Ilustrasi Putri Aninda Serunai, Bidadari Asap Racun. (Gambar: Flickr.com) |
Oleh Rudi Hendrik
Legaspati sudah menormalkan kembali keadaan tubuhnya yang
sempat terluka dalam akibat pukulan keras Panglima Setan. Ia rebahkan tubuhnya
dengan berbantalkan akar pohon besar yang mereka gunakan bernaung dari teriknya
siang.
Sementara si cantik Bocah Kuntilanak masih dalam proses
menormalkan aliran darahnya. Ia bersila layaknya seorang petapa.
Legaspati memejamkan matanya, entah mau tidur atau menikmati
sejuknya naungan bayang pohon disertai belaian kencang angin pegunungan.
“Hihihi...!”
Tiba-tiba Bocah Kuntilanak tertawa nyaring menyeramkan
seperti kuntilanak kuburan. Tawa itu membuat Legaspati spontan bangun duduk.
“Benar-benar kurang ajar kau! Membuat marah orang lain itu
tidak baik. Jangan suka cari masalah. Coba jika kau tidak jatuh di atap kedai, pasti
tidak adak pertarungan. Coba jika tidak ada pertarungan, pasti kerbau itu tidak
datang. Coba jika kerbau itu tidak datang, pasti tidak terluka. Coba jika tidak
terluka, pasti tidak akan kabur. Coba jika tidak kabur, pasti kita sudah makan
enak. Kalau sudah makan enak, pasti sekarang aku tidak kelaparan seperti ini.
Kau enak, sempat makan tadi. Coba lihat aku, perutku sudah bernyanyi minta
makanan. Pokoknya aku harus makan!” cerocos Legaspati bertubi-tubi memarahi
Bocah Kuntilanak, membuat gadis itu diam melongo memandanginya.
“Legaspati jelek, kau kenapa?” tanya Bocah Kuntilanak seakan
tidak mengerti dengan kemarahan Legaspati.
“Aku lapaaar!” teriak Legaspati sangat kesal lalu
menepuk-nepuk bumi sebagai pelampiasannya.
“Tuh, banyak rumput dan daun di atas pohon,” kata Bocah
Kuntilanak serius.
“Aku serius, Anak Bocah!” Legaspati geregetan sendiri.
“Lho, katanya Legaspati kambing, kenapa tidak suka rumput?”
tanya Bocah Kuntilanak heran.
“Waaah! Kalau terus bersama kau, bisa mampus aku. Lebih baik
aku pergi saja cari makanan sendiri!” teriak Legaspati lalu berdiri dan
melangkah pergi.
“Awaaas!” teriak Bocah Kuntilanak.
Legaspati terkejut dan cepat berpaling ke belakang. Pemuda
itu kian terkejut ketika melihat tubuh Bocah Kuntilanak meluncur di udara sudah
sangat dekat dengannya.
Blugk!
Tubuh Bocah Kuntilanak menimpa punggung Legaspati. Mau tidak
mau tubuh Legaspati ditindih Bocah Kuntilanak. Lumayan sakit bagi Legaspati.
“Benar-benar tersiksa bila bersama bocah gila seperti ini!”
keluh Legaspati.
“Aku sangat kagum dengan kipas itu. Kalau aku tahu
kehebatannya, pasti tidak akan aku berikan. Aku minta lagi ya kipasnya?” kata
Bocah Kuntilanak.
“Tidak bisa!” sentak Legaspati sambil menyentakkan tubuhnya
ke atas, membuat tubuh Bocah Kuntilanak terlempar dari punggung Legaspati. “Aku
mau pergi, jangan ikut!”
“Kenapa aku tidak boleh ikut? Bukankah aku cantik? Kalau
Legaspati jelek pergi, nanti tidak akan aku jadikan prajurit!” kata Bocah
Kuntilanak sambil tarik belakang baju si pemuda.
“Kata siapa kau cantik? Kata siapa kau seorang putri? Aku
lapar. Aku mau pergi cari makanan. Jangan ikut!”
“Kalau Legaspati jelek mau pergi, ya sudah pergi saja!” kata
Bocah Kuntilanak lalu mendorong punggung Legaspati, dan ia kemudian berbalik
menjauh dengan wajah merengut cantik, tandanya mengambek.
Legaspati berbalik melihat Bocah Kuntilanak yang sesekali
melirik-lirik kepadanya.
“Ya sudah pergi saja, aku tidak akan menangis, aku tidak
akan marah!” kata Bocah Kuntilanak dengan bibir dimonyongkan sedikit.
Lalu Legaspati berkata, “Hati-hatilah!”
Legaspati pun berbalik dan melangkah pergi.
Bocah Kuntilanak berbalik dan memandang kepergian Legaspati.
Ia menghentak-hentakkan kakinya ke bumi seperti anak kecil mau menangis. Lalu
duduk sembarangan di tanah dengan bibir kian monyong.
“Dasar banci tukang bohong!” teriak Bocah Kuntilanak keras
yang masih didengar jelas oleh Legaspati.
Legaspati hentikan langkahnya, tapi tidak berbalik.
“Katanya aku gadis cantik yang kuat dan sakti, katanya
sayang aku. Mana? Legaspati memang banci siput yang jelek. Biarkan aku sendiri.
Jika nanti bertemu dengan kerbau besar itu, mungkin aku hanya mati, kemudian
dimakan anjing hutan. Biarkan saja, Legaspati jelek itu pergi!” celoteh Bocah
Kuntilanak tapi dengan nada tinggi.
Celotehan pelampiasan kekesalan itu membuat Legaspati
tiba-tiba berkelebat di udara dan mendarat tepat di depan Bocah Kuntilanak yang
masih duduk di tanah.
“Hai, Gadis Cantik!” sapa Legaspati sambil setengah
membungkuk di depan Bocah Kuntilanak dan memasang wajah senyum buatan yang
lucu.
Bocah Kuntilanak menatap tajam wajah Legaspati, membuat
wajah cantik itu kian menggemaskan mata lelaki, tak terkecuali Legaspati.
“Pergi sana!” usir Bocah Kuntilanak sambil berbalik
membelakangi Legaspati.
Legaspati lalu duduk bersila menempel di sisi kiri Bocah Kuntilanak.
Sementara tangan kanannya merentang merangkul bahu gadis itu.
“Seringai Malam adalah gadis yang cantik seperti bidadari.
Aku tidak mungkin meninggalkannya sendiri. Kita cari makanan enak, yuk?” bujuk
Legaspati dengan menyebut nama asli Bocah Kuntilanak.
“Katanya mau pergi sendiri?” kata Bocah Kuntilanak melirik
tajam.
“Memangnya aku tega, aku makan enak sedang kau tidak?” kata
Legaspati.
“Hihihi!”
Bocah Kuntilanak tertawa pendek akhirnya, lalu berdiri dan
menari-nari asal tari. Legaspati hanya tersenyum melihat tingkah gadis cantik
berkelakuan bocah itu.
“Nanana, nanana, Legaspati jelek jadi ganteng, Legaspati
banci jadi pendekar, Legaspati siput jadi kucing! Nanana....!”
“Dari siput jadi kucing, tetap saja sama-sama binatang!”
rutuk Legaspati pelan. Mau tidak mau ia harus menerima tingkah Bocah
Kuntilanak.
“Legaspati memang kucing!! Hihihi....!” sorak Bocah
Kuntilanak sambil berlari mendatangi Legaspati lalu mencubit kuat kedua pipi
pemuda itu.
Legaspati hanya meringis menerima nasibnya.
“Kita cari makan!” teriak Bocah Kuntilanak sambil berjalan
pergi dengan langkah riang.
Legaspati berjalan di belakang Bocah Kuntilanak yang tidak
henti-hentinya bernyanyi riang dengan irama dan syair yang kacau, walaupun
suaranya sedikit lumayan.
“Nanana, nanana. Ayam bertelur di sungai..., telurnya
pecah..., dor! Ikan-ikan kaget semuuuaaa.... Eh, ada anak ayam berenang,
hooo... oooh... nanana...!”
Seperti itulah syair nyanyian Bocah Kuntilanak yang tidak
jelas menyanyikan lagu ciptan siapa, buruk dan ngawur. Tapi tidak jarang
Legaspati tertawa sendiri di belakang mendengar syai-syair yang ngawur tapi
terkadang lucu. Legaspati sendiri tidak mau mengganggu keriangan gadis itu.
Akhirnya mereka memasuki sebuah desa kecil di sebuah kaki
bukit setengah gundul. Mereka melewati alun-alun kecil, tempat sekelompok anak
kecil lelaki sedang bermain. Di pinggir alun-alun terdapat sebuah rumah makan
sederhana.
Alun-alun itu juga menjadi lapangan bagi penduduk desa. Di
sisi lain tidak ada tanah lapang, yang ada hanyalah rumah dan kebun-kebun
penduduk.
“Hei! Aku ikutan!” teriak Bocah Kuntilanak sambil berlari
senang ke arah anak-anak.
Anak-anak itu jadi berhenti bermain. Mereka semua diam
memandang ke arah Bocah Kuntilanak yang datang sambil tertawa-tawa nyaring
seperti kuntilanak tengah malam.
“Ada demiiit!” teriak seorang bocah di antara mereka.
“Demiiit!” teriak semua bocah lainnya sambil lari
terbirit-birit menyusul temannya yang jadi provokator.
Bocah Kuntilanak jadi berhenti berlari dan berhenti tertawa.
Ia kebingungan dengan sikap anak-anak itu.
“Hahaha...!” Legaspati malah tertawa terbahak-bahak.
“Kok tertawa?” tanya Bocah Kuntilanak masam. “Tidak ada yang
lucu!”
“Siapa yang mengatakan ada yang lucu?” tanya Legaspati
sambil masih tertawa.
“Tadi lucu, anak-anak lari ketakutan melihatku. Hihihi!
Pasti aku terlalu cantik,” kata Bocah Kuntilanak.
“Mana ada demit yang cantik?” timpal Legaspati.
“Demit itu apa?” tanya Bocah Kuntilanak serius.
“Demit itu setan penunggu kuburan seperti kuntilanak,” jawab
Legaspati lalu pergi menuju ke rumah makan yang ada.
“Legaspati ganteng tapi bodoh,” kata Bocah Kuntilanak sambil
mengikuti Legaspati. “Aku tidak pernah menunggui kuburan, untuk apa?”
“Nanti kau jangan main-main ke sana ke sini, harus diam di
tempat. Jika kau buat kacau lagi, aku akan marah sungguhan!” pesan Legaspati
mengancam.
“Iya,” angguk Bocah Kuntilanak sambil senyum lucu kepada
Legaspati.
Mereka masuk ke rumah makan itu. Di sana ada beberapa
pelanggan, baik itu pelanggan yang sifatnya sekedar mampir seperti halnya Bocah
Kuntilanak dan Legaspati, maupun pelanggan yang sudah kerap kali datang seperti
warga di desa itu.
Bocah Kuntilanak langsung pesan ini itu dan ini kepada
pelayan. Seraya bersenandung ringan dan pandangan jelalatan, Bocah Kuntilanak
tetap duduk di tempatnya. Ia menjadi anak baik kali ini.
“Siapa kerbau sakti yang menghajar kita tadi?” tanya
Legaspati kepada Bocah Kuntilanak.
“Oh itu. Kata guruku, jangan sampai bertemu dengan Panglima
Iblis atau Panglima Setan, sangat berbahaya. Kalau aku bertemu dengan mereka,
aku jadi tikus mereka jadi kucing. Aku bisa dimakan oleh mereka....”
“Lalu, sebutan Putri Wilasin?” tanya Legaspati memotong.
“Hihihi!” Bocah Kuntilanak cekikikan kecil. “Itu namaku.
Kata Guru, kalau aku sudah tinggal di istana, maka aku akan memakai nama Putri
Wilasin. Nanti, jika aku jadi putri, Legaspati akan aku jadikan tukang kuda.”
“Apakah kau benar-benar seorang putri?” tanya Legaspati
lagi, sulit untuk bisa percaya.
Bocah Kuntilanak tidak langsung menjawab, sebab ia mendengar
perkataan orang.
“Bukankah itu pendekar yang sedang banyak dibicarakan,
karena banyak meninggalkan kegemparan?” tanya seorang lelaki berpakaian
pendekar kepada teman wanitanya yang juga berpakaian pendekar.
“Benar, itu Pendekar Langkah Jagad,” jawab si wanita
membenarkan setelah melihat ke luar.
Mendengar pembicaraan dua pendekar tak dikenalnya itu, Bocah
Kuntilanak cepat berdiri dan berlari ke pintu rumah makan.
Bocah Kuntilanak melihat satu
rombongan sebanyak lima orang.
Orang pertama adalah seorang
wanita separuh baya. Berpakaian hijau longgar tapi rapih. Ia bernama Nenek Lewang.
Orang kedua adalah seorang dara
jelita dengan kulit wajah putih bersih. Berhidung mancung, bibir merah alami,
sepasang mata bening dengan alis sederhana tapi panjang bagus. Giwang birunya
yang bercahaya mempercantik wajah alaminya yang tanpa pupur bedak. Rambutnya
pendek tapi ikal berhias pita merah. Postur tubuhnya ramping, tidak kurus dan
tidak gemuk. Pakaian merah mudanya tertutup dengan rapih. Di pinggang kirinya
menggantung sebuah cemeti kuning mengkilap, terbuat dari benang khusus. Celana
kuningnya dilapisi rok panjang yang memiliki beberapa belahan. Namanya Sukma
Lentani, bergelar Putri Cemeti Bulan.
Orang ketiga adalah wanita
bercadar merah yang mengenakan pakaian mirip gaun. Semua tubuhnya tertutup, kecuali
mata dan kedua telapak tangan yang tampak kulitnya. Rambut ikalnya pun berwarna
merah, serasi dengan pakaian serba merahnya. Ia memiliki sepasang mata yang
begitu bening, laksana langit malam tanpa awan, sangat indah dan betah untuk
dipandang, terlebih ditambah tatanan alis yang rapih dan sedikit tebal. Kulit
putihnya halus tidak tercacat. Hanya kulit tangannya yang dilapisi kulit palsu.
Ia mengenakan caping bambu bercat putih. Ia adalah Putri Aninda Serunai, seorang pendekar wanita yang baru muncul di
dunia persilatan dan ternyata memiliki ilmu yang belum ditemui tandingannya.
Putri Aninda Serunai menggendong
seorang lelaki dewasa di punggungnya. Ini adalah orang keempatnya. Seorang
pemuda bercadar putih bersih yang bersinar redup oleh sinar matahari. Pakaian
serba hitamnya dilapisi rompi merah tanpa kancing. Rambutnya panjang lurus
sepunggung dan sebagian diikat dengan pita merah panjang. Dialah Sanggana yang bergelar Pendekar Langkah Jagad. Kini ia sedang
mengalami cedera pada kedua kakinya sehingga tidak bisa berjalan.
Orang kelima adalah seorang gadis
kecil berusia 12 tahun, berpakaian putih. Wajahnya begitu cantik untuk anak
seukurannya. Bocah perempuan itu bernama Brakantani,
adik angkat Sanggana.
Dari arah langkah mereka,
rombongan Pendekar Langkah Jagad tidak berniat mampir ke rumah makan itu, tapi
sekedar lewat. Namun, betapa girangnya Bocah Kuntilanak melihat mereka.
“Yeaaa! Hoiii, tangkap aku!”
teriak Bocah Kuntilanak dengan tubuh sudah meluncur di udara ke arah rombongan
Sanggana.
Spontan rombongan itu berpaling melihat
ke sumber suara. Sanggana tampak agak terkejut, karena Bocah Kuntilanak
meluncur ke arahnya dengan tangan terentang siap memeluk. Tapi mudah sekali
bagi Putri Aninda Serunai memindahkan posisi Sanggana yang digendongnya.
“Aaa...!” pekik Bocah Kuntilanak
karena wajahnya akan menghantam bumi, bukannya Sanggana.
“Hei!” seru Sukma Lentani
bergerak cepat menyambar tubuh Bocah Kuntilanak sehingga batal menghantam bumi.
“Hihihi!” tawa Bocah Kuntilanak
saat sadar dirinya diselamatkan oleh Sukma Lentani.
“Hei!” sapa Sukma Lentani sambil
menepuk bahu kiri Bocah Kuntilanak. “Siapa yang melemparmu, Cantik?”
“Legaspati!” jawab Bocah
Kuntilanak begitu gembira lalu langsung memandang senyum kepada Sanggana. “Adu
lucunya, hihihi!”
Bocah Kuntilanak berlari sambil
tertawa ke arah Sanggana, entah apa niatnya, seakan-akan Sanggana adalah boneka
yang lucu.
“Jaga tindakanmu, Bocah!” kata
Putri Aninda Serunai sambil sedikit gerakkan satu jari tangannya.
Bek!
“Wak!” pekik tertahan Bocah Kuntilanak,
saat ada kekuatan besar menghantam perutnya, membuat tubuhnya terlempar ke
belakang.
“Hei!” seru Sukma Lentani sambil
bertindak sigap menyambar tubuh Bocah Kuntilanak, membuat gadis iseng itu gagal
lagi menghantam bumi. “Memangnya Sanggana itu lucu?”
“Hihihi! Sangat lucu!” jawab
Bocah Kuntilanak.
Sukma Lentani, Nenek Lewang dan
Brakantani jadi tertawa.
“Kenapa kalian lewat di daerah
ini?” tanya Legaspati yang datang dengan wajah penuh sesal.
“Memangnya kenapa?” tanya Nenek
Lewang tanpa marah disalahkan.
“Seharusnya kalian lewat jalan
lain. Karena kalian lewat sini, si Kuntilanak jadi melihat kalian. Dia pasti
minta ikut, karena ada mainan lucu,” ujar Legaspati yang juga sudah akrab
dengan rombongan orang sakti itu.
“Jadi kau juga menganggapku
mainan?” tanya Sanggana datar.
“Tidak,” jawab Legaspati nyengir,
lalu menghampiri Bocah Kuntilanak. “Ayo kita makan, biarkan mereka pergi.”
Legaspati mencoba menarik tangan
Bocah Kuntilanak agar kembali ke rumah makan.
“Tidak mau!” tolak Bocah
Kuntilanak sambil menarik lepas tangannya. “Aku mau ikut!”
“Lebih baik kau kenyangkan
perutmu di dalam kedai, sebab kami akan pergi menemui Dewi Mata Hati,” kata Sanggana.
“Tidak mau tdak mau tidak mau,
aku mau ikut!” teiak Bocah Kuntilanak dengan wajah merengut. “Pokoknya aku mau
ikut!”
“Apa kau mau mampus? Kau hanya
akan mengacaukan perjalanan mereka,” bisik Legaspati mencoba mencegah.
“Hei hei hei, Kakak Sakti!” Bocah
Kuntilanak menghampiri Putri Aninda Serunai seraya senyum-senyum. “Aku ikut,
ya? Aku kuat seperti kuda. Kalau kau nanti lelah menggendong bonekaku, kau bisa
berikan kepadaku. Aku juga bisa menggendong anak.”
“Memangnya aku anak kecil?” rutuk
Sanggana yang hanya didengar oleh Putri Aninda Serunai, membuat putri itu
tersenyum di balik cadarnya.
“Tanyalah kepada Nenek Lewang!”
suruh Putri Aninda Serunai kepada Bocah Kuntilanak.
Mendapat lampu kuning, Bocah
Kuntilanak cepat menghadap kepada Nenek Lewang.
“Aku ikut, ya? Sekali ini saja.
Nanti, saat aku mati, pasti aku tidak minta ikut lagi!” rajuk Bocah Kuntilanak
kepada Nenek Lewang.
“Hahaha!” Legaspati malah
tertawa. “Kalau kau mati, minta ikut pun dibolehkan!”
Mereka hanya tertawa kecil, tak
sepanjang tawa Legaspati.
“Biarkan dia mempererat rasa
bersaudaranya,” kata Putri Aninda Serunai kepada Nenek Lewang.
“Baiklah, kau boleh ikut,” kata
Nenek Lewang.
“Hihihi...!” tawa Bocah
Kuntilanak yang membuat semua yang mendengar tergidik merinding.
Sambil tertawa senang, Bocah
Kuntilanak berlari mengelilingi mereka. Ujung-ujungnya ia melompat ke punggung
Legaspati lalu menarik-narik rambut gondrong pemuda itu.
“Nanana.... Aku senang... kau
senang... kucing ini senang! Legaspati kucing rambutnya mirip kuntilanak!
Nanana...!”
Sambil terus mengacak-acak rambut
Legaspati, Bocah Kuntilanak terus bernyanyi buruk. Legaspati jelas kelabakan.
“Rambutku bukan kue, Gadis Tua!”
sentak Legaspati sambil melempar tubuh Bocah Kuntilanak dari punggungnya.
Yang lain hanya tertawa. Apa lagi
ketika Bocah Kuntilanak dilempar dan jatuh terduduk di tanah. Bukannya mengeluh
sakit, gadis itu justeru tertawa yang menggidikkan bulu kuduk, terutama bagi
orang-orang yang ada di dalam rumah makan. Bahkan warga biasa jadi merasa takut
sendiri.
“Hei! Berhentilah tertawa, kau
membuat suasana seperti di alam setan!” kata Sukma Lentani yang suka dengan karakter
Bocah Kuntilanak.
Meski usianya sudah hampir kepala
tiga, tapi tingkahnya membuat Bocah Kuntilanak disikapi seperti adik cantik
yang nakal bagi mereka.
“Kita lanjutkan perjalanan!” kata
Nenek Lewang.
“Eit, tunggu dulu!” seru
Legaspati cepat. “Bagaimana dengan makanku? Sejak kemarin aku tidak makan
karena ulah si kuntilanak itu!”
“Kau lapar, Kantani?” tanya
Sanggana kepada adiknya.
Brakantani mengangguk.
“Kami baru dapat sedikit
perhiasan dari Datuk Bongkok, jadi mampirlah sejenak untuk istirahat dan
makan,” tawar Legaspati.
“Iya iya iya!” sahut Bocah
Kuntilanak sangat mendukung.
“Jangan mengabaikan kebaikan
orang lain, terutama kebaikan sahabat sendiri,” kata Sanggana.
“Sangat bagus itu!” sahut Sukma
Lentani lalu berlari masuk lebih dulu ke rumah makan sederhana itu. “Pelayan!”
Menyusul Legaspati, Nenek Lewang
dan Brakantani, lalu Putri Aninda Serunai. Bocah Kuntilanak belakangan sambil
senyum-senyum memandangi Sanggana. Ketika Putri Aninda Serunai masuk, Bocah
Kuntilanak berjalan seperti maling mebuntuti Sanggana yang bertengger di
punggung kekasih setianya.
“Aku dapat!” teriak Bocah
Kuntilanak sambil melompat menerkam ke arah Sanggana.
Begk!
“Hekh!”
Sebelum tangan Bocah Kuntilanak
menyentu tubuh Sanggana, lebih dulu satu kekuatan tenaga dalam dari Putri
Aninda Serunai menghantamnya. Tubuh Bocah Kuntilanak terlempar jauh ke luar dan
tersorong keras di tanah alun-alun.
“Hei! Jangan terlalu kasar
kepadanya, Putri!” kata Sukma Lentani mengigatkan.
“Aku rasa itu masih ringan
sekali,” kata Putri Aninda Serunai lalu duduk di tempat lain, tidak bergabung
dengan Sukma Lentani dan lainnya.
Putri Aninda Serunai mendudukkan
Sanggana di sebelah kirinya. Brakantani sendiri tidak mau mengganggu kakaknya
dan Putri. Keduanya hanya memesan minuman.
“Aku sarankan agar lebih
meringankan urusan dengan gadis itu, jiwanya masih terlalu muda, mungkin
kekuatan pemahamannya masih belum bisa diandalkan,” kata Sanggana kepada Putri
Aninda Serunai.
“Tingkah dan wataknya memang
masih anak kecil, tapi ia sudah tahu rasa suka kepada lawan jenisnya,” kata
Putri Aninda Serunai.
Sanggana tertawa kecil.
“Aku suka rasa besar cemburumu,
tapi jangan juga terlewat batas.”
“Aku mengerti. Tandanya aku
sampai melewati batas adalah, jika rasa cemburuku sampai membuat wanita lain
mati karenaku. Yang dialami Bocah Kuntilanak baru satu dari seratus kekuatan
cemburuku,” kata Putri Aninda Serunai lalu memegang tangan kanan Sanggana.
“Bocah Kuntilanak adalah ujian yang tidak berarti bagi cinta kita.”
“Boleh aku bergabung?” tanya
Sukma Lentani yang datang ke meja mereka.
“Dengan senang hati,” kata Putri
Aninda Serunai lembut.
“Maaf jika aku mengganggu cinta
kalian, tapi tidak apalah. Bukankah kalian sudah kenyang selalu mesra? Maka itu
aku akan mengganggu kalian dalam beberapa hari ini,” kata Sukma Lentani.
Sanggana dan Putri
Aninda Serunai tertawa kecil.
“Aku datang....!”
Tiba-tiba muncul
teriakan Bocah Kuntilanak. Dan seperdetik kemudian, tiba-tiba tubuh Bocah
Kuntilanak muncul dari atas dan meluncur turun ke arah Sanggana dengan kepala
di bawah.
Hanya dengan
menggunakan sedikit tenaga sakti matanya, Putri Aninda Serunai melemparkan
tubuh Bocah Kuntilanak sebelum menyentuh Sanggana. Tubuh Bocah Kuntilanak
terlempar ke arah dinding rumah makan, tapi dia bisa mengatur tubuhnya,
sehingga kedua kakinya bisa bertolak pada dinding papan.
“Aku datang
lagi....! Hihihi!” teriak Bocah Kuntilanak tidak jera.
Namun, tawa dan
niatannya kepada Sanggana jadi terputus, kekuatan mata Putri Aninda Serunai
kembali mementalkan tubuh Bocah Kuntilanak. Lagi-lagi Bocah Kuntilanak selamat
dari tiang besar penyanggah rumah makan itu. Bocah Kuntilanak berhenti sejenak
dan berdiri sambil tertawa-tawa lucu. Entah ia tertawa kepada siapa?
“Hei, jangan
terlalu keras memberinya pengajaran!” kata Sukma Lentani, kembali mengingatkan sahabatnya
itu.
“Selama belum mati,
itu belum keras,” kata Putri Aninda Serunai tetap bernada lembut.
“Sanggana lucu, aku
datang...!” teriak Bocah Kuntilanak lagi dengan tubuh melesat begitu cepat
kepada Sanggana.
Begk!
“Ekh!”
Ketika tinggal dua
jangkauan dari tubuh Sanggana, tenaga
dalam Putri Aninda Serunai lebih cepat menghantam keras perut Bocah Kuntilanak.
Tubuh gadis bermata sipit itu terpental sejauh dua tombak lalu diam mengambang
di udara. Semua jadi tegang, menunggu apa yang akan dilakukan Putri Aninda
Serunai terhadap gadis bocah itu. Kesaktian mata Putri Aninda Serunai membuat
Bocah Kuntilanak tidak bisa berbuat apa-apa.
“Lho kok, bisa
seperti ini ya?” tanya Bocak Kuntilanak heran. Tampak sudah ada darah merembes
di sudut bibirnya.
Bek!
“Ekh!” pekik Bocah
Kuntilanak dengan tubuh kembali dilemparkan.
Brak!
Tubuh Bocah
Kuntilanak menghantam jebol dinding papan rumah makan itu, menunjukkan besarnya
tenaga yang diberikan oleh Putri Aninda Serunai.
(Bersambung....)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar