Ilustrasi Sukma Lentani. (Foto: dok. Gayatasi.com) |
Oleh Rudi Hendrik
Cerita sebelumnya: Misteri Gadis Buruan 3: Kuntilanak Minta Ikut
Legaspati yang
masih menggigit paha ayam goreng di mulutnya cepat berkelebat menyusul tubuh
Bocah Kuntilanak ke luar. Ia menemukan gadis itu terkapar di tanah kesakitan.
Bocah Kuntilanak bergerak bangun seraya meringis kesakitan. Dagunya sudah
dilumuri darah kental. Berdiri pun agak sempoyongan, tapi tetap saja ia
tertawa-tawa kecil.
“Sudah aku katakan,
tidak usah ikut. Kau bisa mampus jika terus mengganggu Sanggana!” kata
Legaspati setengah mengomel.
“Hihihi! Tapi aku
suka,” kata Bocah Kuntilanak.
“Sinting!” rutuk
Legaspati mendengar jawaban itu. “Jadi kau tetap mau ikut dengan mereka?”
“Iya.”
“Weeaaalaaah ini
bocah, benar-benar mau mampus!” ratap Legaspati.
Bocah Kuntilanak
berjalan ke pintu rumah makan dan bergerak masuk seraya tetap senyum-senyum.
Sebelum gadis itu melakukan sesuatu, Sukma Lentani segera menghampirinya.
“Hei! Sudah, lain
waktu lagi kau mengganggu Sanggana, nanti jika kau sudah sehat kembali,” kata
Sukma Lentani sambil menuntun Bocah kuntilanak ke meja Nenek Lewang dan
Brakantani berada. “Biar ku obati kau.”
“Gadis yang lucu
tapi menyebalkan aku,” kata Putri Aninda Serunai datar kepada Sanggana. “Kau
pasti senang padanya.”
Sanggana hanya
tertawa kecil seperti bergumam tapi enak didengar. Lalu katanya, “Kuntilanak
memang lucu, tapi membuatku kesal juga. Siapa yang tidak kesal kalau dirinya
dianggap mainan lucu?”
“Bukankah indah
rasanya bila memiliki kekasih yang cantik bersih yang bisa membuat kita tertawa
bahagia setiap hari?” bisik Putri Aninda Serunai.
“Jangan suka
menggodaku. Jika aku sampai tergoda, kau bisa rasa akibatnya,” bisi Sanggana
pula.
“Apa yang akan kau
perbuat padaku?” tanya Putri Aninda Serunai.
“Mencium bibirmu,
lalu aku mati keracunan,” kata Sanggana.
“Kakak!” ucap Putri Aninda Serunai malu tapi jarinya mencubit paha kekasihnya itu.
Sanggana hanya
tertawa kecil, membuat Putri Aninda Serunai tertunduk malu, tersenyum malu di
balik cadarnya.
Sukma Lentani yang
baru saja selesai mengobati luka Bocah Kuntilanak, hanya bisa tersenyum sendiri
memandangi sepasang kekasih itu.
“Apa yang kau
senyumkan, Lentani?” tanya Nenek Lewang.
“Eh, tidak apa-apa,
Nek. Aku hanya sedikit berkhayal. Andai saja aku adalah Aninda, mungkin aku
adalah gadis terbahagia di jagad raya ini,” jawab Sukma Lentani.
“Kau menyukai
Sanggana juga, seperti halnya Bocah Kuntilanak?” tanya Legaspati.
Sukma Lentani tertawa kecil,
lalu katanya, “Mana mungkin aku mencintai kekasih sahabat tersayangku?”
“Mungkin,” ucap Legaspati
lalu melanjutkan makannya.
Sukma Lentani kembali
memandang Sanggana dan Putri Aninda Serunai yang tampak begitu mesra dengan
senyuman dan tawa-tawa kecil di balik cadarnya.
“Sukma Lentani memandangi
kita,” kata Sanggana kepada Putri Aninda Serunai.
Putri Aninda Serunai
memandang kepada Sukma Lentani, sehingga sepasang mata kedua gadis jelita
sahabat dekat itu saling bertemu pandang. Sukma Lentani hanya lemparkan senyum
manis kepada sahabatnya tersebut. Putri pun balas tersenyum di balik cadarnya. Sukma Lentani bisa melihat senyum itu sebab ia memiliki ilmu Kupas Tabir yang bisa melihat tembus sesuatu di balik benda tipis.
Sukma pun tahu bahwa Sanggana memiliki paras yang sangat tampan di balik
cadarnya.
“Mungkin ia
memikirkan kekasihnya,” duga Putri Aninda Serunai.
“Apakah kau tidak
curiga kepadanya?” tanya Sanggana.
“Aku kenal Sukma
Lentani sejak kecil. Sifatnya tidak berubah hingga sekarang,” kata Putri Aninda
Serunai.
Tiba-tiba Sanggana
mencium aroma bunga mawar yang begitu tajam menusuk hidung. Hal yang sama juga
dirasakan oleh Putri Aninda Serunai. Anehnya, aroma tajam itu hanya diciumi
oleh keduanya, orang lain yang ada di rumah makan itu tidak merasakan sedikit
pun.
“Siapa yang
menebarkan wangi mawar setajam ini? Aroma wangi tubuhmu tidak setajam ini,
Aninda,” kata Sanggana.
“Ini panggilan
untukku, Kakak,” jawab Putri Aninda Serunai.
“Maksudmu?”
Sanggana tidak mengerti.
“Aroma mawar
seperti ini adalah aroma mawar yang dikirim khusus oleh Pengawal Bayang Mawar.
Pasti ada keperluan penting yang ingin disampaikan kepadaku dari kerajaan.
Untuk itu aku harus meninggalkan Kakak sebentar. Namun, jika Kakak tidak
mengizinkan, aku tidak akan pergi menemui utusan Ayah. Bukankan calon isteri
harus patuh pada calon suami?” ujar Putri Aninda Serunai.
“Namun, aku belum
menjadi suamimu, maka itu belum berhak mencegahmu. Pergilah dan tinggalkan aku.
Aku tidak akan marah sedikit pun,” kata Sanggana lembut.
“Aku usahakan tidak
akan lama,” kata Putri Aninda Serunai.
“Pergilah dengan
ringan hati,” kata Sanggana.
Putri Aninda
Serunai lalu berdiri dan melangkah meninggalkan kekasihnya tercinta. Ia keluar
dari rumah makan.
Kepergian Putri
Aninda Serunai membuat Sukma Lentani heran.
“Hihihi! Harimau
perempuannya pergi!” ucap Bocah Kuntilanak girang.
“Hei! Berdiamlah
dulu, jangan buat masalah lagi. Jika kau buat masalah kepada Sanggana, maka aku
yang akan menghukummu. Jadi diamlah, tunggu waktu!” Sukma Lentani
memperingatkan Bocah Kuntilanak.
“Iya, aku menurut,”
kata Bocah Kuntilanak seraya tersenyum lucu.
Sukma Lentani lalu
bergerak mendatangi meja Sanggana dan duduk berhadapan dengan pemuda bercadar
itu.
“Boleh aku temani?”
tanya Sukma Lentani, meski sudah duduk.
“Silakan,” jawab
Sanggana.
Sukma Lentani
tersenyum manis menatap Sanggana.
“Kau sepertinya
sudah sangat mengenal Aninda Serunai,” kata Sukma Lentani.
“Benar.”
“Pergi ke mana ia?”
tanya Sukma Lentani.
“Ada keperluan
tiba-tiba, mungkin hanya sebentar,” jawab Sanggana.
“Aku boleh
bertanya?”
“Bertanyalah,” kata
Sanggana seraya tersenyum memandang Sukma Lentani, dan gadis itu tahu.
Ada kesejukan
tersendiri bagi Sukma Lentani ketika tahu ada senyum Sanggana di balik cadar
untuknya.
“Apakah kau tidak
takut menjadi kekasih sahabatku yang penuh dengan racun?”
“Saat aku
memutuskan menjadi kekasihnya, wajah Aninda sangat buruk....”
“Maksudmu?” tanya
Sukma Lentani memotong, tidak mengerti.
“Aku mencintai
Aninda bukan lantaran parasnya, tapi karena sifatnya yang begitu baik dan
mulia, sehingga keanehan apa pun yang ada dalam dirinya dapat aku terima dengan
tangan terbuka.”
“Aku masih belum
mengerti,” kata Sukma Lentani.
“Kau bisa
menanyakan langsung kepada Aninda.”
“Aku ingin kau
sendiri yang mengatakannya kepadaku.”
“Aninda hadir dalam
kehidupanku pertama kali dalam wajah yang sangat buruk. Ia memakai kedok kulit
dengan sangat sempurna, sehingga aku menyangka itu wajah aslinya.”
“Lalu Aninda
membukanya setelah jadi kekasihmu?”
“Aku sendiri yang
mengetahuinya bahwa ia mengenakan topeng. Ternyata kecantikannya sangat indah
dan bersih. Kami menjadi kekasih dengan tidak saling mengenal wajah asli, sebab
saat itu aku mengenakan topeng kayu.”
“Lalu apakah kau
merasa tertipu dengan wajah bohong Aninda?” tanya Sukma Lentani dengan
semangat.
“Aku mencintai hati
dan perilakunya, bukan parasnya. Jadi, aku tidak merasa bahwa ia berbohong.”
“Aninda Serunai
adalah seorang puteri raja. Apakah kau tidak khawatir bila nanti ayahnya
menolakmu hanya karena kau bukan seorang pangeran?”
“Cinta adalah milik
masing-masing jiwa. Kedua orang tua tidak berhak turut campur dalam masalah
pilihan sang anak, kecuali menasehati. Jadi, jawabannya adalah, aku tidak
takut.”
“Apakah Aninda
sudah menceritakan tentang Pangeran Sageti Dewa?” tanya Sukma Lentani lagi.
“Tidak pernah.”
“Pangeran Sageti
Dewa adalah pangeran sakti yang sangat tampan. Terakhir aku bertemu dengannya,
ia mengatakan bahwa ia akan meminang Aninda.”
“Apa itu meminang?”
tanya Sanggana.
“Kau tidak tahu
arti meminang? Hei...!” kejut Sukma Lentani lalu tertawa sendiri. Lalu tanyanya
lagi seraya memajukan wajahnya lebih dekat jaraknya kepada Sanggana dan
berbisik, “Sungguh, kau tidak tahu maksud meminang?”
“Tidak,” jawan
Sanggana apa adanya.
“Hei!” Sukma
Lentani kembali menarik kepalanya ke posisi semula. “Meminang itu adalah pihak
lelaki mendatangi pihak wanita untuk meminta kesediaannya hidup bersama dengan
si lelaki melalui pernikahan. Pihak wanita bisa menerima atau menolak.”
“Oh...” Sanggana
manggut-manggut. “Jika demikian, apa yang perlu ditakutkan?”
“Kau tidak takut jika
Aninda tidak bisa menolak pinangan pangeran itu?” tanya Sukma Lentani geregetan
dengan jawaban Sanggana.
“Tidak,” jawab
Sanggana pasti.
Sukma Lentani
akhirnya tersenyum sendiri.
“Lalu bagaimana
dengan Bocah Kuntilanak?” tanya Sukma Lentani beralih topik.
“Lucu dan penuh
semangat.”
“Hanya itu?”
“Ee... wajahnya
bagus.”
“Bagaimana dengan
cinta Bocah Kuntilanak?” tanya Sukma Lentani.
“Cinta? Aku tidak
tahu bahwa dia mencintaiku, tapi itu tidak mungkin. Jangan sampai harus
tersiksa hanya karena kecemburuan Aninda.”
“Bagaimana dengan
aku?” tanya Sukma Lentani seraya menatap serius mata Sanggana, seolah ia tidak
meu terlewat sedikit pun reaksi wajah pemuda sakti di depannya.
“Untuk paras tidak
jauh berbeda dengan Aninda. Sifat dan sikap jelas berbeda jauh,” jawab
Sanggana.
“Bagaimana bila aku
mencintaimu?” tanya Sukma Lentani lagi tanpa merubah tatapannya.
“Mencintaiku?”
ulang Sanggana seolah salah dengar.
Sukma Lentani
akhirnya tertawa sendiri, lalu katanya, “Tidak, aku hanya mengujimu.”
Sanggana hanya
tertawa kecil menanggapinya.
“Nanana...! Aku
cinta Sanggana tampan yang mirip burung. Lalalali...!”
Tiba-tiba Bocah
Kuntilanak bangun berdiri dan bernyanyi-nyanyi tidak bagus.
“Oh, masalah lagi!”
keluh Legaspati.
Sambil
tertawa-tawa, Bocah Kuntilanak naik ke atas meja yang masih ditempati oleh
makanan. Lalu ia berkelebat kepada Sanggana.
“Sanggana lucu, aku
datang...!” teriak Bocah Kuntilanak nyaring.
Degk!
“Hekh!”
(Bersambung....)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar