Rabu, 30 Desember 2015

Pemilu Republik Afrika Tengah, Menutup Luka yang Belum Kering

Warga Muslim Republik Afrika Tengah di distrik Muslim PK5 di ibukota Bangui usai memberika suaranya. (Foto: UN)
Oleh: Rudi Hendrik, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Tania Page, koresponden Al Jazeera untuk Afrika Selatan mengisahkan, ibukota Republik Afrika Tengah, Bangui, kini sangat berbeda saat dia pertama kali datang ke kota itu pada Februari 2015.


Dulu, jalan utama yang menuju bandara sering sepi. Dilihatnya sesekali ada kepala warga yang mengintip di samping rumah, lalu orang tersebut bergegas menyeberangi jalan jika dilihatnya keadaan aman.

Bahkan, beberapa kali selama bulan itu Page melihat mayat Muslim yang dipotong-potong tergeletak di tanah, orang hanya menonton tapi tidak ada yang berbicara.

Namun hari ini, Page melihat jalan-jalan di Bangui sibuk dan bising. Penjual berteriak sebagaimana kekhasan mereka menjajakan dagangannya memanggil pembeli.

Meski demikian, lingkungan campuran yang dulu ditinggali oleh warga Muslim dan Kristen, sekarang sebagian besar hanya Kristen.

Keamanan memang telah membaik, tetapi banyak lingkungan yang telah berubah. Darah dari pertumpahan terburuk dari konflik komunal yang terjadi memang telah membeku, tetapi luka masih sakit dan belum sepenuhnya tertutup. Luka itu bisa dengan mudah terbuka kembali.

Republik Afrika Tengah telah terkenal dengan pemerintahan hasil kudeta dari pada hasil pemilu. Hal itu menjadi tantangan yang sangat besar bagi penduduk, politisi dan penjaga perdamaian. Mereka harus membangun pemerintahan dan kondisi baru yang 'normal'.

Sebuah proses yang disebut pre-DDR kini sedang berlangsung. Ini adalah dasar, seharusnya program Perlucutan, Demobilisasi dan Reintegrasi (DDR) bisa dilaksanakan penuh terhadap mantan atau para milisi.

Sementara itu, bahan-bahan logistik pemilu telah tiba di beberapa tempat, sehari sebelum pemungutan suara dilaksanakan. Jalan-jalan yang sangat buruk dan komunikasi menjadi masalah, karena beberapa TPS jaraknya cukup jauh dari pusat provinsi.

Pada Jumat pekan lalu, pemilu ditunda untuk kelima kalinya, karena bahan-bahan belum terdistribusi dan staf pemungutan suara belum terlatih.

Asisten Sekretaris Jenderal PBB, Diane Corner mengatakan, situasi tetap sangat rapuh.

"Tapi kami sedang membangun sebuah perdamaian yang luar biasa. Salah satu hal yang menarik adalah tekad berpartisipasi, banyak kelompok bersenjata memahami bahwa mereka memiliki bagian dalam pemilihan," kata Corner.

Rabu, 30 Desember 2015, semua TPS telah dibuka untuk memilih presiden di Republik Afrika Tengah yang bertujuan memulihkan pemerintahan kepada demokrasi.

Negara itu telah dicengkeram oleh tahun-tahun kekerasan yang telah menewaskan ribuan orang, terlebih banyak korban dari warga Muslim yang menjadi warga minoritas.

Tiga puluh calon bersaing untuk jabatan presiden. Dengan tidak adanya jajak pendapat sebelumnya, kemungkinan sulit untuk memprediksi siapa yang akan menang.

Namun, kandidat terkemuka adalah mantan Perdana Menteri Anicet-Georges Dologuele dan Martin Ziguele.
Presiden Sementara Republik Afrika Tengah Catherine Samba-Panza. (Foto: dok. abangui.com)

Tantangan besar dari “Republik Logone”

Terlaksananya pemilu yang sudah lima kali ditunda oleh pemerintahan sementara Republik Afrika Tengah, yang kemudian akan menunggu hasilnya, tetap pemerintahan demokratis yang akan terbentuk nantinya menghadapi tantangan besar dari wilayah timur laut.

Setengah bulan yang lalu, seorang pemimpin kelompok bersenjata Muslim di negara itu telah mendeklarasikan negara otonom yang bernama “Republik Logone”.

Kelompok itu dipimpin oleh Nourredine Adam, seorang pemimpin sempalan dari kelompok bersenjata Muslim Seleka, kelompok yang pernah berhasil melakukan kudeta cepat terhadap Presiden Francois Bozize.

Deklarasi itu muncul setelah mereka menolak pemilu yang bertujuan mengakhiri konflik komunal bertahun-tahun di negara itu.

"Apa yang kami inginkan pertama-tama adalah otonomi. Kemudian kami akan melihat bagaimana bergerak menuju kemerdekaan," kata juru bicara kelompok, Moussa Maouloud kepada Reuters.

Maouloud berbicara dari kantor pusat kelompok di kota Kaga-Bandoro.

"Muslim terpinggirkan, utara telah ditinggalkan oleh pemerintah pusat. Tidak ada jalan, tidak ada rumah sakit, tidak ada sekolah," katanya.

Juru bicara pemerintah transisi Republik Afrika Tengah, Dominique Said Panguindji, segera mengecam deklarasi oposisi itu.

"Kami menyerukan kepada masyarakat internasional dan pasukan internasional yang ada di Republik Afrika Tengah agar melakukan segala kemungkinan untuk menetralisir peluang untuk melakukan kejahatan teroris ini," kata Panguindji.

Sekitar seperempat dari penduduk Republik Afrika Tengah sebanyak 4.7 juta telah mengungsi sejak Maret 2013, ketika kelompok bersenjata Muslim Seleka menggulingkan Presiden Francois Bozize yang beragama Kristen.

Pertempuran telah berlangsung antara kelompok bersenjata Kristen dan Muslim sejak saat itu, meskipun 11.000 personel pasukan PBB disebar di negara itu.

Negara yang terkurung daratan itu kini dipimpin oleh Presiden Sementara Catherine Samba-Panza, seorang wanita Kristen, dan Perdana Menteri Mahamat Kamoun, seorang Muslim. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar