|
(Dok. Tim Gough) |
Oleh Rudi Hendrik
Suara hewan malam memang diciptakan untuk menghiasi sisi
gelap dari hari. Sang Raja Alam tentunya menciptakannya tidak sia-sia. Sama
halnya dengan penciptaan kebun singkong yang batang-batang pohonnya tumbuh
dengan rapat dan tinggi, sehingga bisa menutupi dengan baik keberadaan sebuah
gubuk kecil yang didirikan di tengah-tengahnya.
Di balik kegelapan yang di tercipta sungguh luar biasa itu,
tampak sesosok tubuh bergerak mendekati kebun singkong. Sebelum sosok yang juga
berpakaian hitam itu masuk ke dalam kebun, terlebih dulu kepalanya berpaling ke
kanan dan ke kiri, memperhatikan daerah sekeliling, tampaknya khawatir jika ada
satu makhluk yang melihat keberadaannya.
Kegelapan malam yang ditunjang oleh warna pakaiannya yang
juga hitam, membuatnya tidak jelas dinilai, apakah ia pria atau wanita.
Terlebih wajah dan kepalanya dibalut kain hitam seperti ninja.
Sosok itu bergerak masuk menyelinap di antara pohon-pohon
singkong. Gerakannya cepat, sehingga tidak berapa lama, sudah berdiri di depan
pintu gubuk bambu yang ada hanya satu-satunya. Pintu diketuknya.
Ternyata ketukan itu mengejutkan penghuni gubuk yang ada di
dalam. Si penghuni adalah seorang pria separuh baya dan seorang wanita muda
cantik. Si pria bermata sipit, sedikit berjenggot dan berambut gondrong. Pakaiannya
serba hitam. Ia bernama Robenta.
Sementara wanita cantik bersamanya berusia 27 tahun. Meski
selisih hampir separuh usia Robenta, tapi ia adalah isteri Robenta. Pakaian
hijau mudanya bagus, layaknya pakaian kalangan bangsawan. Namanya Sulasih.
“Siapa?” tanya Robenta.
“Aku Sobenta, Kakak,” jawab si pengetuk pintu dengan
berbisik tapi cukup keras, seolah khawatir ada orang lain mendengar selain
mereka.
Robenta segera membuka pintu. Lelaki bertopeng yang mengaku
bernama Sobenta bergegas masuk.
Pintu langsung ditutup. Sobenta membuka penutup wajahnya sambil duduk.
Satu-satunya cahaya dian di sudut ruangan kecil itu memperlihatkan wajah
Sobenta yang mirip dengan Robenta, hanya lebih muda.
“Kau yakin sendirian?” tanya Robenta dengan wajah dingin dan
tegang.
Memang ketiganya tidak bisa menyikapi situasi yang sedang
mereka hadapi saat ini dengan hati yang gembira.
“Aku yakin, Kakak. Aku tidak melihat seorang pun prajurit
Kerajaan Seringgis di daerah ini,” jawab Sobenta. “Lalu apa rencana Kakak
selanjutnya?”
“Malam ini juga aku harus pergi menemui Jeneng. Jika aku
pergi bersama isteriku, kami akan mudah terlihat. Maka itu, aku memintamu untuk
menjaga Sulasih di sini,” ujar Robenta.
“Jangan khawatir, Kakak,” kata Sobenta meyakinkan.
Robenta beringsut menghampiri isterinya dan mengecup kening
wanita cantik yang sangat dicintainya itu.
“Hati-hati, suamiku,” pesan Sulasih dengan wajah tetap penuh
kecemasan, tapi suaminya memang harus dia izinkan pergi.
“Ingat, kalian jangan ke mana-mana hingga aku kembali!”
pesan Robenta yang dijawab dengan anggukan isterinya dan Sobenta.
Robenta lalu menutupi wajahnya dengan kain hitam, hingga
hanya sepasang matanya yang tampak. Robenta membuka pintu dan langsung berlari
pergi menyelinap di antara pohon singkong. Sekeluarnya dari kebun singkong,
Robenta langsung berkelebat pergi dengan ilmu peringan tubuhnya menembus
kegelapan.
Meski terus berlari, Robenta tetap menjaga kewaspadaan
tinggi. Ia tidak mau terlihat, apa lagi sampai tertangkap oleh patroli
prajurit-prajurit Kerajaan Seringgis.
Robenta memilih jalan-jalan gelap. Demikian pula ketika ia
harus melewati sebuah desa. Di sana ada patroli beberapa prajurit bersenjatakan
tombak dan menyandang pedang di pinggang. Kewaspadaan dan kehati-hatian
Robenta, membuat ia bisa melalui desa itu dengan aman.
Akhirnya Robenta berhenti. Titik di antara kedua matanya
mengerut ketika ia melihat pagar bambu halaman sebuah rumah kecil di depannya
rebah, sebagian lagi rusak tidak beraturan. Sepertinya sengaja dirusak. Robenta
yakin telah terjadi sesuatu yang tidak baik di rumah yang berdiri sendiri agak
jauh dari lingkungan desa itu.
Pintu rumah terbuka lebar. Ada beberapa anak panah menancap
di dinding papan rumah, termasuk yang tergeleta tidak beraturan di sekitar
ambang pintu.
“Bahaya!” desis Robenta sambil bergegas ke ambang pintu
rumah. Ia pun memanggil, “Jeneng!”
Robenta berhenti sejenak memungut satu anak panah.
“Keparat! Ini panah-panah prajurit Seringgis,” batin
Robenta.
Robenta segera bergerak ke dalam memeriksa keadaan. Gelap,
tapi Robenta tahu bahwa kondisi di dalam berantakan tak beraturan. Beberapa
barang hancur. Dinding bagian belakang rumah jebol.
“Jeneng!” teriak Robenta memanggil, berharap orang yang
dicarinya selamat dan ada di sekitar rumah itu.
Tidak ada sahutan dari pihak lain. Robenta ke belakang
rumah. Ia sejenak terdiam di sana. Ada bara api yang masih menyala di sebuah
patahan tiang kayu. Tanah pun keadaannya
tidak wajar, ada beberapa kubangan kering yang tercipta dengan serakan tanah di
mana-mana. Beberapa senjata tajam tergeletak begitu saja di tanah. Dan ada
sesosok tubuh tengkurap tidak bergerak di dekat pohon pisang.
Robenta langsung menghampiri tubuh itu. Dari model rambutnya
yang digelung di atas, sepertinya sosok itu adalah orang yang Robenta cari dan
ingin temui. Untuk memastikannya lagi, Robenta membalik tubuh itu. Tampaklah
wajah seorang lelaki lebih tua darinya dengan mata terbelalak tanpa sinar
kehidupan. Lehernya menganga mengerikan bekas disayat benda yang sangat tajam.
Dada kirinya jebol berbau sangit, bekas terhantam pukulan maut.
“Jasa-jasamu tidak akan aku lupakan, Jeneng,” ucap Robenta
seraya mengusap sepasang mata mayat bernama Jeneng itu, sehingga sepasang
kelopak matanya tertutup. Ia membatin, “Lalu di mana anakku berada?”
Robenta mencemaskan puterinya yang berusia empat tahun yang
ia percayakan di tangan Jeneng. Batinnya pun bergejolak.
“Mayat pelayan Jeneng tidak ada. Mungkinkah mereka selamat
dengan membawa puteriku, atau mereka dibawa ke Seringgis? Mudah-mudahan
puteriku masih hidup. Keadaan makin gawat. Terjanggala sudah mengetahui
keterlibatan Jeneng. Jangan-jangan ia pun telah mengetahui tempat
persembunyianku. Aku harus cepat membawa Sulasih pergi menjauh,” kata batin
Robenta.
Namun, sebelum pergi, Robenta harus lebih dulu memakamkan
mayat Jeneng, sahabatnya.
Sementara itu, di sisi lain di kegelapan malam. Seekor kuda
berlari cepat menembus kegelapan malam. Kuda itu ditunggangi oleh seorang
prajurit berompi biru. Hingga akhirnya kuda dihentikan di depan tiga kuda lain
yang tampak telah menunggu kedatangannya.
Kuda paling kanan ditunggangi oleh seorang pemuda berambut
serba putih gondrong. Berpakaian serba merah dengan tepian berwarna biru. Ada
pedang berwarangka mengganting di pinggang kirinya. Ia bernama Rembung Seta.
Kuda paling kiri diduduki oleh seorang pria tua bertubuh
kurus. Ia memelihara kumis dan jenggot tipis yang saling menyambung. Pakaian
putihnya dilengkapi dengan jubah kuning. Di pinggangnya melilit rantai besi
hitam. Ia bernama Getar Jagad.
Sedangkan kuda di tengah ditunggangi oleh pria dengan
tampilan seperti perwira kerajaan. Rambutnya digelung di atas dan kepalanya
dilingkari gelang besi berwarna merah yang memiliki hiasan dari emas. Pakaian
birunya dihiasi dengan sulaman benang perak dan dihiasi rantai-rantai kecil
seperti emas. Sebuah pedang kecil terselip miring di pinggang belakangnya.
Wajahnya tegas tanpa kumis dan jenggot. Ialah yang bernama Terjanggala, nama yang sempat disebut. batin Robenta.
“Apa yang kau dapat, Ragewa?” tanya Terjanggala.
“Winora telah menunjukkan tempat persembunyian Robenta dan
isterinya. Ada di dalam kebun singkong dekat bukit desa, Panglima!” lapor
prajurit bernama Ragewa.
“Hmmm, pantas kita tidak bisa menemukannya, rupanya tempat
persembunyiannya masih di daerah ini juga,” kata Terjanggala yang berpangkat
Panglima. “Kalian bertiga, masing-masing pimpin sebagian prajurit yang ada.
Prajurit panah dibagi rata lalu adakan pengepungan terhadap kebun dari tiga
arah. Tunggu perintahku untuk menyerang masuk!”
“Baik!” jawab Ragewa, Getar Jagad dan Rembung Seta bersamaan.
Ketiganya segera menggerakkan kudanya ke arah pasukan yang
berkumpul tidak jauh di belakang mereka. Ketiganya membagi dan mengatur para
prajurit menjadi empat kelompok.
“Pasukan telah siap, Panglima!” lapor Ragewa kepada Panglima
Terjanggala usai pengelompokan pasukan.
Panglima Terjanggala lalu menggerakkan kudanya dan berhenti
menghadap empat kelompok prajurit yang telah berbaris siap. Melalui atas
kudanya, ia pun berseru keras.
“Ingat! Yang Mulia Raja Warsana telah menjanjikan hadiah
bagi mereka yang turut serta dalam pembunuhan Robenta dan keluarganya. Bunuh
siapa saja yang coba menghalangi kita, kecuali satu. Jangan kalian bunuh puteri
kecil Robenta, sebab itu tujuan kita. Mengerti?!” seru Panglima Terjanggala.
“Mengerti!” teriak semua prajurit dengan semangat hadiah di
dalam benaknya.
“Kita berangkat!” teriak Panglima Terjanggala.
Mereka pun berangkat dengan tetap dipimpin oleh sang
panglima. Daerah sasaran mereka tidak jauh.
Sementara malam terus merambat menuruti kehendak
penciptanya.
Ketika daerah sasaran sudah berada dalam jangkauan pandang
mata, yaitu sebuah kebun singkong, Panglima Terjanggala memberi tanda kepada
ketiga pemimpin prajurit untuk menyebar. Ragewa, Getar Jagad dan Rembung Seta
bergerak menyebar yang diikuti oleh pasukan masing-masing ke tiga tempat untuk
mengepung kebun singkong.
Sebagai orang-orang yang kerap melakukan patroli dalam satu
purnama belakangan ini, Panglima Terjanggala dan orang-orangnya tentu sudah
sangat mengenal daerah itu dan sudah sangat tahu akan sasaran mereka. Kebun
singkong dekat bukit desa hanya ada satu di kawasan itu dan itu pun sudah
sering mereka lalui. Hanya saja selama ini mereka terkecoh, sebab tidak ada
tanda-tanda adanya tempat persembunyian di kebun singkong.
Panglima Terjanggala menggebah kudanya menuju kebun
singkong. Di belakangnya berlari para prajurit yang memang sudah terbiasa
berlari di belakang kuda.
Setibanya tepat di pinggiran kebun singkong, Panglima
berhenti. Ditatapnya hamparan kebun yang sangat gelap.
“Serang!” teriak Panglima Terjanggala kepada para
prajuritnya.
Setelah itu, Panglima berkelebat meninggalkan punggung
kudanya masuk ke dalam lebatnya kebun singkong.
West! Blaar!
Tangan kiri Panglima Terjanggala menghentak ke atas,
melesatkan sinar putih ke langit yang kemudian meledak sendiri di atas kebun
singkong. Itu adalah tanda bagi tiga pasukan lainnya agar turut menyerang masuk
ke dalam kebun singkong.
Pasukan Panglima Terjanggala turut mengikuti pimpinannya
masuk ke dalam kebun singkong yang tidak bisa dilalui oleh kuda.
Di sisi lain, Ragewa, Getar Jagad dan Rembung Seta memimpin
pasukannya masuk ke dalam kebun dari tiga sisi yang berbeda, mengikuti arti
perintah sinar putih di langit kiriman Panglima Terjanggala.
Suara ledakan sinar di atas kebun singkong mengejutkan
keberadaan Sobenta dan isteri kakaknya, Sulasih, di dalam gubuk tengah kebun.
Samar-samar suara ramai pergerakan makhluk di dalam kebun singkong terdengar
jelas, diiringi teriakan para prajurit yang penuh semangat.
“Bahaya! Kita ketahuan!” kata Sobenta tegang.
“Bagaimana ini?” tanya Sulasih lebih cemas yang terlihat di
wajahnya.
Sobenta diam. Suara riuh di luar sana kian jelas terdengar
dan kian mendekat dari berbagai arah.
“Kita dikepung!” kata Sobenta lagi sambil bergerak mengintip
lewat celah jendela.
Dilihatnya banyak bayangan-bayangan menerobos mengguncang
pepohonan singkong. Sobenta juga melihat bayangan kuning yang berkelebat
berlari di atas pucuk-pucuk pohon singkong mendekat ke arah gubuk. Itu adalah
bayangan sosok Getar Jagad.
“Tidak ada jalan lain selain menerobos mereka!” kata Sobenta
sambil membenarkan tutup kepala dan wajahnya. Setelahnya dia menyambar tangan
kanan Sulasih dan menariknya agar ikut.
Brakr!
Sobenta menendang keras pintu gubuk hingga terpental dari
badan gubuk.
“Panah!” teriak Getar Jagad dari kejauhan.
Prajurit panah yang masih berlari seketika berhenti dan
ambil posisi lalu memanah.
Set set set!
Puluhan anak panah segera melesat ke arah Sobenta dan
Sulasih.
“Hah!” sentak Sobenta sambil kibaskan lengan kanannya.
Wuss! Wess!
Angin keras menderu menyapu semua anak panah yang datang.
Disusul pelepasan sinar kuning panjang dari tangan kiri Sobenta yang
menghancurkan gundukan tanah depan pasukan Getar Jagad. Imbasnya, beberapa
prajurit panah berpentalan dan terkapar.
“Serang...!” teriak para prajurit bersenjata tombak seraya
datang menyerbu.
Di saat yang sama, pasukan tombak pimpinan Ragewa datang
bergabung dari arah selatan.
Dengan taruhan nyawa, Sobenta harus melindungi dirinya dan
Sulasih yang tidak pandai ilmu beladiri. Sepintas dilihatnya, posisi gubuk itu
sudah terkepung oleh prajurit.
Keroyokan para prajurit harus membuat Sobenta kerja keras,
terlebih perhatiannya terpecah untuk menjaga Sulasih yang hanya bisa
menjerit-jerit ketika serangan datang mengancamnya.
Bag dak bag...!
Satu demi satu prajurit bertumbangan di tangan dan kaki
Sobenta yang tidak main-main penyaluran tenaga dalamnya. Panglima Terjanggala
dan ketiga pimpinan prajurit lainnya sementara memperhatikan.
Dengan jiwa penuh ketakutan, Sulasih hanya mengikuti
kehendak Sobenta yang menarik dan mendorongnya untuk menghindari serangan
tombak yang datang dari segala arah.
Melihat para prajurit bertumbangan di tangan Sobenta, Ragewa
segera berkelebat ke arena pengeroyokan. Serangan bertubi-tubi Ragewa langsung
memburu Sobenta berapi-api, tapi semua masih bisa dimentahkan.
“Mampus, kau!” seruan itu bersamaan datangnya sosok berjubah
kuning yang sangat mengejutkan.
Bak! Bagh!
Hekh!” keluh Sobenta dengan tubuh terjengkang keras setelah
kaki Getar Jagad menghantam dadanya dua kali.
Buk!
“Ekk!” pekik Sulasih setelah tendangan Ragewa menyasar ke
perut wanita itu.
Ragewa menyusulkan lagi satu terjangan keras, membuat
Sualasih terjengkang keras ke pepohonan singkong. Keadaan Sulasih mendelikkan
mata Sobenta.
Set seb!
“Akh!”
Kian terbelalak mata Sobenta, karena satu anak panah melesat
dan menancap di tengah dada Sulasih.
“Sulasih!” teriak Sobenta seraya bangkit dan berkelebat ke
arah posisi Sulasih.
Namun, ...
Wuss!
Serangkum angin keras datang dari samping menghempas tubuh
Sobenta di udara. Sobenta terlempar keras menerobos pepohonan singkong. Seiring
itu, sosok Panglima Terjanggala berkelebat mengejar tubuh Sobenta.
West! Bluarr!
Panglima Terjanggala langsung melesatkan sinar putih dari
tangannya yang benar-benar tidak bisa dielakkan oleh Sobenta. Sinar putih itu
meledakkan perut Sobenta dan mementalkan tubuhnya, lalu jatuh dan diam.
Panglima Terjanggala menghampiri mayat Sobenta. Disingkapnya
kain penutup wajah Sobenta.
“Tamat riwayatmu, Robenta!” desis Panglima Terjanggala
setelah mengenali wajah dalam kegelapan itu.
Sementara itu, Ragewa memaksa Sulasih untuk buka suara
dengan menjambak rambutnya. Sulasih yang sudah di ambang maut itu kian menahan
sakit.
“Katakan, di mana kau sembunyikan anakmu!” bentak Ragewa
galak.
“Cuih!” Sulasih malah meludahi wajah garang Ragewa dengan
ludah darah.
“Keparat!” gusar Ragewa lalu menampar keras wajah Sulasih.
“Ayo katakan!”
“Urusan ini belum berakhir, Bangsat!” desis Sulasih lalu
ambil keputusan mencabut panah di dadanya lalu kembali ditusukkan ke lehernya
sendiri, bunuh diri.
“Sial!” maki Ragewa sambil lepas tangannya dari rambut
Sulasih.
“Bagaimana?” tanya Panglima Terjanggala mendekati Ragewa.
“Perempuan setan itu memilih bunuh diri daripada harus
memberi tahu keberadaan anaknya,
Panglima,” jawab Ragewa.
“Korek keterangan dari Winora tentang orang-orang dekat
Robenta. Jika sudah ada hasil, langsung bunuh orang tua itu!” perintah Panglima
Terjanggala.
“Baik, Panglima!”
Panglima Terjanggala pun akhirnya memerintahkan pasukannya
meninggalkan tempat itu. Rembung Seta masih sempatkan diri mengutak-atik isi
gubuk, tapi ia keluar tanpa hasil apa-apa.
Tidak sampai setengah jam kepergian Panglima Terjanggala dan
pasukannya, sesosok bayangan hitam berkelebat muncul dari dalam kebun singkong.
Namun sosok itu langsung berhenti memperhatikan keadaan gubuk dan sekitarnya.
Beberapa mayat prajurit tampak bergelimpangan tidak jauh dari gubuk.
Dalam kegelapan, sosok yang tidak lain adalah Robenta itu
segera mencari ke dalam gubuk, tapi segera keluar kembali dan mencari.
“Sulasih!” panggil Robenta.
Namun akhirnya, Robenta bergerak cepat setelah pandangannya
menangkap sosok yang tergeletak di antara pohon singkong.
“Sulasih...!” teriak Robenta histeris sambil memeluk kuat tubuh
Sulasih yang sudah menjadi mayat.
Dengan tubuh terguncang oleh tangisnya, Robenta cukup lama
memeluk tubuh isterinya.
“Sulasih, aku tidak akan membiarkan mereka. Aku tidak akan
mati sebelum menghancurkan orang-orang biadab itu!” ucap Robenta seraya menahan
gemuruh dendamnya.
Robenta melepaskan tubuh Sulasih. Ia berdiri, memandang ke
sekitar, lalu berjalan ke sana dan ke sini. Hingga akhirnya Robenta menemukan
mayat Sobenta yang sudah rusak tubuhnya.
“Suatu hari, Terjanggala akan membayar semua ini!” desis
Robenta.
Robenta lalu mengangkat tubuh adik kandungnya itu dan
membawanya ke dekat mayat Sulasih. Robenta kemudian menggali lubang untuk
mengubur keduanya.
Usai menguburkan kedua anggota keluarganya, Robenta harus
pergi ke sebuah desa yang selalu ada penjaga prajurit malamnya. Robenta tetap
harus hati-hati.
Hingga akhirnya Robenta dengan mulus tiba di depan pintu
belakang sebuah rumah sederhana. Robenta mengetuk pintu itu, tapi tidak ada
reaksi dari dalam rumah. Robenta kembali mengetuk seraya pandangannya beredar
ke daerah sekitar, khawatir jika ada orang yang melihatnya.
“Winora!” panggil Robenta sekali.
Tidak ada tanggapan atau jawaban dari dalam rumah. Robenta
pun jadi ambil curiga.
“Winora!” panggil Robenta lebih keras, sementara matanya
tetap waspada.
Tetap tidak ada reaksi dari dalam rumah, padahal dian di
dalam terang menyala.
Brakr!
Akhirnya Robenta memutuskan menghantam daun pintu rumah itu
dengan pukulan bertenaga dalam. Pintu terbuka rusak. Ia segera masuk.
Di ruang depan, Robenta menemukan empat mayat yang tewas
dengan tubuh terluka oleh senjata tajam. Mereka adalah dua orang tua selevel
kakek dan nenek, kemudian dua lainnya
adalah dua pemuda.
“Sepertinya orang-orang Kerajaan akan membunuh orang-orang
yang pernah dekat dengan aku,” pikir Robenta. “Sebelum aku dituduh, lebih baik
aku pergi.”
Robenta segera pergi.
Setelah tewasnya isteri, adik dan sahabatnya yang bernama
Jeneng, Robenta selalu melakukan serangan gerilya seorang diri terhadap prajurit-prajurit
Kerajaan Seringgis. Perang gerilya Robenta cukup membuat pihak kerajaan
kewalahan dan tidak bisa tenang.
Robenta yang masih menyangka bahwa puterinya yang hilang
berada di kerajaan, suatu waktu mencoba masuk ke dalam kawasan terlarang Kerajaan
Seringgis. Akibatnya, Robenta dikeroyok oleh prajurit-prajurit elit, termasuk Panglima
Terjanggala. Tetapi Robenta berhasil melarikan diri dengan membawa luka dalam
yang parah dan ditolong oleh seseorang.
Robenta yang selalu bertopeng dalam menyerang ke kerajaan,
membuat pihak kerajaan tidak mengenalinya. Panglima Terjanggala tahunya bahwa
Robenta telah tewas di tangannya.
Ada satu pertanyaan, ke manakah puteri Robenta setelah
dititipkan kepada Jeneng?