Rabu, 10 Februari 2016

Misteri Gadis Buruan 4: Godaan Sukma Lentani

Ilustrasi Sukma Lentani. (Foto: dok. Gayatasi.com)


Legaspati yang masih menggigit paha ayam goreng di mulutnya cepat berkelebat menyusul tubuh Bocah Kuntilanak ke luar. Ia menemukan gadis itu terkapar di tanah kesakitan. Bocah Kuntilanak bergerak bangun seraya meringis kesakitan. Dagunya sudah dilumuri darah kental. Berdiri pun agak sempoyongan, tapi tetap saja ia tertawa-tawa kecil.

“Sudah aku katakan, tidak usah ikut. Kau bisa mampus jika terus mengganggu Sanggana!” kata Legaspati setengah mengomel.

“Hihihi! Tapi aku suka,” kata Bocah Kuntilanak.

“Sinting!” rutuk Legaspati mendengar jawaban itu. “Jadi kau tetap mau ikut dengan mereka?”

“Iya.”

“Weeaaalaaah ini bocah, benar-benar mau mampus!” ratap Legaspati.

Bocah Kuntilanak berjalan ke pintu rumah makan dan bergerak masuk seraya tetap senyum-senyum. Sebelum gadis itu melakukan sesuatu, Sukma Lentani segera menghampirinya.

“Hei! Sudah, lain waktu lagi kau mengganggu Sanggana, nanti jika kau sudah sehat kembali,” kata Sukma Lentani sambil menuntun Bocah kuntilanak ke meja Nenek Lewang dan Brakantani berada. “Biar ku obati kau.”

“Gadis yang lucu tapi menyebalkan aku,” kata Putri Aninda Serunai datar kepada Sanggana. “Kau pasti senang padanya.”

Sanggana hanya tertawa kecil seperti bergumam tapi enak didengar. Lalu katanya, “Kuntilanak memang lucu, tapi membuatku kesal juga. Siapa yang tidak kesal kalau dirinya dianggap mainan lucu?”

“Bukankah indah rasanya bila memiliki kekasih yang cantik bersih yang bisa membuat kita tertawa bahagia setiap hari?” bisik Putri Aninda Serunai.

“Jangan suka menggodaku. Jika aku sampai tergoda, kau bisa rasa akibatnya,” bisi Sanggana pula.

“Apa yang akan kau perbuat padaku?” tanya Putri Aninda Serunai.

“Mencium bibirmu, lalu aku mati keracunan,” kata Sanggana. 

“Kakak!” ucap Putri Aninda Serunai malu tapi jarinya mencubit paha kekasihnya itu.

Sanggana hanya tertawa kecil, membuat Putri Aninda Serunai tertunduk malu, tersenyum malu di balik cadarnya.

Sukma Lentani yang baru saja selesai mengobati luka Bocah Kuntilanak, hanya bisa tersenyum sendiri memandangi sepasang kekasih itu.

“Apa yang kau senyumkan, Lentani?” tanya Nenek Lewang.

“Eh, tidak apa-apa, Nek. Aku hanya sedikit berkhayal. Andai saja aku adalah Aninda, mungkin aku adalah gadis terbahagia di jagad raya ini,” jawab Sukma Lentani.

“Kau menyukai Sanggana juga, seperti halnya Bocah Kuntilanak?” tanya Legaspati.

Sukma Lentani tertawa kecil, lalu katanya, “Mana mungkin aku mencintai kekasih sahabat tersayangku?”

“Mungkin,” ucap Legaspati lalu melanjutkan makannya.

Sukma Lentani kembali memandang Sanggana dan Putri Aninda Serunai yang tampak begitu mesra dengan senyuman dan tawa-tawa kecil di balik cadarnya.

“Sukma Lentani memandangi kita,” kata Sanggana kepada Putri Aninda Serunai.

Putri Aninda Serunai memandang kepada Sukma Lentani, sehingga sepasang mata kedua gadis jelita sahabat dekat itu saling bertemu pandang. Sukma Lentani hanya lemparkan senyum manis kepada sahabatnya tersebut. Putri pun balas tersenyum di balik cadarnya. Sukma Lentani bisa melihat senyum itu sebab ia memiliki ilmu Kupas Tabir yang bisa melihat tembus sesuatu di balik benda tipis. Sukma pun tahu bahwa Sanggana memiliki paras yang sangat tampan di balik cadarnya.

“Mungkin ia memikirkan kekasihnya,” duga Putri Aninda Serunai.

“Apakah kau tidak curiga kepadanya?” tanya Sanggana.

“Aku kenal Sukma Lentani sejak kecil. Sifatnya tidak berubah hingga sekarang,” kata Putri Aninda Serunai.

Tiba-tiba Sanggana mencium aroma bunga mawar yang begitu tajam menusuk hidung. Hal yang sama juga dirasakan oleh Putri Aninda Serunai. Anehnya, aroma tajam itu hanya diciumi oleh keduanya, orang lain yang ada di rumah makan itu tidak merasakan sedikit pun.

“Siapa yang menebarkan wangi mawar setajam ini? Aroma wangi tubuhmu tidak setajam ini, Aninda,” kata Sanggana.

“Ini panggilan untukku, Kakak,” jawab Putri Aninda Serunai.

“Maksudmu?” Sanggana tidak mengerti.

“Aroma mawar seperti ini adalah aroma mawar yang dikirim khusus oleh Pengawal Bayang Mawar. Pasti ada keperluan penting yang ingin disampaikan kepadaku dari kerajaan. Untuk itu aku harus meninggalkan Kakak sebentar. Namun, jika Kakak tidak mengizinkan, aku tidak akan pergi menemui utusan Ayah. Bukankan calon isteri harus patuh pada calon suami?” ujar Putri Aninda Serunai.

“Namun, aku belum menjadi suamimu, maka itu belum berhak mencegahmu. Pergilah dan tinggalkan aku. Aku tidak akan marah sedikit pun,” kata Sanggana lembut.

“Aku usahakan tidak akan lama,” kata Putri Aninda Serunai.

“Pergilah dengan ringan hati,” kata Sanggana.

Putri Aninda Serunai lalu berdiri dan melangkah meninggalkan kekasihnya tercinta. Ia keluar dari rumah makan.

Kepergian Putri Aninda Serunai membuat Sukma Lentani heran.

“Hihihi! Harimau perempuannya pergi!” ucap Bocah Kuntilanak girang.

“Hei! Berdiamlah dulu, jangan buat masalah lagi. Jika kau buat masalah kepada Sanggana, maka aku yang akan menghukummu. Jadi diamlah, tunggu waktu!” Sukma Lentani memperingatkan Bocah Kuntilanak.

“Iya, aku menurut,” kata Bocah Kuntilanak seraya tersenyum lucu.

Sukma Lentani lalu bergerak mendatangi meja Sanggana dan duduk berhadapan dengan pemuda bercadar itu.

“Boleh aku temani?” tanya Sukma Lentani, meski sudah duduk.

“Silakan,” jawab Sanggana.

Sukma Lentani tersenyum manis menatap Sanggana.

“Kau sepertinya sudah sangat mengenal Aninda Serunai,” kata Sukma Lentani.

“Benar.”

“Pergi ke mana ia?” tanya Sukma Lentani.

“Ada keperluan tiba-tiba, mungkin hanya sebentar,” jawab Sanggana.

“Aku boleh bertanya?”

“Bertanyalah,” kata Sanggana seraya tersenyum memandang Sukma Lentani, dan gadis itu tahu.

Ada kesejukan tersendiri bagi Sukma Lentani ketika tahu ada senyum Sanggana di balik cadar untuknya.

“Apakah kau tidak takut menjadi kekasih sahabatku yang penuh dengan racun?”

“Saat aku memutuskan menjadi kekasihnya, wajah Aninda sangat buruk....”

“Maksudmu?” tanya Sukma Lentani memotong, tidak mengerti.

“Aku mencintai Aninda bukan lantaran parasnya, tapi karena sifatnya yang begitu baik dan mulia, sehingga keanehan apa pun yang ada dalam dirinya dapat aku terima dengan tangan terbuka.”

“Aku masih belum mengerti,” kata Sukma Lentani.

“Kau bisa menanyakan langsung kepada Aninda.”

“Aku ingin kau sendiri yang mengatakannya kepadaku.”

“Aninda hadir dalam kehidupanku pertama kali dalam wajah yang sangat buruk. Ia memakai kedok kulit dengan sangat sempurna, sehingga aku menyangka itu wajah aslinya.”

“Lalu Aninda membukanya setelah jadi kekasihmu?”

“Aku sendiri yang mengetahuinya bahwa ia mengenakan topeng. Ternyata kecantikannya sangat indah dan bersih. Kami menjadi kekasih dengan tidak saling mengenal wajah asli, sebab saat itu aku mengenakan topeng kayu.”

“Lalu apakah kau merasa tertipu dengan wajah bohong Aninda?” tanya Sukma Lentani dengan semangat.

“Aku mencintai hati dan perilakunya, bukan parasnya. Jadi, aku tidak merasa bahwa ia berbohong.”

“Aninda Serunai adalah seorang puteri raja. Apakah kau tidak khawatir bila nanti ayahnya menolakmu hanya karena kau bukan seorang pangeran?”

“Cinta adalah milik masing-masing jiwa. Kedua orang tua tidak berhak turut campur dalam masalah pilihan sang anak, kecuali menasehati. Jadi, jawabannya adalah, aku tidak takut.”

“Apakah Aninda sudah menceritakan tentang Pangeran Sageti Dewa?” tanya Sukma Lentani lagi.

“Tidak pernah.”

“Pangeran Sageti Dewa adalah pangeran sakti yang sangat tampan. Terakhir aku bertemu dengannya, ia mengatakan bahwa ia akan meminang Aninda.”

“Apa itu meminang?” tanya Sanggana.

“Kau tidak tahu arti meminang? Hei...!” kejut Sukma Lentani lalu tertawa sendiri. Lalu tanyanya lagi seraya memajukan wajahnya lebih dekat jaraknya kepada Sanggana dan berbisik, “Sungguh, kau tidak tahu maksud meminang?”

“Tidak,” jawan Sanggana apa adanya.

“Hei!” Sukma Lentani kembali menarik kepalanya ke posisi semula. “Meminang itu adalah pihak lelaki mendatangi pihak wanita untuk meminta kesediaannya hidup bersama dengan si lelaki melalui pernikahan. Pihak wanita bisa menerima atau menolak.”

“Oh...” Sanggana manggut-manggut. “Jika demikian, apa yang perlu ditakutkan?”

“Kau tidak takut jika Aninda tidak bisa menolak pinangan pangeran itu?” tanya Sukma Lentani geregetan dengan jawaban Sanggana.

“Tidak,” jawab Sanggana pasti.

Sukma Lentani akhirnya tersenyum sendiri.

“Lalu bagaimana dengan Bocah Kuntilanak?” tanya Sukma Lentani beralih topik.

“Lucu dan penuh semangat.”

“Hanya itu?”

“Ee... wajahnya bagus.”

“Bagaimana dengan cinta Bocah Kuntilanak?” tanya Sukma Lentani.

“Cinta? Aku tidak tahu bahwa dia mencintaiku, tapi itu tidak mungkin. Jangan sampai harus tersiksa hanya karena kecemburuan Aninda.”

“Bagaimana dengan aku?” tanya Sukma Lentani seraya menatap serius mata Sanggana, seolah ia tidak meu terlewat sedikit pun reaksi wajah pemuda sakti di depannya.

“Untuk paras tidak jauh berbeda dengan Aninda. Sifat dan sikap jelas berbeda jauh,” jawab Sanggana.

“Bagaimana bila aku mencintaimu?” tanya Sukma Lentani lagi tanpa merubah tatapannya.

“Mencintaiku?” ulang Sanggana seolah salah dengar.

Sukma Lentani akhirnya tertawa sendiri, lalu katanya, “Tidak, aku hanya mengujimu.”

Sanggana hanya tertawa kecil menanggapinya.

“Nanana...! Aku cinta Sanggana tampan yang mirip burung. Lalalali...!”

Tiba-tiba Bocah Kuntilanak bangun berdiri dan bernyanyi-nyanyi tidak bagus.

“Oh, masalah lagi!” keluh Legaspati.

Sambil tertawa-tawa, Bocah Kuntilanak naik ke atas meja yang masih ditempati oleh makanan. Lalu ia berkelebat kepada Sanggana.

“Sanggana lucu, aku datang...!” teriak Bocah Kuntilanak nyaring.

Degk!


“Hekh!”

(Bersambung....)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar