Selasa, 31 Mei 2016

Mantan Presiden Chad Dihukum Seumur Hidup Karena Kejahatan Perang



Mantan Presiden Chad Hissene Habre telah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena "kejahatan terhadap kemanusiaan" dan "kejahatan perang" yang dilakukan selama menjabat pada 1982 - 1990.

Sebuah pengadilan khusus yang didukung oleh Uni Afrika mengumumkan vonis itu di ibukota Senegal, Dakar, Senin (30/5).

Dikutip dari MirajNews.com/id, selama persidangan, Habre berulang kali menolak menerima legitimasi dari Extraordinary African Chamber, pengadilan khusus yang dibentuk untuk mengadili mantan diktator Chad tersebut.

Selama sidang pertamanya pada 20 Juli 2015, Habre telah berteriak, "Ini bukan pengadilan, ini lelucon!"
Menurutnya, ia adalah korban dari "neokolonialisme".

Pengadilan juga membuktikan dia bersalah melakukan pemerkosaan, penyiksaan dan perbudakan seksual.
Ratusan orang, termasuk pendukung dan korban kejahatan Habre turut menghadiri persidangan.

Habre adalah presiden ketujuh Cha  yang memerintah negara Afrika tengah itu dengan tangan besi pada 1982-1990, hingga digulingkan oleh Idriss Deby, Presiden Chad saat ini.

Dalam seperempat abad sejak penggulingannya, Habre telah tinggal di pengasingannya di Senegal.

Selama 19 bulan penyelidikan, pihak berwenang Senegal bekerja sama dengan Uni Afrika mendakwa Habre pada pertengahan 2013, karena kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dakwaan itu menempatkan dia di bawah penahanan sementara.

Mantan penguasa militer itu telah menggulingkan Presiden Goukouni Oueddei pada tahun 1982.
Menurut kelompok HAM Chad dan internasional, Habre bertanggung jawab atas kematian sekitar 40.000 orang.

Senin, 30 Mei 2016

Misteri Gadis Buruan 7: Perangkap Rumah Kayu

Ilustrasi Wulangkelam. (Foto: Amrita Rao/Abplive.in)


Pemuda berpakaian putih ini sudah mendapat tiga ekor ikan hasil tombakannya. Ia berwajah tampan berambut pendek. Kepalanya dibalut rapih dengan kain merah. Alis matanya tebal. Sabuknya kuning. Ia bernama Anadoyo. Di tangan kanannya tergenggam tombak bambu kecil. Tangan kirinya memegang keranjang ikan yang sudah terisi tiga ekor ikan ukuran sedang.

Anadoyo berhenti bekerja ketika ia mendengar suara derap rombongan kaki kuda mendekati sungai kecil itu. Tidak jauh dari sungai memang ada jalan cukup lebar. Anadoyo segera berkelebat naik ke pinggir sungai lalu bersembunyi di balik pohon.

Ternyata dugaan Anadoyo benar adanya. Dari ujung jalan muncul rombongan kuda yang ditunggangi oleh para lelaki yang sebagian besar berpenampilan sebagai prajurit dan sisanya berpakaian pendekar. Satu orang berpakaian lebih bagus dengan hiasan tubuh seperti pembesar kerajaan. Sepertinya orang itulah pemimpin rombongan. Jumlah mereka sekitar 30-an kuda.

Anadoyo secara diam-diam melesat pergi dari persembunyiannya. Kepergian Anadoyo membuat pemimpin rombongan menoleh memandang ke arah pohon yang tadi dipakai berlindung pemuda itu. Pemimpin rombongan merasakan kepergian Anadoyo walaupun tidak melihat sosoknya.

“Rupanya ada orang yang baru saja mengintai kita,” kata lelaki berambut putih panjang itu. Meski rambutnya putih semua, tapi usianya baru 48 tahun. Ada pedang berwarangka bagus menggantung di pinggang kirinya. Ia adalah Rembung Seta yang berpangkat sebagai Panglima Kerajaan Seringgis.

“Apakah harus kami kejar, Panglima?” tanya pemuda yang berpakaian semaunya, sehingga terlihat sangat tidak rapih. Namanya Batikuma. Ia membawa senjata berupa parang.

“Tidak usah, sepertinya ia sudah ada di sini sebelum kita tiba,” kata Rembung Seta.

Anadoyo terus berkelebat cepat hingga berhenti di depan sebuah pintu yang tertutup rapat dari sebuah bangunan kayu yang besar. Bangunan itu besar karena luas. Bila dilihat dari langit, maka akan terlihat bangunan kayu itu berbentuk seperti gelang besar yang di tengah-tengahnya tanah kosong yang cukup luas. Bangunan unik itu memiliki banyak pintu yang semuanya tertutup. Jarak antarpintu cukup berjauhan. Setiap pintu memiliki tulisan. Seperti halnya pintu di depan Anadoyo yang bertuliskan “pintu damai”.

Anadoyo lebih duluh menengok ke belakang, khawatir jika ada yang melihatnya. Setelah memastikan tidak ada orang yang melihatnya, Anadoyo menendang bagian bawah pintu. Pintu itu pun terbuka. Anadoyo segera masuk dan menutup kembali pintunya. 

Kini Anadoyo berada di sebuah lorong yang cukup lebar. Namun, Anadoyo tidak berjalan biasa, langkahnya melakukan pola khusus, karena memang demikian syarat untuk berjalan di lorong itu jika tak mau celaka.

Sekeluar dari lorong, Anadoyo berjalan menyusuri koridor pinggir lapangan di tegah bangunan itu. Koridor itu jalurnya pun melingkar sepanjang pinggir lapangan. Di sisi kiri adalah dinding papan tebal yang pada jarak tertentu memiliki pintu yang tertutup. Di sisi kanan adalah tanah kosong.

Tok tok tok!

Anadoyo mengetuk sebuah pintu ketika dia berhenti.

“Masuklah!” suruh seseorang yang berada di dalam ruangan.

Pintu dibuka dari dalam. Anadoyo melangkah masuk. Di ruangan itu hanya ada dua kursi yang saling berhadapan dan ditengahi oleh sebuah meja kayu. Dinding ruangan yang tebal bercorak kotak-kotak dan di sisi lain ada pintu lain yang tertutup. Di ruangan itu duduk dua lelaki.

Lelaki pertama sudah tua berambut panjang terurai. Jenggotnya yang masih hitam, panjangnya sedada. Matanya agak sipit lagi cekung. Pakaiannya hijau dilapisi jubah putih tipis transparan. Di pangkuannya bersandar sebuah tongkat panjang setebal kelingking tangan berwarna merah. Ia tidak lain adalah Robenta yang bergelar Pendekar Tongkat Merah, salah seorang murid tokoh sakti bernama Dewi Mata Hati. Robenta adalah tamu di tempat itu.

Orang kedua adalah seorang lelaki separuh baya berkumis melintang dan berjenggot model jenggot kambing. Berpakaian putih yang memiliki tepian warna merah. Sabuk pakaiannya yang berwarna cokelat dihiasi logam-logam pipih bulat. Rambutnya yang sepunggung diikat dengan kain merah. Ia bernama Lembu Anobrak, pemilik bangunan kayu itu.

“Ada apa, Anadoyo?” tanya Lembu Anobrak yang tadi membukakan pintu.

“Aku melihat ada pasukan prajurit berkuda di daerah sungai. Aku khawatir mereka adalah prajurit-prajurit Seringgis,” jawab Anadoyo.

“Apa warna pakaian prajuritnya?” tanya Robenta.

“Prajurit biasa menggunakan rompi biru dan lainnya berpakaian pendekar,” jawab Anadoyo.

“Benar, mereka prajurit-prajurit Seringgis. Mereka sudah tahu, kita harus berangkat sekarang juga ke tempat guruku,” kata Robenta.

“Aku tidak ikut. Aku harus menjaga rumahku agar tidak dirusak orang asing,” kata Lembu Anobrak. “Ikannya kau simpankan saja untukku, Anadoyo. Kau temani Robenta.”

Anadoyo hanya mengangguk. Robenta pun berdiri. Lembu Anobrak ikut bangun.

“Apakah kau akan baik-baik saja bila para prajurit itu menyerbu tempat ini?” tanya Robenta.

“Hahaha! Kau mulai meragukanku, Robenta,” kata Lembu Anobrak yang didahului dengan tawa kecilnya dan diikuti oleh tawa Robenta.

Mereka keluar. Anadoyo pergi ke arah lain membawa ikannya. Sementara kedua orang tua itu pergi masuk ke sebuah ruangan lain yang cukup besar.

Di sudut ruangan terdapat sebuah pembaringan kayu jati berrtilam empuk dengan kelambu transparan berwarna merah. Salah satu dinding dilapisi tirai hijau tebal dan besar berhias sulaman perak bermotif kembang-kembang. Ada meja kayu bundar yang dikelilingi empat kursi. Lantai ruangan dibuat dari anyaman kulit bambu.

“Wulangkelam!” panggil Robenta sambil duduk di kursi.

Sebentar kemudian, tirai hijau disingkap dari baliknya. Dari balik tirai itu keluar seorang wanita muda yang kemudian mendatangi Robenta dengan kepala menunduk, seolah ingin menyembunyikan wajahnya yang sebagian sudah tertutupi oleh rambut panjangnya yang terurai lepas. Ia mengenakan pakaian kuning yang dilapisi jubah hijau kecil.

Akhirnya wanita itu mengangkat wajahnya. Tampaklah wajah putih manis dengan bentuk mata agak lebar berbulu lentik. Mata itulah yang memiliki peran besar mempercantik wajah bulatnya. Wajahnya seperti gadis Hindi. Ialah Wulangkelam.

“Ada apa, Ayahanda?” tanya Wulangkelam.

“Pasukan Seringgis sepertinya sudah tahu keberadaanmu. Siapkan apa-apa yang mau kau bawa,” kata Robenta yang disebut “Ayahanda” oleh Wulangkelam.

Wulangkelam adalah anak tunggal Robenta yang hilang 17 tahun yang lalu. Berkat bantuan Lembu Anobrak, Wulangkelam dapat terawat baik di tempat itu. Dan Robenta tahu tentang keberadaan anaknya tersebut sejak sebulan yang lalu dari Lembu Anobrak sendiri. Adapun orang yang tahu bahwa Wulangkelam adalah anak dari Robenta hanya beberapa orang saja.

Wulangkelam segera masuk ke balik tirai hijau. Sebentar kemudian ia kembali keluar tanpa membawa apa-apa, kecuali seuntai kalung emas di lehernya yang berbandul bintang bermata tujuh.

“Ayo kita pergi, Ayahanda!” ajak Wulangkelam.

Ketiganya pun beranjak keluar. Dari arah lain muncul Anadoyo yang sudah rapih dengan membawa senjata berupa tombak besi pendek.

“Anadoyo, bawa Robenta lewat jalan bawah!” perintah Lembu Anobrak.

“Mari,” ajak Anadoyo lalu berjalan duluan menuju tengah lapangan.

Robenta dan Wulangkelam mengikuti Anadoyo. Sementara Lembu Anobrak tetap berdiri di tempatnya, hanya mengikuti kepergian mereka dengan pandangan mata.

Setibanya di tengah lapangan, Anadoyo membuka sebuah pintu yang tertutupi oleh lapisan tanah dan rumput. Maka terlihatlah sebuah lubang gelap dan sebuah tangga batu menuju ke bawah. Robenta turun lebih dulu yang kemudian disusul oleh Wulangkelam dan Anadoyo. Si pemuda menyalakan sebuah suluh yang sudah tersedia di dinding lorong.

Seperginya mereka, Lembu Anobrak melangkah menuju pintu keluar. Namun, ketika pintu itu ia buka, betapa terkejutnya lelaki itu. Ternyata kediaman besarnya sudah mendapat pengepungan dari prajurit bersenjata tombak dan panah, lengkap dengan perisainya. Ada pula prajurit-prajurit berkuda. Para prajurit itu berbaris mengurung kediaman besar Lembu Anobrak. Tidak disangkanya prajurit-prajurit yang dikabarkan oleh Anadoyo itu sedemikian cepat datang mengepung.

Ternyata, jumlah praurit yang mengepung bukan 30-an sebagaimana yang dilihat Anadoyo di jalan pinggir sungai tadi, tetapi lebih dari seratus prajurit.

Lembu Anobrak langsung bisa mengenali siapa pemimpin dari pasukan itu. Karenanya, ia menutup pintu dan melangkah mendekati kuda pemimpin pasukan itu, yaitu Panglima Rembung Seta.

“Kau yang bernama Lembu Anobrak?” tanya Panglima Rembung Seta.

“Rupanya aku cukup terkenal di kerajaanmu, orang asing. Siapa kau?” Lembu Anobrak balik bertanya.

“Aku Panglima Rembung Seta. Dari lidah mata-mata kami, kau telah menyembunyikan buronan kerajaan!” kata Panglima Rembung Seta.

“Siapakah mata-matamu itu? Apakah dia pernah masuk ke kediamanku sehingga bisa menyatakan aku menyembunyikan buruan kerajaan?” tanya Lembu Anobrak dengan tenang.

“Kakek Santet Tembus Pandang,” jawab Lembu Anobrak.

“Oh, rupanya tukang santet itu. Sepertinya mata-matamu itu telah rusak ilmu santetnya,” kata Lembu Anobrak.

“Lembuh Anobrak, aku minta kau menyerahkan penjahat kerajaan, jangan sampai para prajuritku merusak kediamanmu!” seru Panglima Rembung Seta.

“Jangan berani-berani kau memerintahkan prajuritmu menggeledah rumah bagusku. Jika kau lakukan, aku tidak bertanggungjawab dengan nyawa mereka!” kata Lembu Anobrak.

“Kau tidak bisa menakutiku. Sikapmu jelas menunjukkan bahwa kau menyembunyikan mereka. Aku beri kesempatan sekali lagi, serahkan anak Robenta itu!”

“Maaf, aku tidak mau berurusan dengan orang-orang seperti kalian. Aku mau pergi dan aku tidak bertanggungjawab terhadap apa yang menimpa para prajuritmu,” kata Lembu Anobrak.

Wesleps!

Lembu Anobrak berkelebat mundur lalu lenyap begitu saja di udara.

“Kesaktiannya tinggi juga,” membatin Panglima Rembung Seta. Lalu serunya kepada pasukannya, “Geledah tempat ini!”

Maka, secara serentak para prajurit tombak bergerak dari segala penjuru. Prajurit panah tetap pada posisinya, bersiap dengan anak panah telah terpasang di busur. Sebagian prajurit berkuda melompat dari punggung kudanya dan berkelebat menuju atap bangunan kayu itu.

Brak! Brak! Babrak! Brak...!

Mendobrak pintu rumah orang adalah perbuatan jahat. Akibatnya....

Seseset...!

“Aaak! Akh! Aaa...!”

Prajurit-prajurit terdepan yang melakukan pendobrakan pintu, semuanya harus tewas oleh serangan-serangan anak panah dari langit-langit ruangan atau lorong yang mereka dobrak. Serangan anak-anak panah itu membuat para prajurit berhenti maju. Panglima Rembung terkejut dibuatnya.

Mencoba masuk ke rumah orang lewat atap pun bukanlah cara yang baik. Akibatnya ....

Tresesetseset...!

“Ak! Akh! Akk...!”

Begitu kaki-kaki para prajurit berkuda itu menyentuh atap, ribuan jarum-jarum beracun yang nyaris tidak terlihat berlesatan dari dalam atap. Hanya satu dua tiga orang yang mampu menghindar lebih cepat dan kembali turun ke tanah.

“Keparat!” teriak Rembung Seta geram melihat kematian para prajuritnya. Lalu teriaknya kepada prajurit lainnya, “Apa yang kalian lakukan? Ayo masuk!”

Mau tidak mau, para prajurit yang kini dihinggapi rasa was-was itu bergerak perlawan penuh kewaspadaan. Mereka bergerak memasuki pintu-pintu yang sudah terbuka oleh dobrakan pertama.

Tseb! Creceb! Bset! Blaar!

Baru saja para prajurit itu menginjakkan langkah pertama melewati pintu, berbagai insiden maut punt terjadi.
Ada tombak-tombak miring yang keluar dari dalam dan menusuk orang-orang yang ada di ambang pintu. Ada tombak-tombak yang keluar dari dalam lantai melesat miring ke atas, menusuk perut prajurit dari arah bawah. Ada jarum-jarum beracun yang menghujani dari atas kepala. Dan ada juga yang terjadi ledakan.
Namun, satu prajurit berhasil masuk tanpa mendapat serangan. Dia terus masuk hingga tembus ke pinggir lapangan dalam bangunan. Namun, ia menjadi bingung harus ke mana dulu.

“Mundur!” perintah Rembung Seta.

Para prajurit yang belum mencoba masuk ke dalam segera bergerak mundur.

“Sugoroh, hancurkan rumah besar ini!” perintah Rembung Seta.

Seorang penunggang kuda berpakaian pendekar berwarna merah hitam bergerak memajukan kudanya setelah mendapat perintah itu.

Lalu, pendekar yang bernama Sugoroh itu menghentakkan lengan kanannya dengan jari-jari mengepal.

Wesss!

Serangkum angin keras menderu.

Bdroakr!

Angin yang menerpa sebagian bangunan rumah kayu itu menimbulkan ledakan pengrusak.

Sresseret...!

Namun, dari ledakan itu, puluhan anak panah justeru muncul berlesatan dari dalam bangunan dan menyerang Panglima Rembung Seta dan sebagian prajurit berkudanya. Maka, serentak Rembung Seta dan para prajurit berkuda itu melompat setinggi-tingginya menghindari panah-panah itu. Akibatnya, kuda-kuda mereka harus dikorbankan nyawanya terkena panah. Beberapa prajurit yang tidak sigap, terpaksa tewas pula.

“Benar-benar keparat rumah ini!” maki Rembung Seta.

Panglima Rembung Seta terdiam sejenak berpikir.

Sementara prajurit yang awalnya berhasil masuk, juga harus tewas ketika mendobrak sebuah pintu kamar. Ia tewas dihantam bola berduri yang melesat dari dalam kamar.

“Apa yang harus kita lakukan, Panglima?” tanya Sugoroh.

“Rumah ini penuh dengan maut. Kita benar-benar tidak diizinkan untuk menyentuhnya. Aku tidak ingin semua prajuritku mati hanya untuk menaklukkan rumah sial ini,” kata Rembung Seta.

Seorang prajurit berlari datang mendekat kepada Panglima Rembung Seta.

“Ada apa?” tanya Rembung Seta.

“Seorang prajurit berhasil masuk lewat pintu yang tidak memiliki jebakan, Tuanku!” lapor prajurit itu.

“Sugoroh, pimpin prajuritmu menggeledah rumah ini lewat pintu aman itu!” perintah Rembung Seta.

“Semua prajurit berkuda, ikut aku!” seru Sugoroh kepada para prajurit berkuda. Lalu katanya kepada prajurit yang melapor tadi, “Tunjukkan pintunya prajurit!”

Mereka bergerak dengan meninggalkan kudanya masing-masing di tepat.

Pintu aman yang dimaksud prajurit itu adalah sebuah pintu yang memiliki tulisan di atasnya “lewat pintu lain”. Pintu itu adalah pintu sebuah ruangan yang tertata rapih dengan enam kursi dan satu meja kayu bundar. Di dinding kayu ruangan terdapat beberapa buah benda pajangan.

Meskipun dikatakan aman, tetapi mereka masuk dengan penuh kehati-hatian. Hingga mereka tembus ke koridor pinggir lapangan tengah bangunan yang luas. Sugoroh memerintahkan kepada anak buahnya yang semuanya pendekar untuk menyebar menggeledah. Umumnya para prajurit itu adalah para pendekar kelas menengah yang masih bisa diandalkan.

Setiap pintu yang ada harus mereka dobrak. Akibatnya, muncul serangan berupa senjata panah, jarum beracun, tombak, bola berduri dan senjata-senjata lain yang bisa membunuh. Sebagai orang yang mengaku pendekar, pada umumnya mereka mampu mengelaki serangan senjata-senjata itu. Namun, tetap saja ada yang tidak sigap, sehingga harus tewas.

Ada yang berani masuk dan menggeledah ke dalam ruangan. Mendadak pintu yang tadi didobraknya tertutup oleh pintu terali besi yang turun dari atas. Selanjutnya si pendekar diserang ramai-ramai oleh berbagai senjata. Hingga orang itu sudah tewas pun, serangan senjata masih berlesatan, seolah persediaan senjata rahasia tidak habis-habis.

Ada juga prajurit pendekar yang hanya melihat dalam ruangan dari luar pintu untuk mencari aman.

Sementara itu....

Anadoyo yang menuntun Robenta dan Wulangkelam lewat jalur bawah tanah, akhirnya keluar lewat akar sebuah pohon besar yang tertutupi oleh ilalang liar. Selanjutnya mereka segera pergi menuju selatan.

Namun, baru belasan tombak jauhnya mereka meninggalkan lubang, tiba-tiba....
 
“Berhenti!” seru seseorang dari belakang mereka.

Robenta dan lainnya terpaksa berhenti dan berpaling ke belakang. Tujuh orang prajurit berompi biru bersenjatakan tombak datang mendekat.

“Prajurit Seringgis keparat!” gusar Robenta yang teringat dendam masa lalunya.

Tanpa hitung-hitung lagi, Robenta bergerak maju. Para prajurit itu terkejut melihat Robenta langsung menyerang.

Drak! Dak! Baks! Bugk!

Tongkat merah Robenta mengamuk memecahkan kepala, meremukkan tulang punggung, meremukkan tulang dada dan lainnya. Tameng yang dimiliki para prajurit itu pun tidak mampu membendung tongkat maut Robenta. Dalam satu waktu singkat, ketujuh prajurit itu tewas dengan tulang belulang remuk berantakan.

“Kenapa Ayahanda begitu marah, padahal mereka belum melakukan apa-apa?” tanya Wulangkelam.

“Kematian ibumu di tangan prajurit-prajurit Seringgis tidak akan pernah aku lupakan,” jawab Robenta. “Kita harus cepat sampai ke kediaman guruku.”

Tanpa mereka ketahui, masih ada satu prajurit yang tidak muncul dari persembunyiannya yang jaraknya terjaga. Buru-buru prajurit itu berlari pergi setelah Robenta dan kedua pemuda itu menghilang dari pandangan.

“Sebegitu pentingkah kalung pusaka itu bagi Raja Seringgis, Paman?” tanya Anadoyo.

“Sangat penting, karena menyangkut silsilah keluarga kerajaan dan kitab pusaka milik raja pertama. Kita itu memuat beberapa ilmu yang bisa menandingi ilmu-ilmu tinggkat tinggi yang pernah dimiliki oleh jajaran tokoh-tokoh tua persilatan.”

“Ada yang aku herankan. Kenapa kalung pusaka itu hanya bisa dibuka oleh guru Paman?” tanya Anadoyo.
“Sebab guruku adalah pencipta kalung pusaka yang dipakai Wulangkelam.”

“Itu berarti guru Paman menguasai ilmu dalam kitab pusaka kerajaan itu?” terka Anadoyo.

“Aku tidak tahu banyak masalah ilmu di dalam kitab itu. Di hari meninggalnya Raja Seringgis Dawakutra, selir termuda Yang Mulia memintaku untuk menyelamatkan kalung itu.”

“Kapan kita akan tiba, Ayahanda?” tanya Wulangkelam.

“Kalian siap berlari cepat?” Robenta balik bertanya.

“Tidak masalah,” kata Anadoyo.

“Ayahanda akan melihat setinggi ilmu lariku,” kata Wulangkelam yang baru kali ini keluar dari kediaman Lembu Anobrak.

“Mulai!” seru Robenta memberi tanda.

Dengan bersamaan, ketiganya bergerak cepat ke depan. Ketiganya berlari laksana tidak menjejak bumi karena demikian cepatnya. Sebagai tokoh tua dan murid Dewi Mata Hati, Robenta jelas lebih cepat dari kedua anak muda itu. Namun, Robenta tidak perlu meninggalkan keduanya hanya karena ingin cepat-cepatan.

Kembali di kediaman Lembu Anobrak.

Penggeledahan sudah selesai dilakukan. Panglima Rembung Seta tetap menunggu hasilnya.

Dari dalam rumah, keluar Sugoroh dan dua orang anak buahnya. Dari 14 orang yang masuk, hanya tiga orang yang berhasil selamat dari jebakan-jebakan yang memenuhi rumah besar tersebut.

“Mana anak buahmu yang lain?” tanya Panglima Rembung Seta.

“Semuanya tewas dan tidak ada siapa-siapa di rumah ini, Panglima,” jawab Sugoroh.

“Cuih! Hanya karena sebuah rumah kosong aku harus kehilangan banyak prajurit!” geram Rembung Seta setelah sebelumnya meludah.

“Sekarang kita harus mencari ke mana, Panglima?” tanya Sugoroh.

Panglima Rembung Seta terdiam. Ia merasa dipermainkan. Ada sedikit sesal karena tidak mendengar kata-kata si pemilik rumah.

Di saat seperti itu, seorang prajurit datang berlari tergesa-gesa. Ia langsung menjura hormat setibanya di depan Panglima.

“Ada apa?” tanya Panglima Rembung Seta.

“Tujuh prajurit kita dibunuh dalam waktu sekejap, Tuanku!” lapor prajurit itu.

“Siapa yang melakukannya?” tanya Panglima cepat.

“Hamba tidak tahu, Tuanku. Mereka tiga orang. Satu orang bertongkat merah, satu pemuda dan satu gadis cantik berpakaian kuning hijau bermata lebar,” jelas si prajurit.

“Itu anak Robenta yang kita cari. Ke mana mereka pergi?”

“Ke arah selatan, Tuanku.”

“Kita harus cepat mengejar ke selatan!” kata Panglima Rembung Seta.

(Bersambung: