Warga Muslim Republik Afrika Tengah di distrik Muslim PK5 di ibukota Bangui usai memberika suaranya. (Foto: UN) |
Oleh: Rudi Hendrik, wartawan Mi’raj Islamic
News Agency (MINA)
Tania Page,
koresponden Al Jazeera untuk Afrika
Selatan mengisahkan, ibukota Republik Afrika Tengah, Bangui, kini sangat
berbeda saat dia pertama kali datang ke kota itu pada Februari 2015.
Dulu, jalan utama
yang menuju bandara sering sepi. Dilihatnya sesekali ada kepala warga yang mengintip
di samping rumah, lalu orang tersebut bergegas menyeberangi jalan jika
dilihatnya keadaan aman.
Bahkan, beberapa
kali selama bulan itu Page melihat mayat Muslim yang dipotong-potong tergeletak
di tanah, orang hanya menonton tapi tidak ada yang berbicara.
Namun hari ini, Page
melihat jalan-jalan di Bangui sibuk dan bising. Penjual berteriak sebagaimana
kekhasan mereka menjajakan dagangannya memanggil pembeli.
Meski demikian,
lingkungan campuran yang dulu ditinggali oleh warga Muslim dan Kristen, sekarang
sebagian besar hanya Kristen.
Keamanan memang telah
membaik, tetapi banyak lingkungan yang telah berubah. Darah dari pertumpahan terburuk
dari konflik komunal yang terjadi memang telah membeku, tetapi luka masih sakit
dan belum sepenuhnya tertutup. Luka itu bisa dengan mudah terbuka kembali.
Republik Afrika
Tengah telah terkenal dengan pemerintahan hasil kudeta dari pada hasil pemilu.
Hal itu menjadi tantangan yang sangat besar bagi penduduk, politisi dan penjaga
perdamaian. Mereka harus membangun pemerintahan dan kondisi baru yang 'normal'.
Sebuah proses yang
disebut pre-DDR kini sedang berlangsung. Ini adalah dasar, seharusnya program Perlucutan,
Demobilisasi dan Reintegrasi (DDR) bisa dilaksanakan penuh terhadap mantan atau
para milisi.
Sementara itu,
bahan-bahan logistik pemilu telah tiba di beberapa tempat, sehari sebelum
pemungutan suara dilaksanakan. Jalan-jalan yang sangat buruk dan komunikasi
menjadi masalah, karena beberapa TPS jaraknya cukup jauh dari pusat provinsi.
Pada Jumat pekan
lalu, pemilu ditunda untuk kelima kalinya, karena bahan-bahan belum terdistribusi
dan staf pemungutan suara belum terlatih.
Asisten Sekretaris
Jenderal PBB, Diane Corner mengatakan, situasi tetap sangat rapuh.
"Tapi kami
sedang membangun sebuah perdamaian yang luar biasa. Salah satu hal yang menarik
adalah tekad berpartisipasi, banyak kelompok bersenjata memahami bahwa mereka
memiliki bagian dalam pemilihan," kata Corner.
Rabu, 30 Desember
2015, semua TPS telah dibuka untuk memilih presiden di Republik Afrika Tengah
yang bertujuan memulihkan pemerintahan kepada demokrasi.
Negara itu telah
dicengkeram oleh tahun-tahun kekerasan yang telah menewaskan ribuan orang,
terlebih banyak korban dari warga Muslim yang menjadi warga minoritas.
Tiga puluh calon
bersaing untuk jabatan presiden. Dengan tidak adanya jajak pendapat sebelumnya,
kemungkinan sulit untuk memprediksi siapa yang akan menang.
Presiden Sementara Republik Afrika Tengah Catherine Samba-Panza. (Foto: dok. abangui.com) |
Tantangan besar dari “Republik Logone”
Terlaksananya
pemilu yang sudah lima kali ditunda oleh pemerintahan sementara Republik Afrika
Tengah, yang kemudian akan menunggu hasilnya, tetap pemerintahan demokratis yang
akan terbentuk nantinya menghadapi tantangan besar dari wilayah timur laut.
Setengah bulan yang
lalu, seorang pemimpin kelompok bersenjata Muslim di negara itu telah mendeklarasikan
negara otonom yang bernama “Republik Logone”.
Kelompok itu
dipimpin oleh Nourredine Adam, seorang pemimpin sempalan dari kelompok
bersenjata Muslim Seleka, kelompok yang pernah berhasil melakukan kudeta cepat
terhadap Presiden Francois Bozize.
Deklarasi itu
muncul setelah mereka menolak pemilu yang bertujuan mengakhiri konflik komunal bertahun-tahun
di negara itu.
"Apa yang kami
inginkan pertama-tama adalah otonomi. Kemudian kami akan melihat bagaimana
bergerak menuju kemerdekaan," kata juru bicara kelompok, Moussa Maouloud kepada
Reuters.
Maouloud berbicara
dari kantor pusat kelompok di kota Kaga-Bandoro.
"Muslim
terpinggirkan, utara telah ditinggalkan oleh pemerintah pusat. Tidak ada jalan,
tidak ada rumah sakit, tidak ada sekolah," katanya.
Juru bicara
pemerintah transisi Republik Afrika Tengah, Dominique Said Panguindji, segera
mengecam deklarasi oposisi itu.
"Kami
menyerukan kepada masyarakat internasional dan pasukan internasional yang ada
di Republik Afrika Tengah agar melakukan segala kemungkinan untuk menetralisir peluang
untuk melakukan kejahatan teroris ini," kata Panguindji.
Sekitar seperempat dari
penduduk Republik Afrika Tengah sebanyak 4.7 juta telah mengungsi sejak Maret
2013, ketika kelompok bersenjata Muslim Seleka menggulingkan Presiden Francois
Bozize yang beragama Kristen.
Pertempuran telah
berlangsung antara kelompok bersenjata Kristen dan Muslim sejak saat itu,
meskipun 11.000 personel pasukan PBB disebar di negara itu.
Negara yang terkurung
daratan itu kini dipimpin oleh Presiden Sementara Catherine Samba-Panza,
seorang wanita Kristen, dan Perdana Menteri Mahamat Kamoun, seorang Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar