“Hei, jangan terlalu keras memberinya pengajaran!” kata Sukma Lentani, kembali mengingatkan sahabatnya itu.

“Selama belum mati, itu belum keras,” kata Putri Aninda Serunai tetap bernada lembut.

“Sanggana lucu, aku datang...!” teriak Bocah Kuntilanak lagi dengan tubuh melesat begitu cepat kepada Sanggana.

Begk!

“Ekh!”

Ketika tinggal dua jangkauan dari tubuh Sanggana,  tenaga dalam Putri Aninda Serunai lebih cepat menghantam keras perut Bocah Kuntilanak. Tubuh gadis bermata sipit itu terpental sejauh dua tombak lalu diam mengambang di udara. Semua jadi tegang, menunggu apa yang akan dilakukan Putri Aninda Serunai terhadap gadis bocah itu. Kesaktian mata Putri Aninda Serunai membuat Bocah Kuntilanak tidak bisa berbuat apa-apa.

“Lho kok, bisa seperti ini ya?” tanya Bocak Kuntilanak heran. Tampak sudah ada darah merembes di sudut bibirnya.

Bek!

“Ekh!” pekik Bocah Kuntilanak dengan tubuh kembali dilemparkan.

Brak!


Tubuh Bocah Kuntilanak menghantam jebol dinding papan rumah makan itu, menunjukkan besarnya tenaga yang diberikan oleh Putri Aninda Serunai. 

(Bersambung....)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar