Jumat, 23 Desember 2016

ECOWAS Kirim Pasukan Jika Presiden Gambia Tidak Mau Turun Jabatan

Presiden Gambia Yahya Jammeh diharuskan turun jabatan pada 19 Januari 2017. 
Bamako, Mali, 24 Rabi’ul Awwal 1438 --- Para pemimpin Afrika Barat akan mengirim pasukan ke Gambia jika penguasa lama Presiden Yahya Jammeh yang kalah pemilu tidak mau turun dari jabatannya bulan depan.

Senin, 19 Desember 2016

Raja Oyo Sebarkan 400 Duta Muda AIDS

Raja Oyo Nyimba Kabamba Iguru Rukidi IV. (Foto: Red Pepper)
Raja Oyo dari Kerajaan Tooro telah menugaskan tim 400 pemuda sebagai Duta AIDS yang akan beroperasi di daerah kerajaan Kyaka di distrik Kyegegwa, Uganda.

Oposisi: Presiden Jammeh Jadi “Pemimpin Pemberontak” Jika Tidak Mau Lengser

Presiden Gambia Yahya Jammeh
Banjul, 19 Rabi’ul Awwal 1438/19 Desember 2016

Juru bicara koalisi oposisi Gambia mengatakan bahwa Presiden Yahya Jammeh efektif akan menjadi "pemimpin pemberontak" jika ia tidak mau lengser dari jabatannya di akhir mandatnya pada bulan Januari 2017.

Asal Usul Kerajaan Nri di Negeri Igbo

Ilustrasi
Kerajaan Nri dianggap sebagai pusat kebudayaan suku Igbo. Nri dan Aguleri adalah asal penciptaan mitos Umueri-Igbo yang berada di wilayah klan Umu-Eri, yang garis keturunannya kembali ke patriarkal figur raja Eri.

Yahya Jammeh, Presiden Gambia Penjaga “Tauhid”

Presiden Gambia Yahya Jammeh. (AFP)
Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)


Presiden Gambia Yahya Jammeh adalah pria kelahiran 25 Mei 1965 di desa Kanilai, selatan Gambia. Nama lengkapnya Yahya Abdul-Aziz Jemus Junkung Jammeh. Sebagian kalangan mengenalnya sebagai pemimpin “tangan besi”, tapi ia juga presiden yang tidak sungkan melontarkan kalimat-kalimat yang bermakna “tauhid”.

Minggu, 18 Desember 2016

Para Pemimpin Afrika Dukung Adama Barrow Presiden Baru Gambia

Presiden Gambia terpilih Adama Barrow.
Para pemimpin Afrika Barat telah mengumumkan mereka akan melakukan perjalanan kembali ke Gambia pada Januari 2017 untuk peresmian Adama Barrow sebagai presiden, meskipun presiden incumbent Yahya Jammeh mencoba mempertahankan kekuasaannya.

Sabtu, 10 Desember 2016

Senegal Serukan Temu Darurat DK PBB Terkait Pemilu Gambia

Menteri Luar Negeri Senegal Mankeur Ndiaye.
Pemerintah Senegal pada Sabtu (10/12) menyerukan pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB setelah Presiden Gambia Yahya Jammeh menolak kekalahannya di pemilihan presiden 1 Desember lalu.

Presiden Gambia Tolak Kekalahan Pemilu, Rakyat Khawatir

Presiden Gambia Yahya Jammeh (kiri) dan Presiden terpilih Adama Barrow. 
Presiden Gambia Yahya Jammeh pada Jumat secara mengejutkan mengatakan bahwa ia menolak hasil pemilihan presiden pekan lalu yang mengalahkannya.

Senin, 07 November 2016

25 Tentara Tewas dalam Pertempuran Dua Kubu Saingan di Somalia


Komandan dari Puntland, Jumale Jama Taka. (Foto: dok. Garowe Online)
Setidaknya 25 tentara tewas dalam pertempuran akhir pekan antara pasukan saingan daerah Puntland dan Galmudug di kota Galkayo, Somalia.

Jumat, 04 November 2016

Kenya Deportasi Paksa Juru Bicara Oposisi Sudan Selatan

James Gatdet, Juru Bicara pemimpin oposisi Sudan Selatan Riek Machar (Foto: East Africa Daily)
Pemerintah Kenya mendeportasi seorang juru bicara oposisi bersenjata Sudan Selatan, James Gatdet Dak, pulang ke negaranya yang dilanda perang.

Sabtu, 22 Oktober 2016

Afrika Selatan Akan Keluar dari ICC

Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma (tengah).
Afrika Selatan berencana menarik diri dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) karena menganggap kewajibannya tidak sesuai dengan undang-undang yang memberikan pemimpin negara kekebalan diplomatik.

Dikutip dari MINA, Menteri Kehakiman Afrika Selatan Michael Masutha mengatakan pada Jumat (21/10) bahwa pemerintah akan segera mengajukan RUU di parlemen untuk menarik diri dari pengadilan di Den Haag tersebut.

Langkah itu diambil di saat beberapa negara Afrika mengungkapkan keprihatinannya atas apa yang mereka sebut penargetan yang tidak proporsional oleh ICC terhadap benua Afrika.

Masutha mengatakan, RUU akan mengusulkan bahwa Afrika Selatan mencabut Statuta Roma, karena undang-undang ICC "bertentangan dan tidak konsisten dengan" hukum kekebalan diplomatik negara itu.

"Ini sebuah pilihan sulit yang harus dibuat," kata Masutha kepada wartawan di ibukota Pretoria.

Tahun lalu, Afrika Selatan mengatakan akan meninggalkan ICC setelah menghadapi kritik karena tidak menangkap Presiden Sudan Omar Al-Bashir ketika mengunjungi negara itu.

Presiden Bashir telah dituduh melakukan genosida dan kejahatan perang, tapi ia telah membantah tuduhan itu.

"Para pejabat di sini mengatakan ICC tidak adil karena menargetkan pemerintah dan pemimpin Afrika," kata wartawan Al Jazeera Haru Mutasa di Johannesburg.

Sebuah dokumen yang dilihat oleh Reuters di PBB pada Kamis (20/10) menunjukkan bahwa langkah tersebut akan berlaku selama satu tahun setelah pemberitahuan secara resmi diterima oleh Sekretaris Jenderal Ban Ki-moon.

Dokumen pengajuan itu tertanggal 19 Oktober 2016 yang ditandatangani oleh Menteri Hubungan dan Kerja Sama Internasional Afrika Selatan Maite Nkoana-Mashabane.

ICC yang dibuka pada bulan Juli 2002 dan memiliki 124 negara anggota, adalah badan hukum pertama dengan yurisdiksi internasional permanen untuk mengadili pelaku kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.

Negara Afrika lain, Burundi, tampaknya akan menjadi negara pertama yang menarik diri dari Statuta Roma, perjanjian 1998 untuk pembentukan pengadilan dunia.

Presiden Burundi Pierre Nkurunziza menandatangani sebuah dekrit pada Selasa (18/10), tapi PBB belum secara resmi diberi tahu.

Negara-negara Afrika lainnya juga mengancam akan melakukan penarikan, karena mereka menuduh pengadilan tidak proporsional terhadap negara-negara benua itu.

"Mereka ingin ICC memperluas jangkauannya dan mungkin menargetkan pemimpin dari Amerika Serikat dan Eropa," tambah Mutasa. 

Upaya Kudeta di Burkina Faso Gagal

Jenderal Gilbert Diendere
Para pejabat keamanan di Burkina Faso mengatakan bahwa mereka telah berhasil menggagalkan rencana kudeta.

Dikutip dari MINA, rencana kudeta disalahkan kepada mantan pengawal kepresidenan di negara Afrika Barat itu. 

Pemerintah mengatakan pada Jumat (21/10) bahwa telah digagalkan "konspirasi besar" untuk merebut kekuasaan dari pasukan yang setia kepada pemimpin Blaise Compaore yang pernah digulingkan yang bertujuan untuk merebut kekuasaan.

Menteri Dalam Negeri Simon Compaore mengatakan, sekitar 30 orang dari unit keamanan mantan presiden berencana membebaskan tahanan yang merupakan bagian dari upaya kudeta September 2015 lalu yang kemudian berencana menyerang istana presiden.

Sebuah situs berita lokal Koaci.com mengutip Menteri Compaore yang mengatakan komplotan kudeta juga bermaksud menargetkan markas gendarmerie di ibukota, Ouagadougou.

Menurut Menteri, kudeta itu direncanakan pada 8 Oktober dan menyerukan penahanan terhadap pejabat tertentu.

Mereka juga diduga akan menciptakan pemberontakan di dalam barak militer dan meluncurkan pemberontakan menggunakan media sosial. Sedikitnya 10 orang telah ditangkap.

Kementerian Keamanan mengatakan, upaya kudeta terbaru digagalkan setelah dua mantan pengawal presiden tewas ketika mencoba masuk ke ibukota.

Blaise Compaore dipaksa turun dari kekuasaannya pada bulan Oktober 2014 setelah terjadi pemberontakan rakyat terhadap upaya untuk mengubah konstitusi agar dirinya tetap menjabat sebagai presiden.

Upaya kudeta juga pernah terjadi pada September 2015 oleh pasukan pengawal presiden yang setia kepada Blaise Compaore.

Resimen Keamanan Presiden (RSP) merebut kekuasaan presiden dan perdana menteri, dan menyatakan Dewan Nasional untuk Demokrasi sebagai pemerintah nasional yang baru.

Namun, pada 22 September 2015, pemimpin kudeta, Jenderal Gilbert Diendere, meminta maaf dan berjanji untuk mengembalikan pemerintahan sipil.

Pada 23 September 2015, perdana menteri dan presiden sementara dikembalikan ke kekuasaan. 

Kamis, 23 Juni 2016

Hampir 200 Pengungsi Nigeria Mati Kelaparan

Relawan kemanusiaan medis Dokter Lintas Batas (MSF) mengatakan, dalam sebulan terakhir, hampir 200 pengungsi yang menyelamatkan diri dari serangan kelompok Boko Haram, telah meninggal karena kelaparan dan dehidrasi di kamp di kota Bama, timur laut Nigeria.

Menurut pernyataan lembaga medis dunia itu pada Rabu (22/6), para pengungsi berbicara tentang anak-anak yang mati kelaparan dan mereka menggali kuburan baru setiap hari.

Dikutip MirajNews.com/id, MSF mengatakan, sebuah kondisi "darurat bencana kemanusiaan" berlangsung di sebuah kamp darurat di sebuah kompleks rumah sakit, tempat 24.000 orang telah mengungsi.

Para dokter menyebut 16 anak kurus berisiko meninggal. MSF menemukan, satu dari lima, dari 15.000 anak yang menderita kekurangan gizi akut.

"Kami melihat trauma pada wajah pasien kami yang telah menyaksikan dan selamat dari banyak kengerian," kata Ghada Hatim, Kepala MSF misi di Nigeria.

Timnya mencapai Bama pada Selasa (21/6) setelah konvoi militer berangkat dari Maiduguri, ibukota negara bagian Borno yang merupakan markas militer Nigeria.

Meskipun Bama hanya berjarak 70km arah tenggara dari Maiduguri, bentrokan yang sedang berlangsung antara pemberontak dan pasukan pemerintah membuat perjalanan tidak aman.

Dr Christopher Mampula dari MSF menjelaskan melalui telepon dari Paris, kondisi rawan itu membuat petani tidak menanam tanaman selama 18 bulan.

Militan Boko Haram sering menyerang dengan membakar rumah-rumah dan menghancurkan sumur milik penduduk di daerah yang suhunya sering di atas 40 derajat.

Kelompok bersenjata merebut Bama pada bulan September 2014 dan tentara Nigeria merebutnya kembali pada Maret 2015.

Menurut PBB, pengungsi di Bama berjumlah sekitar 1,8 juta warga Nigeria yang terpaksa meninggalkan rumahnya dan tinggal di dalam negeri. Sementara 155.000 lainnya berada di negara-negara tetangga.

Rabu, 08 Juni 2016

PBB: Pemerintah Eritrea Lakukan Kejahatan Kemanusiaan

Program wajib militer di Eritrea memamfaatkan tentara untuk bekerja kasar seperti "budak". (Hrc-eritrea.org)
PBB pada Rabu (7/6) mengatakan, pemerintah Eritrea telah bersalah dengan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan sejak kemerdekaan seperempat abad yang lalu sampai dengan “memperbudak” 400.000 orang.

Komisi Penyelidikan PBB (COI) tentang HAM mengungkapkan, kejahatan yang dilakukan sejak tahun 1991 termasuk memenjarakan, penghilangan paksa, pembunuhan di luar hukum, pemerkosaan dan pembunuhan. kerja paksa wajib militer juga merupakan masalah besar di negara itu.

"Kami berpikir bahwa ada 300.000 sampai 400.000 orang yang telah diperbudak," kata Kepala Penyidik ​​PBB Mike Smith kepada wartawan di Jenewa.

Berdasarkan bukti yang dikumpulkan oleh penyelidikan PBB, pemerintah Eritrea juga menerapkan kebijakan tembak mati di tempat untuk menghentikan orang-orang yang melarikan diri dari negara itu.

Sekitar 5.000 warga Eritrea mempertaruhkan hidup mereka setiap bulan untuk melarikan diri negara yang menerapkan secara paksa wajib militer puluhan tahun.

"Sangat sedikit warga Eritrea yang pernah dibebaskan dari kewajiban militernya," kata Smith.

Menteri Informasi Eritrea Yemane Meskel mengecam temuan PBB di Twitter.

Seorang saksi mengatakan bahwa wajib militer Angkatan Udara dibuat untuk bekerja di perkebunan milik kepala Angkatan Udara. Para personil wajib militer tidak dibayar dan dikirim ke fasilitas penahanan jika mereka menolak untuk bekerja.

Komisi Penyelidikan mengatakan, tindakan itu dilakukan untuk menakut-nakuti dan mengendalikan penduduk sipil dan menghancurkan pihak oposisi.

Komisi Penyelidikan mengungkapkan bahwa masyarakat internasional dan Mahkamah Pidana Internasional terlibat.

"Kejahatan terhadap kemanusiaan telah dilakukan secara meluas dan sistematis di fasilitas penahanan Eritrea, kamp-kamp pelatihan militer dan lokasi lainnya di seluruh negeri selama 25 tahun terakhir," kata Komisi PBB.

Menurut Komisi, oknim tertentu seperti para pejabat negara di tingkat tertinggi, partai yang berkuasa (Front Rakyat untuk Demokrasi dan Keadilan) dan perwira komandan bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan itu.

Pada 1991, perpecahan antara Ethiopia dan Eritrea diikuti perang kemerdekaan selama tiga dekade. Pemberontak Eritrea berjuang jauh lebih baik melawan pasukan Ethiopia yang didukung pertama oleh Washington dan kemudian oleh Uni Soviet.

Menurut Reporter Lintas Batas, negara ini menduduki peringkat di bawah Korea Utara sebagai yang terburuk di dunia untuk kebebasan pers.

Menurut Bank Dunia, dengan per kapita per tahun pendapatan nasional bruto sebesar $ 480, Eritrea adalah salah satu negara termiskin di dunia.